Senin, 11 Agustus 2014

Memahami Spiritualitas Tanggung Jawab

Memahami Spiritualitas Tanggung Jawab

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 11 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

FENOMENA kehidupan terlalu kompleks untuk dijelaskan secara ringkas dan sederhana hanya dari satu sisi. Dalam dunia pendidikan, memahami fenomena dari sudut pandang yang beragam merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima semua pihak. Guru dan orangtua tak bisa mengambil kesimpulan terlalu cepat terhadap kondisi siswasiswi dan anak-anak mereka. Begitu juga sebaliknya, siswa harus terbiasa untuk diajari tentang beragamnya sudut pandang. Dari cara semacam ini kita bisa melihat bahwa untuk menjadi orang yang bertanggung jawab, kita memerlukan beragam sudut pandang, agar inti dari kompleksitas persoalan dapat ditemukan.

Banyak orang tak meyakini bahwa tanggung jawab lahir dari kerja keras setiap hari secara ikhlas. Hanya kerja keras dengan keikhlasanlah yang akan melahirkan sikap rendah hati dan menumbuhkan sikap selalu ingin berbagi kepada orang lain. Dari sudut ini, tanggung jawab akan memperoleh padanannya, yaitu tumbuhnya spiritualitas yang memancarkan kemurnian jiwa seseorang dalam menjalani hidup. Kazuo Inamori dalam A Compass to Fulfillment: Passion and Spirituality in Life and Business (2010) menunjukkan banyak contoh bahwa keberhasilan seseorang dalam meraih kesuksesan sesungguhnya lebih banyak ditentukan kerja keras yang ikhlas.

Ketika ada banyak guru di sekolah yang saya bina bertanya tentang kompleksitas persoalan yang mengganggu karier dan keikhlasan dalam mengajar, saya katakan bahwa penyebab semua itu ialah kita tidak meyakini bahwa fokus dalam bekerja ialah bentuk tanggung jawab. Dalam bahasa Robin Sharma (2012), seseorang memerlukan singularity focus untuk sukses dalam karier dan usaha, karena tanpa fokus yang memadai, seseorang tidak akan mampu menemukan jati dirinya. Sebagaimana Picasso yang tidak pernah belajar bermain piano kecuali melukis, gambaran kesetiaan terhadap pilihan karier secara bertanggung jawab menunjukkan spiritualitas seseorang.

Spiritualitas

Menjadi guru, misalnya, jika tak didasari kerja keras secara ikhlas yang ditunjukkan dengan banyak membaca dan mengkaji bahan secara kreatif, pasti tak akan memiliki nilai spiritualitas sama sekali. Hanya membaca, menulis, dan mengkaji setiap bahan yang akan diajarkan kepada siswa secara cerdaslah yang akan membawa seorang guru pada bentuk spiritualitas yang tinggi, di mata manusia, apalagi di mata Sang Maha Pencipta. Sebagaimana layaknya bekerja, mengajar dapat membantu seorang guru untuk naik ke tataran yang lebih tinggi daripada sekadar memenuhi hasrat-hasrat sendiri dan merupakan cara paling efektif untuk mengembangkan pikiran dan membangun karakter kita.

Mungkin banyak orang yang membayangkan bahwa membersihkan jiwa harus melulu melibatkan laku ritual keagamaan tertentu sehingga kita merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Namun, bukti empiris di lapangan menunjukkan ternyata mencintai pekerjaan secara bertanggung jawab justru akan lebih cepat mengantarkan seseorang memiliki kedalaman spiritual. Mengajar, sebagaimana bekerja, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, pasti akan membawa seorang guru pada evolusi secara alami dalam jiwa yang akan memperkuat karakter para guru, sehingga pada akhirnya kita akan memperoleh kemuliaan hidup dunia dan akhirat.

Jika para guru memiliki kesimpulan bahwa proses belajar-mengajar merupakan laku spiritual yang tinggi nilai kemuliaannya, secara semantik akan berakibat pada pemahaman bahwa proses pendidikan seharusnya dipenuhi oleh sikap kritis dan daya cipta guru yang berorientasi pada pengembangan bahasa pikiran (thought of language) siswa dalam rangka mengasah daya jelajah imajinasinya sesuai dengan lingkungan tempat mereka bertempat tinggal. Karena itu, sangat penting dalam proses belajar-mengajar guru harus lebih banyak memperhatikan aspek kesadaran (consciousness) siswa mereka yang terpusat pada aspek afektif dan psikomotorik.

Dalam bahasa yang lebih gamblang, bahkan Paulo Fraire membuat ilustrasi dialektika yang ajek dalam komponen pendidikan, yaitu pengajar (guru/dosen), pelajar (siswa/mahasiswa) dan realitas dunia. Pengajar dan pelajar adalah subyek yang sadar (cognitive), sedangkan realitas dunia adalah objek yang harus disadari (cognizable). Pertanyaannya ialah apakah skema pengajaran dalam sistem pendidikan kita selama ini menggunakan jenis dialektika tersebut? Kita berani mengatakan tidak karena hampir semua bahan ajar yang diajarkan di ruang-ruang kelas terasa jauh dari realitas dunia mereka. Pengulangan demi pengulangan sering kali terjadi sehingga guru menjadi mati rasa karena tak memiliki kemampuan membaca pesan realitas sosial dalam subjek yang mereka ajarkan.

Dalam konteks inilah Paula Allman dalam Critical Education against Global Capitalism: Karl Marx and Revolutionary Critical Education (2010) dengan gamblang menjelaskan kegagalan sistem pendidikan yang terlalu berorientasi kepada pasar dan dunia industri. Ada dua alasan mengapa Allman sangat pesimistis, yaitu 1) dunia saat ini tidak bisa menghindari kapitalisme dalam segala bentuknya; 2) hampir dapat dipastikan bahwa seluruh proses belajar yang berlangsung di ruang-ruang kelas saat ini justru cenderung antirealitas, sehingga antara das sein dan das solen dalam dunia pendidikan tak pernah nyambung.

Kita berharap di tahun ajaran baru ini para guru telah memiliki kesadaran spiritual tentang makna mengajar beserta implikasi logisnya. Melalui kecintaan terhadap pekerjaan mengajar, yang ditunjukkan dengan contoh dan keteladanan, akan tumbuh kesadaran bahwa pendidikan haruslah didasari pada cinta kasih yang tulus dan ikhlas, serta berdasarkan realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tanpa cinta dan keikhlasan, pendidikan menjadi kering dan mudah terjerembap ke dalam ranah politik dan hukum yang tak akan ada habisnya. Pendidikan harus menjadi instrumen untuk mewujudkan dan melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan, dengan moral sebagai panglimanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar