Karakter
Berkait Pasar Tumpah
Nanik Irmawati ; Kepala Sekolah
Teladan Kabupaten Jepara 2011
|
SUARA
MERDEKA, 07 Agustus 2014
"Merujuk 18 nilai
pembentuk karakter bangsa, keberadaan pasar tumpah sudah sepatutnya
ditertibkan"
Mudah dan cepat. Itulah anggapan sebagian besar masyarakat
ketika mendengar kata pasar tumpah. Tak perlu susah-susah masuk ke dalam
pasar, tanpa ribet naik ke lantai dua, dan tk usah mencari tempat parkir. Bahkan kalau perlu, lewat saja depan pasar
sambil naik motor atau mobil. Andai ada barang yang sekiranya menarik, cukup
menawar sambil duduk di atas jok motor, lalu pulang. Memang kenapa? Toh
banyak orang melakukan hal sama. Pedagang pun demikian.
Demi ketertiban harus pindah ke dalam? Kenapa harus saya,
bukankah pedagang sepatu yang itu boleh jualan di badan jalan, pedagang buah
juga masih tetap di trotoar pasar, dan lain-lain. Ditambah lagi parkir liar,
menjadi penyebab utama kesemrawutan lalu lintas di jalur tersebut. Parkir di
bahu jalan mempersempit kapasitas jalan yang seharusnya bisa dilalui
kendaraan.
Karena itu, terasa relevansinya bila dalam salah satu judulnya,
harian ini menurunkan berita berjudul ”Pasar
Tumpah Masih Jadi Momok Mudik” (SM,
21/5/14). Pasar tumpah menggunakan sebagian badan jalan. Padahal, jalan
raya adalah fasilitas publik yang tidak boleh untuk berdagang secara pribadi,
terlebih mengganggu kepentingan umum.
Pendidikan karakter bertujuan membentuk bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleransi, bergotong royong,
patriotik, dinamis, berorientasi iptek yang semuanya dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Tuhan YME berdasarkan Pancasila. Pendidikan karakter perlu
diberikan bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah dan di lingkungan
sosial.
Adapun masyarakat merupakan subsistem dalam kehidupan anak yang
turut berperan membantu pembentukan kepribadian. Kemendikbud mengidentifikasi
18 nilai pembentuk karakter bangsa. Lalu bagaimana dengan pasar tumpah? Persoalan pasar tumpah setidak-tidaknya
menyangkut empat hal: penjual, pembeli, angkutan, dan parkir kendaraan.
Meskipun diakui berkontribusi pada perekonomian, merujuk 18
nilai pembentuk karakter bangsa, keberadaan pasar tumpah sudah sepatutnya
ditertibkan. Dalam kemeriuhannya, ada beberapa nilai yang hilang, misalnya
soal disiplin. Penjual memilih berjualan di trotoar, atau sebagian bahu
jalan. Pembeli juga mencari mudahnya. Berbelanja ogah masuk pasar, cukup
membeli yang di luar agar tidak ribet. Belum lagi sopir angkutan umum
menaikkan dan menurunkan penumpang di tempat sesuka hatinya.
Nilai lain yang tak diindahkan adalah tanggung jawab. Mana
tanggung jawab sebagai penjual untuk ikut menghidupkan pasar yang dibangun
dengan dana ratusan juta rupiah, bahkan miliar. Toleransi dan peduli
lingkungan pun tipis sekali. Padahal pengguna jalan depan pasar tak hanya
masyarakat sekitar pasar.
Musim Lebaran seperti ini pemudik sangat mendambakan jalan yang
lancar dan aman. Membayangkan mereka menempuh perjalanan ratusan kilometer
dalam rasa pegal, tidak sepantasnya bila masih harus terganggu puluhan
pasar tumpah sepanjang jalan di
pantura Jateng.
Tidak Mendukung
Pasar tumpah tidak mendukung pendidikan karakter yang sedang
gencar dilakukan pemerintah. Kalau pun di sana terselip pula nilai ”kerja
keras” dan ”kreatif” misalnya, penerapannya hanya untuk kepentingan
masing-masing individu tanpa memikirkan hak orang lain. Soenmandjaja
Roekmandis, anggota Komisi X DPR mengatakan, orang tua, keluarga, guru,
lingkungan pendidikan dan masyarakat merupakan cita idealisme anak. Mereka
dijadikan figur ideal selama anak dalam proses identifikasi, asimilasi, dan
sublimasi. Apabila figur ideal itu menampakkan perilaku mengecewakan maka
anak-anak akan mengalami split
personality.
Jika sudah demikian, pendidikan karakter yang diinginkan sulit
terbangun. Terjadi berulang dan ironisnya kita memaaafkan. Itulah fenomena
pasar tumpah, terutama tiap menjelang Lebaran. Mengingat dampak buruknya,
pasar tumpah wajib dihindari dan mulai Lebaran ini seharusnya tak ada ampun
lagi terhadap keberadaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar