Sistem
Noken dan Demokrasi
Neles Tebay ;
Dosen STFT Fajar Timur;
Koordinator Jaringan Damai Papua di Jayapura
|
KOMPAS,
21 Agustus 2014
SISTEM noken digunakan dalam pemilihan presiden di 16 kabupaten
yang terletak di Pegunungan Tengah, Papua. Sistem ini menjadi populer karena
gugatan hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi. Banyak orang
bertanya, ”Apakah sistem noken dalam
pemilu mencerminkan atau mencederai demokrasi?”
Noken merupakan tas anyaman tradisional Papua yang dibuat dari
kulit kayu dan digunakan orang Papua yang mendiami pegunungan. Noken tidak
didatangkan dari luar karena dibuat oleh penduduk lokal, terutama kaum wanitanya.
Noken yang merupakan warisan budaya ini digunakan dalam pemilu—baik pilkada,
pemilu legislatif, maupun pilpres—entah sebagai sarana pengganti kotak suara,
entah sebagai representasi calon atau pasangan calon.
Noken sebagai simbol
Persoalan muncul ketika noken digunakan sebagai simbol dalam
pemilu. Sejak nama calon kepala daerah atau anggota legislatif atau presiden
dan wakil presiden ditetapkan, orang Papua di berbagai kampung di pegunungan
mulai terlibat dalam diskusi-diskusi, baik yang terjadi secara spontan maupun
terencana. Diskusi dilakukan di rumah adat, halaman tempat ibadah, halaman
balai desa, atau halaman rumah tertentu, dan dipimpin tokoh agama, tokoh
pemuda, guru, atau pegawai negeri yang dipercayai oleh penduduk lokal.
Dalam diskusi itu, mereka saling membagi informasi tentang sepak
terjang setiap calon yang hendak dipilih.
Mereka tidak membahas janji-janji para calon sebab janji tidak bisa
dipegang dan sulit diuji kebenarannya.
Informasi yang mereka cari dan bagikan berkisar tentang
kehidupan para calon. Mereka ingin mengetahui pekerjaan yang pernah
dilaksanakannya, kebiasaannya, hobinya, sifat-sifat dan karakter dirinya,
sikapnya terhadap orang lain, serta nilai-nilai universal yang dihidupi dan
diperjuangkannya. Kalau calon berasal dari desa tempat diskusi dilaksanakan,
peserta menyelidiki kontribusinya bagi kemajuan desa asalnya.
Dengan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya, orang kampung
mulai mendapatkan gambaran tentang calon siapa yang dapat dipercayai dan
layak dipilih. Setiap pemilih di kampung mulai mengambil keputusan personal
tentang calon yang akan dipilihnya.
Kemudian calon pilihannya disampaikan kepada orang lain untuk
menguji kelayakan dan mendapatkan tanggapan balik. Dengan demikian, semua
calon yang disebutkan para pemilih diuji kelayakannya oleh rakyat dengan
menggunakan kriteria kultural.
Pengujian melalui diskusi berlangsung hingga para pemilih di
suatu desa mencapai kesepakatan. Isi kesepakatan mencakup calon yang dapat
dipercayai dan, karena itu, layak diberikan suara kepadanya, serta seberapa
banyak suara yang dapat dialokasikan baginya.
Maka, menjadi jelas bahwa hasil pemilu adalah keputusan personal
dari setiap pemilih, yang disatukan secara bersama menjadi sebuah kesepakatan
komunitas, dan disimbolkan melalui noken. Rakyat bisa bersepakat ”mengisi”
semua suara dari desanya dalam sebuah
noken dan menyerahkannya kepada calon yang dipercayainya atau membagi suara
kepada beberapa calon.
Transparan
Kesepakatan rakyat ditetapkan sebelum pemungutan suara dilaksanakan.
Mereka tidak merahasiakan kesepakatan mereka tentang calon yang mereka pilih.
Mereka malah menceritakan kesepakatan mereka ke orang lain.
Oleh karena itu, biasanya orang sudah tahu hasil pemilu atau
calon siapa yang akan dipilih oleh rakyat di desa sebelum pemungutan suara
dilaksanakan. Pada hari pemungutan suara rakyat hanya mengungkapkan
kesepakatan mereka.
Di Pegunungan Papua, pemilu dilaksanakan secara transparan atas
dasar kesepakatan bersama yang merangkum keputusan pribadi para pemilih. Oleh
karena itu, rakyat tidak mempermasalahkan tempat pemungutan suara.
Pencoblosan surat suara bisa dibuat tempat pemungutan suara atau di kantor
kecamatan, tetapi hasilnya mesti sesuai dengan kesepakatan rakyat. Jadi, tidak ada rakyat yang memberontak ketika
pemungutan suara tidak dilaksanakan di tempat pemungutan suara.
Pemungutan suara tidak harus dihadiri semua pemilih karena
pencoblosan dapat dilakukan orang yang mewakili mereka. Rakyat tidak menyuruh
tokoh adat atau kepala suku melakukan pencoblosan, bukan karena tidak
percaya, tetapi karena menghormatinya.
Biasanya rakyat meminta tolong kepada orang yang mereka
percayai, entah salah satu di antara mereka, entah bahkan penyelenggara
pemilu, untuk melakukan pencoblosan sesuai dengan kesepakatan rakyat. Kalau
hasil pemilu sesuai dengan kesepakatan mereka, tidak ada rakyat yang
mengamuk.
Inti dari demokrasi adalah partisipasi seluruh rakyat. Maka,
dalam pemilu yang demokratis, seluruh rakyat mesti berpartisipasi secara
aktif membuat keputusan tentang calon yang dipilihnya.
Daulat rakyat
Dalam bahasa Sri-Edi Swasono, demokrasi adalah daulat rakyat.
Bukan daulat tuanku. Bukan pula daulat pasar (”Demokrasi Daulat Rakyat”, Kompas 16/8/2014). Ia menjelaskan
bahwa demokrasi politik menuntut partisipasi politik dan emansipasi politik
seluruh rakyat.
Kesepakatan rakyat yang disimbolkan melalui noken mencerminkan
partisipasi dan emansipasi politik. Rakyat telah menyatakan kedaulatannya
dalam memilih calon presiden yang dipercayainya. Atas dasar kedaulatan inilah,
rakyat di Kabupaten Dogiyai mengusir Bupati Dogiyai keluar dari ruangan
karena dia mengajak mereka memilih calon presiden yang bertentangan dengan
kesepakatan rakyat.
Maka, hasil pilpres yang menggunakan sistem noken, entah apa pun
hasilnya, mencerminkan kedaulatan rakyat. Rakyat telah melaksanakan pilpres
secara langsung, umum, bebas, transparan, jujur, dan adil. Dengan demikian,
menggugat hasil pilpres di Pegunungan Papua berarti mempermasalahkan
kedaulatan rakyat.
Malah, kita perlu menggali kearifan lokal di seluruh nusantara
agar memunculkan dan menambah sistem pemilu
berbeda-beda bentuknya, tetapi mencerminkan kedaulatan rakyat sehingga
seluruh rakyat berpartisipasi dan beremansipasi dalam pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar