Ilusi
Negara Islam
Bagus Kurniawan ;
Dosen Jurusan Sastra
Indonesia
Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta;
Aktif
dalam Lingkar Studi Serikat Pandan Sembilan Jogjakarta
|
JAWA
POS, 11 Agustus 2014
MEWUJUDKAN negara Islam Indonesia yang berasas kekhilafahan
selama ini merupakan mimpi manis bagi gerakan radikal di berbagai pelosok
negeri ini. Persoalan mewujudkan negara Islam Indonesia itu kemudian menimbulkan
banyak masalah. Pertama, gerakan tersebut merupakan tindakan makar karena
berkeinginan mengganti dasar negara dari Pancasila ke syariat Islam –yang
berarti mengingkari UUD ’45 dan cita-cita proklamasi Indonesia. Kedua, sistem
kekhilafahan yang dipaksakan akan berhadapan dengan sistem demokrasi yang
lebih dulu mapan sehingga untuk mewujudkan tujuan tersebut harus ditempuh
cara radikal dan cenderung konfrontatif dengan pemerintahan demokratis.
Isu negara Islam Indonesia bukanlah persoalan baru. Sebab, pada
fase awal terbentuknya Republik Indonesia juga ada pemberontakan DI/TII
pimpinan Kartosuwiryo yang menginginkan bentuk negara berdasar hukum-hukum
Islam. Meskipun dapat ditumpas, ideologi negara Islam yang disebarkan gerakan
itu mampu menjadi bahaya laten yang terus-menerus diyakini kelompok tertentu
sebagai ideologi perjuangan. Hal tersebut dibuktikan dengan merebaknya isu
negara Islam Indonesia di bawah kepemimpinan Panji Gumilang yang dipusatkan
di Ponpes Al Zaytun, Indramayu, Jawa Barat, pada medio 2000-an.
Pergerakan mewujudkan negara Islam Indonesia selalu diwarnai
dengan pola-pola yang sama, yaitu menentang kewibawaan pemerintahan NKRI.
Itulah yang harus disikapi dengan tegas oleh pemerintah. Sebab,
ketidaktegasan pemerintah terhadap ideologi radikal akan melunturkan hegemoni
pemerintah di mata rakyat. Seperti halnya dikemukakan oleh Antonio Gramsci
dalam bukunya yang berjudul Prison
Notebooks (2013) bahwa hegemoni harus direncanakan karena tidak terbangun
secara alamiah, tetapi perlu disebarkan oleh agen-agen pemerintah sehingga
hegemoni pun perlu dirawat untuk terus mencapai derajat konsensus di dalam
masyarakat. Kesimpulannya, pemerintah perlu tegas dalam mengatasi persoalan
gerakan radikal di Indonesia. Sebab, jika tidak, hegemoni pemerintah akan
luntur dan keutuhan NKRI menjadi taruhannya, sebuah risiko yang tak
terbayangkan.
Rintangan Kultural
Mewujudkan negara Islam Indonesia dapat dikatakan sebagai tujuan
yang tidak relevan untuk diterapkan di Indonesia. Sebab, ada dua faktor yang
menjadi rintangan besar, yaitu faktor sosiologis dan ideologis. Pertama, jika
melihat faktor sosiologis, Indonesia merupakan masyarakat multikultural.
Artinya, masyarakat Indonesia adalah demografi penduduk yang terdiri atas
ratusan etnis dan kultur yang berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya.
Kedua, dari sisi ideologis, bangsa Indonesia terdiri atas berbagai agama dan
aliran kepercayaan yang diakui Undang-Undang Dasar 1945. Di Aceh, barangkali
penerapan syariat Islam sebagai hukum dan kehidupan bermasyarakat tidak akan
menjadi persoalan karena penduduk wilayah tersebut mayoritas beragama Islam.
Persoalan sebaliknya muncul jika penerapan syariat Islam dipaksakan di
wilayah yang mayoritas penduduknya nonmuslim, misalnya Bali, Ambon, dan
Papua. Di wilayah-wilayah tersebut tidak pernah ada jaminan bahwa hukum Islam
akan diterima sebagai hukum yang mengikat bagi setiap warganya karena secara
ideologis berbeda dengan keyakinan yang dianutnya. Karena itu, menurut KH
Abdurrahman Wahid dalam buku Ilusi
Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (2009),
pemaksaan pembentukan negara Islam adalah impian yang penuh rintangan
ideologis dan kultural karena terlalu banyak yang perlu dinegosiasikan dan
dikompromikan jika akan diwujudkan.
Pemahaman penerapan syariat Islam perlu diperjuangkan dengan
cara-cara damai sehingga dapat terhindar dari konflik-konflik kultural dan
tidak perlu terjebak pada simbol-simbol keislaman yang kolot. Kita harus
kembali kepada hakikat ajaran Islam yang mengajarkan kedamaian serta penuh
toleransi terhadap kultur dan agama lain. Harus kita yakini pula bahwa NKRI
adalah bentuk pemerintahan yang paling ideal bagi seluruh wilayah Indonesia
dari Sabang sampai Merauke sebagaimana yang telah dirumuskan para pendiri
bangsa. Umat Islam di Indonesia bukan pemilik tunggal Republik Indonesia. Ada
pemeluk agama lain dan kultur lain yang memiliki hak yang sama dengan umat
Islam. Islam tak perlu diejawantahkan melalui simbol-simbol keagamaan yang
kadang-kadang justru alpa dalam memperhatikannya secara substansial sebagai
sistem nilai sekaligus menunjukkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Jika meyakini hal itu, kita akan terbebas dari sebuah ilusi yang pada
akhir-akhir ini menjangkit di belahan bumi Timur Tengah, yang merembet ke
semenanjung Asia Tenggara. Ya, negara Islam Indonesia semata-mata hanyalah
ilusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar