Pemimpin
dan Pemberantasan Korupsi
Laode Ida ;
Wakil Ketua DPD
|
KOMPAS,
21 Agustus 2014
KECENDERUNGAN
meningkatnya praktik korupsi dalam dua tahun terakhir merupakan berita
menarik sekaligus memprihatinkan. Gerakan pemberantasan korupsi yang
dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), didukung pemberitaan media
massa yang begitu gencar, ternyata tak membuat ”rasa takut” para pejabat
politik dan atau aparat penyelenggara negara dari godaan untuk menggerus uang
rakyat. Sebaliknya, kerakusan sebagian elite yang diberi kesempatan berkuasa
dan atau mengendalikan administrasi keuangan negara itu justru semakin
meluas.
Jika jujur diakui, sebenarnya kasus-kasus korupsi yang sudah dan
tengah diproses KPK dan kejaksaan hanya sebagian kecil dari fakta lapangan
yang sesungguhnya terjadi. Setiap jajaran pemerintah daerah otonom dan atau
setiap instansi pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), andai
mau menelisiknya lebih jauh, bisa dipastikan tak akan ada yang luput dari praktik kotor itu. Laporan
masyarakat (termasuk yang disalurkan melalui DPD) tentang dugaan korupsi yang
disampaikan ke KPK saja konon sudah lebih dari 60.000 kasus. Namun, dengan
alasan keterbatasan sumber daya, yang ditangani hanyalah kasus-kasus
tertentu.
Begitulah fenomena perilaku korup dan fakta pemberantasan
korupsi di negeri ini. Praktik korupsi sudah demikian masif, jauh lebih parah
ketimbang era Orde Baru. Pelakunya pun sebagian besar generasi era reformasi
atau yang beruntung memperoleh jabatan dan kekuasaan pada era reformasi ini,
termasuk yang ikut berjuang menjatuhkan Soeharto. Sungguh ironis!
Pertanyaannya kemudian, apakah bangsa ini akan terus dibiarkan
terjebak di tangan para koruptor dan kita hanya mampu menggerutu, sementara
mereka terus saja jadi lintah pengisap harta bangsa? Sebagai warga bangsa
yang waras, kecenderungan kondisional seperti itu tentu tak boleh terus
dibiarkan berlanjut. Harus ada cara baru yang secara metodis-sistematis dilakukan
oleh kepemimpinan negara/daerah yang berani mengambil risiko. Bagaimana
caranya?
Tiga langkah
Pertama, pemberantasan korupsi harus memberdayakan elemen negara
yang tugas pokok dan fungsinya untuk itu. Tentu saja KPK harus diapresiasi
tinggi atas kinerjanya. Namun, dengan masifnya praktik korupsi, niscaya tak
akan bisa ditangani hanya dengan mengharapkan peran maksimal KPK dengan
sumber daya yang terbatas itu. Apalagi
original intent-nya hanya merupakan lembaga ad hoc, temporer, untuk
menangani kasus-kasus korupsi tertentu berskala besar.
Sementara negara terus
saja membiayai jajaran kejaksaan dan kepolisian sampai ke seluruh pelosok
negeri ini, di mana salah satu kewajiban atau tugas pokoknya adalah
memberantas korupsi. Pemborosan? Ya, sudah pasti. Padahal, kalau saja pihak
kejaksaan dan kepolisian menjalankan mandatnya itu melalui strategi preventif
dan kuratif, tentu mereka akan mampu secara signifikan menekan praktik dan
perilaku korup para pejabat, terutama di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan
KPK.
Kedua, jika sudah diakui perilaku korup dan praktik korupsi
merupakan bagian dari produk sistem politik berbiaya tinggi pada era
demokrasi, yang perlu dilakukan adalah revolusi sistemik di mana negara harus
campur tangan. Negara tak boleh membiarkan parpol jadi perusak moralitas
rakyat. Tak boleh pula menjadikan demokrasi sebagai ”kambing hitam” seraya
berbalik mundur ke arah sistem dan nilai yang tak demokratis, karena itu
berarti merampas kembali hak ratusan juta rakyat bangsa ini.
Rakyat tak bersalah. Sebaliknya para elite di parpollah yang
harus dikoreksi, seraya memastikan langkah konkret untuk menghadirkan parpol
yang bersih. Dan itu harus terkait dengan pencucian diri figur-figur kotor di
dalamnya. Pada saat yang sama, perlu juga dipertimbangkan agar negara
memberikan biaya memadai kepada parpol, termasuk menerapkan prinsip
akuntabilitas dalam penyelenggaraan administrasi keuangannya.
Ketiga, dalam kaitan yang pertama dan kedua di atas, posisi,
komitmen, dan keinginan politik pimpinan negara akan sangat menentukan.
Kepala negara, dalam konteks ini, harus bertindak sebagai ”panglima
pemberantasan korupsi” yang mengomandoi seraya memastikan jajaran kejaksaan
dan kepolisian untuk bekerja maksimal. Pimpinan kejaksaan dan kepolisian akan
jadi penentu gerakan aparat di bawahnya atau di daerah-daerah.
Kinerja aparat di jajaran
kejaksaan dan kepolisian harus ditandai dengan maraknya pemberantasan
korupsi di berbagai daerah, yang di titik tertentu secara bertahap akan
menjadikan jajaran pemerintahan di daerah baik dan bersih. Pada saat yang
sama, kepala negara atau kepala pemerintahan pun harus secara proaktif
mengidentifikasi dan memproses hukum para pembantu, bawahan, dan termasuk
kepala daerah yang sudah terindikasi korupsi tak boleh membiarkan tetap
bertahan pada jabatan seperti sekarang ini.
Gerakan pemimpin negara seperti itu memang perlu keberanian. Tak
boleh lagi ada alasan bahwa hal itu merupakan ranah penegak hukum saja dan
tak boleh dicampuri pihak lain, termasuk presiden. Sebab, jika tidak berani
bertindak yang dimulai dari ketegasan pimpinan negara, pada masa-masa yang
akan datang justru praktik korupsi akan kian merebak luas hingga ke desa.
Soalnya, mulai 2015 sudah akan digelontorkan dana untuk desa sebagai
implementasi UU tentang Desa, di mana alokasi dana desa akan jadi kewenangan
penuh pemerintahan desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar