Soekarno
sebagai Sebuah Konsep
Tjahjono Widarmanto ;
Guru SMAN 2 Ngawi,
Sastrawan, Puket I Bidang Akademik STKIP PGRI, Penggiat majalah sastra
Kalimas, Mahasiswa Program S-3 Unesa
|
JAWA
POS, 11 Agustus 2014
NAMA Soekarno, yang kemudian populer disebut Bung Karno,
merupakan nama yang abadi dalam fakta sejarah Indonesia. Tidak bisa
dimungkiri, dalam perjalanan sejarah Indonesia, nama Soekarno-lah yang paling
sering disebut dan diperbincangkan. Sosok Soekarno memang memiliki pesona
yang besar, baik dari sisi individu kepribadian maupun
pemikiran-pemikirannya. Hidupnya pun, lazimnya tokoh-tokoh dunia, sering
mengundang kontroversi dan polemik, mulai kisah cinta hingga biografi politiknya.
Bahkan, di beberapa sisi, masih ada ’’misteri’’ bagi khalayak. Misalnya,
akhir hidupnya.
Sayangnya, apresiasi dan pengkhidmatan kita selama ini terhadap
sejarah hanya berhenti pada sekadar mitos serta sedikit hafalan tentang
riwayat hidup para tokoh sejarah. Kita tidak pernah berusaha memahami,
menelisik, atau menganalisis secara kritis pandangan-pandangan serta
pemikiran-pemikiran mereka. Demikian juga dalam memandang sosok Soekarno.
Kita (lebih-lebih mereka yang seusia dengan penulis yang lahir dalam kurun
waktu yang jauh dari era Soekarno) di bangku sekolah (SD hingga SMA) hanya
mengenal kecemerlangan beliau dalam perannya sebagai proklamator, pahlawan,
sekaligus diktator yang populer. Sementara itu, pemikiran intelektual
Soekarno sesungguhnya sehingga dianggap diskursus politik nyaris tidak pernah
dikenalkan.
Tulisan pendek ini berusaha memahami kembali wacana intelektual
Soekarno sebagai warisan, tidak bermaksud menghidupkan atau mendewakannya.
Anggapan mendewakan Soekarno adalah prasangka yang berlebihan. Sebab,
sesungguhnya pemikiran intelektual Soekarno telah hidup sebagai sebuah
paradigma yang terbuka. Artinya, pemikiran-pemikiran intelektual Soekarno
selalu abadi untuk ditelaah dan dikritisi. Dengan kata lain, pemikiran
Soekarno sudah menjadi ilmu pengetahuan yang diperdebatkan, dikritisi, dan
merangsang tumbuhnya teori baru di bidang politik serta ketatanegaraan.
Banyak pemikiran besar Bung Karno. Namun, menurut hemat penulis,
ada empat konsep penting. Yaitu, nasionalisme, kedaulatan, kerakyatan, dan
persatuan. Konsep-konsep tersebut sering dituangkan beliau dalam
tulisan-tulisan serta pidato-pidatonya sejak prakemerdekaan hingga pasca
kemerdekaan. Empat konsep itu pun sering dikemukakan Bung Karno secara utuh
berkaitan satu dengan yang lain, bukan bagian demi bagian.
Dalam memandang konsep nasionalisme, Soekarno sangat terpengaruh
pemikiran Otto Bauer, penulis kebangsaan Austria abad ke-19 (Dhakidae, 2013).
Seperti juga Bauer, Soekarno mensyaratkan secara mutlak nasionalisme dengan
keinginan untuk merdeka yang diprinsipkan sebagai jede Nationeine Statt:
setiap bangsa satu negara. Pendapat Bauer tentang bangsa dalam bukunya, Die Nationalitatenfrage und die
Sozial-democratie (1970), ditafsirkannya sebagai: satu persamaan, satu
persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter dan watak ini tumbuh,
lahir, terjadi karena persatuan pengalaman (Soekarno,1964).
Pemikiran Ernest Renan, mahaguru Sorbonne University, Paris
(1823–1892), juga sangat mengilhami pemikiran Soekarno. Mengutip Renan, Soekarno
mensyaratkan kehendak bersatu untuk menuju kehidupan berbangsa. Dalam
otobiografinya, Di Bawah Bendera
Revolusi Jilid 1 (1964), dikatakan: syarat adanya bangsa adalah kehendak
akan bersatu dan mau bersatu. Bangsa adalah satu jiwa, une nation est us ame.Selain itu, satu bangsa adalah satu solidariteit (rasa kesetiakawanan yang
besar), une nation est un grand
solidarite.
Bagi Soekarno, melihat kondisi Indonesia yang beragam tuntutan
setiap bangsa satu negara harus diikuti dengan hasrat dan keinginan untuk
kesatuan nasional. Persatuan nasional berarti keharusan untuk menyingkirkan
pelbagai perbedaan partikular dan kedaerahan serta membentuk front perjuangan
melawan penjajahan (Cindy Adams, 2011).
Kegandrungan pada persatuan dan kesatuan itu kelak memengaruhi kegigihan
Soekarno yang mengobsesinya untuk mengawinkan gagasan-gagasan besar yang
berseliweran di ruang politik kala itu seperti sosialisme, islamisme,
demokrasi, dan liberalisme ke dalam sebuah ide baru yang dapat diterima
orang.
Soekarno juga menganjurkan nasionalisme yang lebih luas serta
egaliter yang keluar dari kepompong etnonasionalisme dan cengkeraman
feodalisme (Im Yang Tjoe, 2008). Selain itu, mengkritik pandangan ideologi
nasionalisme ’’gurunya’’, Tjokroaminoto, yang dipandangnya sempit karena
selalu menggunakan lensa mikroskop Islam (Cindy
Adams, 2011). Nasionalisme bagi Soekarno harus diikuti keadilan sosial
yang secara lugas dikatakannya: Nasionalisme tanpa keadilan sosial adalah
nihilisme.
Soekarno sangat memahami, dalam nasionalisme terdapat kekuatan
energi, inspirasi, inovasi, kreativitas, dan vitalitas. Nasionalisme berperan
menghimpun semua kekuatan, semua ketetapan hati dan tekad, untuk mengubah
keseluruhan hidup berbangsa. Soekarno menolak nasionalisme yang bersifat
agresif. Nasionalisme yang dicita-citakannya adalah ’’nasionalisme jang
mentjari selamatnja perikemanusiaan’’(Di
Bawah Bendera Revolusi hal 174). Nasionalisme itu sejalan dengan
cita-cita nasionalisme Mahatma Gandhi, yaitu nasionalisme yang menjunjung
tinggi perikemanusiaan.
Kerakyatan merupakan dasar pemikiran sosialisme Soekarno.
Sosialisme merupakan salah satu ideologi yang digandrungi Soekarno. Dalam hal
sosialisme, Soekarno mempunyai pandangan tersendiri, tidak sekadar copy paste sosialisme sebagaimana yang
diteorisasikan konteks pemikiran Barat. Dengan tegas, dia mengatakan,
Kuulangi bahwa aku seorang sosialis. Bukan komunis. Aku tidak akan menjadi
komunis. Aku tidak akan menjadi seorang simpatisan komunis (Cindy Adams, 2011). Sosialisme
Soekarno tidak sejajar dengan komunisme karena dua hal. Pertama, dia percaya
pada demokrasi. Kedua, tidak memasukkan konsep materialisme karena Soekarno
percaya dan bertakwa kepada Tuhan (Yudi
Latif, 2013). Soekarno mengupayakan kontekstualisasi sosialisme ke dalam
realitas sosio-historis keindonesiaan.
Kerakyatan sebagai dasar pemikiran sosialisme Soekarno menjadi
khas sosialisme Indonesia yang kemudian disebut Soekarno sebagai
marhaenisme.Istilah itu bermula dari perjumpaan Soekarno dengan petani miskin
yang bernama Marhaen. Dalam berbagai tulisannya, Soekarno mendefinisikan
marhaenisme sebagai asas dan perjuangan sosialisme ala Indonesia berdasar
prinsip sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang menghendaki lenyapnya
kapitalisme, imperialisme, serta kolonialisme.
Pada 17 Agustus 1964, dalam sebuh pidato yang berjudul Tahun ViVere Pericoloso
(Tavip),Soekarno menekankan tiga paradigma besar yang bisa menjadi pendorong
bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh menjadi bangsa yang besar. Tiga paradigma
itu disebut Trisakti. Yaitu, tiga daulat: berdaulat dalam politik, berdaulat
dan berdikari dalam ekonomi, serta berdaulat dan berkepribadian dalam
kebudayaan. Tiga daulat Trisakti itu merupakan sebuah terobosan konsep untuk
menegakkan keadilan sosial demi mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang
adil dan makmur. Trisakti itulah yang menjadi inti nation and character building. Trisakti itulah yang seharusnya
menjadi tumpuan konsep orientasi kita ke depan yang harus diterjemahkan dalam
langkah-langkah yang riil serta strategis.
Sayang sekali, selama ini konsep berdaulat yang digaungkan
Soekarno sejak hampir seabad lalu sering hanya menjadi perbincangan sebatas
wacana. Istilah berdaulat hanya dipandang sebatas mantra yang diulang-ulang,
dianggap suci dan mandek. Berdaulat sebatas wacana, tidak pernah dielaborasi
dalam tataran yang lebih praktis. Sebenarnya secara konseptual Ki Hajar
Dewantara sudah merespons konsep kedaulatan Soekarno dengan menarasikannya
dalam tiga aspek. Bagi Ki Hadjar Dewantara, suatu bangsa dianggap berdaulat
bila memiliki tiga aspek. Pertama, independen atau memiliki otoritas sendiri.
Itu berarti menolak segala bentuk penjajahan dan interverensi. Kedua, bangsa
yang berdaulat menolak pembodohan. Ketiga, bangsa yang berdaulat menolak
ketergantungan.
Akhir kata, sekali lagi, tulisan ini tidak hendak mendewakan
Soekarno. Hanya merupakan upaya kecil untuk mempelajari, memahami, serta
mengkritisi kembali sejarah pemikiran politik dan kebangsaan Indonesia yang
telah dipikirkan para pendahulu kita untuk merajut masa depan yang lebih
berharkat, bermartabat, berkeadilan, dan berkemakmuran. MERDEKA! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar