Minggu, 10 Agustus 2014

Patriotisme dalam Komik Indonesia

Patriotisme dalam Komik Indonesia

Seno Gumira Ajidarma  ;  Wartawan
KOMPAS, 10 Agustus 2014
                                               
                                                                                                                                   

Patriotisme kultural merupakan salah satu faktor pembentuk embrio nasionalisme, setidaknya menjadi perbincangan Johann Gotfried Herder (1744-1803) pada abad ke-18, untuk terus berproses di Eropa, antara lain tergarisbawahinya kedaulatan rakyat dalam Revolusi Perancis, sebelum nasionalisme makin populer setelah abad ke-19 [Riff, 1995 (1995): 194-5]. Di Indonesia, ketika patriotisme terumuskan sebagai keberpihakan terhadap Tanah Air, merupakan ideologi yang terhadapnya sering dilakukan eksplorasi maupun eksploitasi, seperti dalam berbagai sandiwara menyambut hari kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus.

Jika nasionalisme membawa seseorang kepada pilihan politik, patriotisme adalah ”nasionalisme plus”, karena terhadap pilihan politik itu dipertanyakan kesanggupannya berkorban, terutama pengorbanan jiwa sebagai kesadaran. Jika martir dilahirkan oleh momentum sejarah, seorang patriot dengan pengorbanan paling heroik justru memudar dalam ketiadaan pretensi pribadi, tanpa seorang pun mengingatnya.

Berbagai naratif hadir berdasarkan pengetahuan ini sehingga dikenal istilah seperti ”pahlawan tak dikenal”, yang oleh Chairil Anwar dinarasikan sebagai ”yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi”, yang ”tidak bisa teriak ’Merdeka’ dan angkat senjata lagi”. Ditulis eksplisit ”4.000-5.000 nyawa”, jika dimaksud sebagai metafor pun tetap mengungkapkan penghargaan tinggi, lebih tinggi dari ”pahlawan bersertifikat” yang mungkin menerima santunan finansial dan dikuburkan di Taman Makam Pahlawan—tentu tanpa harus mengurangi jasa yang belakangan ini.

Alih-alih menguburkan, naratif ini menghidupkan kembali para patriot dari kematian, membuat mereka yang tiada bernama hadir di panggung naratif dari masa ke masa. Adapun jejak patriotisme juga terdapat dalam komik Indonesia.

Patriotisme bersenjata

Patriotisme yang spesifik, artinya berhubungan langsung dengan ”revolusi fisik” dalam nasionalisme Indonesia, tentu adalah Kissah Pendudukan Jogya karya Abdulsalam yang dimuat harian Kedaulatan Rakyat dari 19 Desember 1948 sampai 29 Januari 1949. Disebutkan, Abdulsalam adalah pelopor komik revolusi (Atmowiloto, 1980). Embel-embel ”fisik” pada istilah ”revolusi” ini penting bagi komik Indonesia karena pada sisi sebaliknya, yakni ”revolusi mental”, belum terlalu jelas apakah kiranya yang akan di-gambar-kan.

Arswendo Atmowiloto juga mencatat, dalam kisah revolusi fisik (baca: bersenjata) terdapat juga komik berjudul Suprijadi gubahan Abd Sjukur. Ternyata, di balik misteri hilangnya Supriyadi yang menggalang pemberontakan para anggota pasukan Pembela Tanah Air (Peta) di Blitar, jejaknya terungkap kembali dalam seri kedua dari komik seri Komando Rajawali: (1) Rajawali Rajawali, (2) Lawan!, dan (3) Surabaya Membara, ketiganya terbit tahun 2013 yang, meski setiap fragmennya sudah utuh, janji kebersambungannya membuat pembaca penasaran.

Imajinasi tentang kemunculan Supriyadi, pemimpin pemberontakan Peta di Blitar, 14 Februari 1944, yang menghilang, dalam komik seri Komando Rajawali (2013).

Komik seri ini juga memperlihatkan jejak produksi komik masa kini: [1] sepenuhnya berwarna pada kertas ”edisi luks”; [2] dikerjakan oleh sebuah tim dengan formasi studio, yang membuat setiap elemen komik tertangani: penulis cerita (Edna Caroline), pegambar yang sekaligus mewarnai (Thomdean), penulis huruf dan perancang gambar (Wendie Artswenda), peneliti (Estining Pamungkas), dan para penyunting (Suryopratomo dan Tigor Tanjung); [3] menerapkan konsep bineka tunggal ika secara radikal, melalui peran-peran etnik Tionghoa di pihak gerilyawan; [4] menonjolkan keberanian perempuan pejuang, dalam hal ini sebagai mata-mata dengan risiko berbahaya; [5] memindahkan orientasi sejarah perjuangan keluar dari Jakarta, dalam hal ini ke arah timur, dari Purwokerto, Purworejo, Blitar, sampai ke Surabaya.

Meskipun dinyatakan sebagai fiksi, yang justru ”memberi nama” para pahlawan tak dikenal, para pejuang ”dikenal” pun diberi tempat, tetapi hanya yang tidak terjebak kebusukan politik (Sudirman, Gatot Subroto, Supriyadi, Muradi). Dengan dukungan riset atas tokoh-tokoh semacam ini, pengungkapan realisme terbantu secara kuat. Dalam hal ini, peran para anggota Komando Rajawali yang serba remaja bisa mementahkan kematangan drama. Namun, karena ditujukan untuk mengobarkan patriotisme remaja pula, supaya jangan menjadi hamba-hamba zaman baru yang ”non-ideologis”, keremajaan itu tentunya baik-baik saja.

Tanpa kekerasan

Pencapaian komik ini sendiri, dengan penulisan teks yang efisien (kadang juga cemerlang secara falsafi), gambar sinematik (kadang simbolik) yang terhindar dari godaan ”ekspresi pribadi”, tetapi memberi berbagai selingan presentasi puitik, lebih dari berdaya dalam kompetisi di pasar—jika tidak berhenti dengan tiga judul. Dalam hal ini komunitas komik Indonesia boleh diuji patriotismenya: to buy or not to buy, that is the question.

Tinggal sebuah pertanyaan menimbulkan kebimbangan: tiadakah alternatif patriotisme lain selain kekerasan? Revolusi ”fisik” saya kira tak harus hanya berarti ”bersenjata” karena perlawanan terhadap penindasan tentunya tidak hanya dengan senjata. Betapa pun, tidak satu manusia pun di dunia ini sudi kehilangan kemerdekaannya, meski jika kemerdekaan yang dimilikinya sudah sangat terbatas. Tentunya perlawanan tanpa kekerasan bisa digambarkan dengan pencapaian setara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar