Patriotisme
dalam Komik Indonesia
Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
KOMPAS,
10 Agustus 2014
Patriotisme kultural merupakan salah satu faktor pembentuk
embrio nasionalisme, setidaknya menjadi perbincangan Johann Gotfried Herder
(1744-1803) pada abad ke-18, untuk terus berproses di Eropa, antara lain
tergarisbawahinya kedaulatan rakyat dalam Revolusi Perancis, sebelum
nasionalisme makin populer setelah abad ke-19 [Riff, 1995 (1995): 194-5]. Di
Indonesia, ketika patriotisme terumuskan sebagai keberpihakan terhadap Tanah
Air, merupakan ideologi yang terhadapnya sering dilakukan eksplorasi maupun
eksploitasi, seperti dalam berbagai sandiwara menyambut hari kemerdekaan
setiap tanggal 17 Agustus.
Jika nasionalisme membawa seseorang kepada pilihan politik,
patriotisme adalah ”nasionalisme plus”, karena terhadap pilihan politik itu
dipertanyakan kesanggupannya berkorban, terutama pengorbanan jiwa sebagai
kesadaran. Jika martir dilahirkan oleh momentum sejarah, seorang patriot
dengan pengorbanan paling heroik justru memudar dalam ketiadaan pretensi
pribadi, tanpa seorang pun mengingatnya.
Berbagai naratif hadir berdasarkan pengetahuan ini sehingga
dikenal istilah seperti ”pahlawan tak dikenal”, yang oleh Chairil Anwar
dinarasikan sebagai ”yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi”, yang ”tidak
bisa teriak ’Merdeka’ dan angkat senjata lagi”. Ditulis eksplisit
”4.000-5.000 nyawa”, jika dimaksud sebagai metafor pun tetap mengungkapkan penghargaan
tinggi, lebih tinggi dari ”pahlawan bersertifikat” yang mungkin menerima
santunan finansial dan dikuburkan di Taman Makam Pahlawan—tentu tanpa harus
mengurangi jasa yang belakangan ini.
Alih-alih menguburkan, naratif ini menghidupkan kembali para patriot
dari kematian, membuat mereka yang tiada bernama hadir di panggung naratif
dari masa ke masa. Adapun jejak patriotisme juga terdapat dalam komik
Indonesia.
Patriotisme bersenjata
Patriotisme yang spesifik, artinya berhubungan langsung dengan
”revolusi fisik” dalam nasionalisme Indonesia, tentu adalah Kissah Pendudukan
Jogya karya Abdulsalam yang dimuat harian Kedaulatan Rakyat dari 19 Desember
1948 sampai 29 Januari 1949. Disebutkan, Abdulsalam adalah pelopor komik
revolusi (Atmowiloto, 1980). Embel-embel ”fisik” pada istilah ”revolusi” ini
penting bagi komik Indonesia karena pada sisi sebaliknya, yakni ”revolusi
mental”, belum terlalu jelas apakah kiranya yang akan di-gambar-kan.
Arswendo Atmowiloto juga mencatat, dalam kisah revolusi fisik
(baca: bersenjata) terdapat juga komik berjudul Suprijadi gubahan Abd Sjukur.
Ternyata, di balik misteri hilangnya Supriyadi yang menggalang pemberontakan
para anggota pasukan Pembela Tanah Air (Peta) di Blitar, jejaknya terungkap
kembali dalam seri kedua dari komik seri Komando Rajawali: (1) Rajawali
Rajawali, (2) Lawan!, dan (3) Surabaya Membara, ketiganya terbit tahun 2013
yang, meski setiap fragmennya sudah utuh, janji kebersambungannya membuat
pembaca penasaran.
Imajinasi tentang kemunculan Supriyadi, pemimpin pemberontakan
Peta di Blitar, 14 Februari 1944, yang menghilang, dalam komik seri Komando
Rajawali (2013).
Komik seri ini juga memperlihatkan jejak produksi komik masa
kini: [1] sepenuhnya berwarna pada kertas ”edisi luks”; [2] dikerjakan oleh
sebuah tim dengan formasi studio, yang membuat setiap elemen komik
tertangani: penulis cerita (Edna Caroline), pegambar yang sekaligus mewarnai
(Thomdean), penulis huruf dan perancang gambar (Wendie Artswenda), peneliti
(Estining Pamungkas), dan para penyunting (Suryopratomo dan Tigor Tanjung);
[3] menerapkan konsep bineka tunggal ika secara radikal, melalui peran-peran
etnik Tionghoa di pihak gerilyawan; [4] menonjolkan keberanian perempuan
pejuang, dalam hal ini sebagai mata-mata dengan risiko berbahaya; [5] memindahkan
orientasi sejarah perjuangan keluar dari Jakarta, dalam hal ini ke arah
timur, dari Purwokerto, Purworejo, Blitar, sampai ke Surabaya.
Meskipun dinyatakan sebagai fiksi, yang justru ”memberi nama”
para pahlawan tak dikenal, para pejuang ”dikenal” pun diberi tempat, tetapi
hanya yang tidak terjebak kebusukan politik (Sudirman, Gatot Subroto,
Supriyadi, Muradi). Dengan dukungan riset atas tokoh-tokoh semacam ini,
pengungkapan realisme terbantu secara kuat. Dalam hal ini, peran para anggota
Komando Rajawali yang serba remaja bisa mementahkan kematangan drama. Namun,
karena ditujukan untuk mengobarkan patriotisme remaja pula, supaya jangan
menjadi hamba-hamba zaman baru yang ”non-ideologis”, keremajaan itu tentunya
baik-baik saja.
Tanpa kekerasan
Pencapaian komik ini sendiri, dengan penulisan teks yang efisien
(kadang juga cemerlang secara falsafi), gambar sinematik (kadang simbolik)
yang terhindar dari godaan ”ekspresi pribadi”, tetapi memberi berbagai
selingan presentasi puitik, lebih dari berdaya dalam kompetisi di pasar—jika
tidak berhenti dengan tiga judul. Dalam hal ini komunitas komik Indonesia
boleh diuji patriotismenya: to buy or
not to buy, that is the question.
Tinggal sebuah pertanyaan menimbulkan kebimbangan: tiadakah
alternatif patriotisme lain selain kekerasan? Revolusi ”fisik” saya kira tak
harus hanya berarti ”bersenjata” karena perlawanan terhadap penindasan
tentunya tidak hanya dengan senjata. Betapa pun, tidak satu manusia pun di
dunia ini sudi kehilangan kemerdekaannya, meski jika kemerdekaan yang
dimilikinya sudah sangat terbatas. Tentunya perlawanan tanpa kekerasan bisa
digambarkan dengan pencapaian setara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar