Senin, 11 Agustus 2014

Solar, Harga Global Kualitas Lokal

Solar, Harga Global Kualitas Lokal

Effnu Subiyanto  ;   Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
KORAN JAKARTA, 11 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Bagai cerita fiksi legendaris Hercules, penduduk Indonesia tak ubahnya sedang menjalani kutukan tidak berujung oleh Dewi Hera. Tragedi datang silih berganti. Bencana alam, banjir, tanah longsor, gagal panen, wabah penyakit, kelaparan, pencemaran alam, dan kini bangsa Indonesia menghadapi kutukan minyak dengan kenaikan atau pembatasan BBM berkali-kali.

Masa emas sebagai negara pengekspor minyak tahun 1990–2000 telah berlalu. Kenikmatan windfall profit sehingga tahun 1981 penerimaan negara dari sektor minyak menyumbang 70 persen APBN sudah berakhir. Sejarah berbalik, kini Indonesia berubah menjadi negara net importir lebih kurang 369 ribu barel minyak mentah dan 210 ribu barel BBM per hari.

Berkali-kali APBN dirombak dengan alasan menyesuaikan harga minyak, dan konsekuensinya selalu tidak prorakyat karena kenaikan berarti menghapus subsidi BBM. Perkembangan terakhir karena kuota BBM bersubsidi jenis solar akan habis pada November, solar mulai dibatasi sejak 1 Agustus 2014.

Ketidakpastian kebijakan energi mengherankan karena Indonesia tidak sendirian dalam mengonsumsi minyak. Malaysia juga menggunakan minyak impor 40 persen kebutuhan dalam negeri, namun harga minyak tidak memengaruhi anggaran mereka. Filipina, Thailand, Singapura juga mengimpor minyak, namun anggaran negara mereka tidak bolak-balik direvisi. Minyak bagi mereka bukan subjek dependent, namun bisa diubah menjadi variabel independent sehingga tidak mengganggu operasional negara, portofolio energi lebih bervariasi, sementara di sini tidak.

Kebijakan tersebut merupakan dampak dari pemotongan kuota BBM bersubsidi dua juta kiloliter, dari semula 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter. Subsidi BBM diperkirakan naik 74,3 triliun menjadi 285 triliun rupiah. Sementara subsidi BBM untuk PLN melonjak 35,7 triliun menjadi 107,1 triliun rupiah.

Kini, harga solar di SPBU mencapai 13.300 per liter dari 5.500 per liter. Kenaikan 141,82 persen ini tentu memukul konsumen, utamanya pengusaha transportasi barang, transportasi umum, nelayan, dan industri.

Setelah dilepas subsidinya, kini harga solar Indonesia sama dengan negara-negara seperti Grenada, Taiwan, Nigeria, Brasil, Pakistan, Jamaika, dan Chad dalam kisaran 1,08–1,12 dollar AS per liter. Harga BBM jenis solar Indonesia malah lebih mahal dari Amerika (1,02 dollar AS per liter), Vietnam (1,07), Malaysia (0,57), Thailand (0,93), India (1,03), dan Vietnam (1,07 dollar AS per liter).

Pada tahun 2007, alasan kenaikan harga eceran BBM bersubsidi jenis premium karena ditingkatkan spesifikasi semula beroktan 88 menjadi premium 90, kali ini, solar tidak jelas betul alasannya. Masyarakat tentu bingung karena semua jenis solar, baik biosolar, DEX, maupun solar biasa, harganya dipukul rata. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi jenis solar kali ini betul-betul produk implementasi politik energi pemerintah yang terburu-buru dan panik.

Harga Global

BBM jenis solar yang dijual di SPBU Indonesia sebetulnya memiliki tiga tingkatan kualitas berbeda-beda. Jenis solar DEX yang terbaik dengan kandungan sulfur (belerang) maksimal 300 part per million (ppm). Inilah yang pantas dihargai paling tinggi sampai 13.300 per liter itu. Jika pada bensin dikenal octane number (RON), untuk solar dikenal cetane number (RCN). Angka RCN solar DEX paling tinggi 53 jika premium setara dengan RON 90.

Kualitas sedang lainnya jenis biosolar dengan kandungan belerang maksimal 500 ppm. Sementara solar biasa dengan kandungan belerang buruk sampai dengan 3.500 ppm. Nilai RCN biosolar 51 dan 48 untuk jenis solar biasa. Kini rakyat seperti dibodohi karena di tengah kepanikan pembatasan solar ini, kemungkinan mendapat solar biasa, namun dengan harga DEX.

Pembatasan solar per 1 Agustus 2014 menjadi kebijakan fatal pemerintah dibanding kualitas solar yang bisa diperoleh di negeri ini. AS, misalnya, menerapkan regulasi kualitas solar dengan kandungan belerang maksimal 500 ppm tahun 1993. Berangsur-angsur ditekan kandungan sulfurnya bersamaan dengan kenaikan harga dan sekarang pada tingkat eceran 1,02 dollar AS per liter, namun kandungan sulfurnya maksimal 15 ppm.

Jadi, posisi sekarang dibanding antara solar Indonesia dan AS, ilustrasinya: kualitas solar AS 19 kali lebih baik, namun harganya 109,8 persen lebih mahal solar Indonesia. Ini tentu ironis dan menyedihkan. Harga BBM solar Indonesia sudah mengikuti standar internasional, namun kualitasnya sangat lokal. Yang memrihatinkan pada mayoritas daerah luar kota tidak akan bisa ditemukan alternatif solar karena kekuatan jaringan SPBU Pertamina.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa buruknya kualitas bahan bakar akan memengaruhi faktor lain, misalnya, biaya pemeliharaan yang ditanggung rakyat. Mesin-mesin mobil diesel Indonesia menjadi sangat tidak efisien dengan mengonsumsi 17-20 persen lebih banyak dari mesin mobil diesel negara lain.

Harga BBM sekarang menyebabkan biaya transportasi Indonesia paling tinggi di ASEAN, 30 persen di atas rata-rata. Selain itu, ketidakefisienan membuat lebih dari 50 persen biaya sektor transportasi dibakar tidak produktif di jalanan menjadi asap yang mencemari udara.

Dampak lain frekuensi penggantian suku cadang kian cepat. Dengan BBM berkualitas buruk, membuat mesin bekerja ekstrakeras sehingga overheating. Suku cadang bagian dalam mesin lebih cepat aus. Jadi, diperlukan lebih sering penggantian sistem pendingin seperti pelumas serta harus sering ke bengkel untuk diperiksa. Karet untuk menyambung bagian-bagian mesin harus sering diganti. Potensial kebocoran cairan dalam mesin semakin besar. Beban lain seperti tingginya kerja mesin putaran stationer karena kemacetan harus ditanggung mesin.

Ongkos kemacetan luar biasa boros. Di Jakarta saja, menurut penelitian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), pada tahun 2013, rugi macet mencapai 43 triliun rupiah. BBM yang dibakar percuma senilai 14,84 triliun per tahun. Kondisi luar biasa kompleks ini menyuburkan bengkel. Di sini diibaratkan tiap satu kilometer ada 100 bengkel. Semantara, negara lain, baru ada satu bengkel setelah 100 kilometer.

Pemerintah dituntut arif menyikapi prahara konsumsi BBM solar ini, tidak boleh serampangan. Subsidi dilepas memang sudah merupakan tuntutan, namun harus diimbangi dengan peningkatan kualitas yang sepadan. Jika kualitas solar biasa dijual dengan harga internasional, berarti pemerintah turut berkontribusi informasi tidak benar kepada publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar