Kamis, 21 Agustus 2014

“Negeri Tanpa Dendam”

                                          “Negeri Tanpa Dendam”

Herry Tjahjono   ;   Terapis Budaya Perusahaan
KOMPAS, 21 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

TAHUN 2014 merupakan tahun penuh gejolak kehidupan, dari yang paling manis sampai paling pahit. Beberapa waktu lalu kita masih ingat kasus Renggo Khadafi (11) yang diduga dianiaya kakak kelasnya, Sy (13). Renggo masih sempat berpesan sebelum meninggal, ”Ikhlas ya Mih.... Renggo sayang Mamih... tapi Sy jangan dipenjara ya Mih, kasihan Mih...”.

Pesan kehidupan luar biasa dari kejadian tragis itu adalah manusia kecil bernama Renggo yang, sadar atau tidak, memiliki kekuatan memaafkan yang penuh kemuliaan. Beberapa waktu sebelumnya, kekuatan memaafkan bernilai kemuliaan yang sama ditunjukkan Suroto dan Elisabeth, orangtua Ade Sara. Ade Sara adalah mahasiswi korban pembunuhan sadis oleh kedua temannya sendiri, HA dan AR. Orangtua Ade Sara secara luar biasa memberikan maaf kepada kedua pelaku.

Negeri ini jadi karut-marut secara sosial—vertikal ataupun horizontal—dipenuhi konflik, permusuhan, kekerasan; bahkan setelah pemilu presiden yang seharusnya penuh sukacita sebagai pesta rakyat, lantaran sebagian besar dari kita miskin akan kekuatan memaafkan. Negeri ini negeri yang penuh dendam dan kebencian satu sama lain.

Setelah puluhan tahun merdeka, melewati era reformasi, negeri ini masih tetap penuh dendam dan kebencian.

Di pucuk piramida organisasi—level kepemimpinan nasional (eksekutif, legislatif, yudikatif), yang diharapkan menjadi pendorong sekaligus teladan kehidupan—justru yang paling miskin dan bodoh soal perilaku memaafkan ini. Parameter pokok sebuah negeri bebas dari dendam dan kebencian yang destruktif adalah perubahan masa depannya, yang tentu lebih konstruktif (baca: damai-sinergik-produktif).

Selama ini, setelah berkali-kali mengalami pergantian kepemimpinan nasional, masa depan demi masa depan yang lebih konstruktif tidak kunjung tiba. Artinya jelas, para pemimpin itu tidak memiliki kepemimpinan yang memaafkan.

Salah satu contoh kepemimpinan memaafkan yang luar biasa dan mengilhami dunia adalah Nelson Mandela, yang dipenjara selama 27 tahun oleh lawan politiknya. Dunia takjub terkesima menyaksikan peristiwa bersejarah di Afrika Selatan kala itu, tatkala Mandela baru keluar dari penjara.

Ketika ditanya apakah ia masih menyimpan dendam dan kemarahan atas semua kekerasan, penghinaan dan penganiayaan yang dilakukan rezim dan lawan politiknya, dengan tenang ia menjawab, ”Memang ada rasa marah, bahkan takut karena kehilangan kebebasan sekian lama. Namun, jika saya melangkahkan kaki keluar dari penjara dan tetap menyimpan dendam, itu berarti saya masih terpenjara oleh mereka. Karena ingin bebas sepenuhnya, saya tinggalkan rasa marah itu di belakang dan memaafkan semua yang terjadi…!” Selanjutnya, sejak saat itu, masa depan negeri di bawah kepemimpinannya berubah jadi konstruktif.

Dendam pun dipamerkan

Indonesia tercinta ini sangat miskin kepemimpinan yang memaafkan. Itu sebabnya, sekali lagi, lingkaran setan kehidupan berbangsa dan bernegara yang destruktif tak kunjung sirna.

Bukti paling mutakhir adalah ucapan, sikap, dan perilaku para calon pemimpin nasional selama ini, baik ”sebelum, selama, maupun setelah” pilpres. Betapa transparan dendam dan sakit hati itu dipamerkan. Itu bukan lagi soal ketidaksiapan menerima kekalahan, tetapi sudah soal dendam dan kebencian. Demikian pula praksis dendam antara pemimpin baru terhadap pemimpin lama dan sebaliknya.

Singkat kata, tanpa kepemimpinan yang memaafkan, korban terakhir yang menderita adalah bangsa dan rakyat. Presiden baru mutlak adalah presiden yang memiliki kapasitas kepemimpinan yang memaafkan. Setidaknya, ada tiga prinsip kepemimpinan yang memaafkan.

Pertama, kepemimpinan memaafkan berlandaskan ketegasan. Memaafkan, tetapi tetap menjunjung tinggi konsekuensi logis yang harus dilaksanakan. Seperti yang dilakukan orangtua Ade Sara, memaafkan dengan tulus, tetapi tetap menuntut konsekuensi hukum bagi kedua pelaku. Prinsip ini akan memberikan maaf kepada para pelanggar hak asasi manusia, misalnya, tetapi tetap tegas menegakkan konsekuensi hukum bagi para pelaku. Bukan justru mendiamkannya, memetieskan, apalagi melindungi. Itu bukan kepemimpinan memaafkan, dan itu sama sekali bukan kepemimpinan.

Kedua, kepemimpinan memaafkan berlandaskan kebenaran. Pemimpin memiliki keberanian untuk menegakkan kebenaran meski harus menghadapi berbagai fakta brutal kehidupan yang terjadi. Misalnya, konflik yang berujung pada tindak kesewenangan terhadap kaum minoritas. Harus ada keberanian untuk mencegah, dan sekaligus memastikan hal itu tidak terjadi lagi. Bentuk memaafkan adalah dengan melakukan pemulihan: menjaga minoritas, merangkul mayoritas. Itulah kebenaran, dan meletakkannya di atas popularitas dan rasa aman pribadi.

Ketiga, kepemimpinan memaafkan yang memberdayakan. Prinsip ini membuat pemimpin dengan tulus bersedia melupakan, memaafkan semua kegagalan, kelemahan, dan kebodohan para pemimpin sebelumnya. Demikian juga kegagalan, kelemahan, kebodohan yang dilakukan pengikutnya. Bahkan bukan hanya melupakan, pemimpin mengambil alih dan meletakkan kegagalan, kelemahan, kebodohan itu di pundaknya. Namun jika lahir sebuah keberhasilan, pemimpin akan memberikan kepada pengikutnya, bukan mengklaimnya untuk diri sendiri.

Prinsip ini selaras dengan kepemimpinan tingkat lima versi Jim Collins. Bukan seperti yang banyak terjadi pada pemimpin kita selama ini: egois dan merebut semua keberhasilan untuk diri sendiri, tetapi melemparkan bola panas kesalahan dan kegagalan ke pengikut (kalau perlu rakyat). Inisiatif masa transisi antara pemerintah lama dan baru yang belakangan berkembang menjadi salah satu mekanisme teknis yang baik untuk mengakomodasi konsep kepemimpinan yang memberdayakan ini.

Ketiga prinsip kepemimpinan memaafkan itu tidak akan mengubah masa lalu bangsa yang dipenuhi aspek kehidupan destruktif, tetapi pasti akan mengubah (membangun) masa depan yang jauh lebih konstruktif. Mengadaptasi Henna Inam (pakar kepemimpinan transformasional): forgiveness is a great leadership practice for our work lives as well. Kepemimpinan memaafkan akan membentuk kepercayaan dan keterikatan, tegas Henna Inam: dua hal langka dalam kehidupan di negeri ini. Betapa rindu kita akan sebuah negeri tanpa dendam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar