Pemimpin
yang Negarawan
Jannus TH Siahaan ;
Pengamat Politik dan
Masalah-Masalah Sosial
|
KORAN
SINDO, 15 Agustus 2014
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mempertemukan Prabowo Subianto dengan
Joko Widodo. Pertemuan terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan; bulan
yang sangat disucikan kaum muslimin dan diyakini mengandung berjuta berkah.
Dalam
beberapa hari terakhir, karena persaingan yang ketat, kedua kubu sempat
berada di titik yang mengkhawatirkan. Padahal pemilu hanyalah alat, persatuan
dan kesatuan bangsa adalah tujuan. Persatuan adalah tujuan mulia dari
diperjuangkannya kemerdekaan Indonesia, dan telah disepakati sebagai salah
satu di antara lima sila dari Pancasila. Karena persatuan adalah tujuan,
setiap upaya yang akan mengganggu apalagi mengancam rusaknya persatuan, dapat
pula dimaknai telah mengganggu dan mengancam Pancasila.
Di
sinilah urgensi pertemuan kedua tokoh itu di Istana Negara. Presiden telah
mengamankan Pancasila. Setelah mengalami pasang-surut suksesi kepemimpinan,
kita ternyata masih belum sampai pada kesadaran transendental tentang hakikat
hidup bermasyarakat dalam balutan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita sudah
memiliki negarawan besar seperti Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur,
Bu Mega, dan Pak SBY.
Layaknya
manusia, mereka juga punya kekurangan dan kelebihan. Namun, kita akan selalu
butuh pemimpin dengan jiwa kenegarawanan. Negarawan sejati, dalam angan-angan
kami bangsa Indonesia, adalah sosok yang selalu berada dalam kadar keikhlasan
yang tinggi. Keikhlasannya selalu melampaui kepentingan pribadinya. Pemimpin
yang negarawan akan selalu menempatkan Tuhan sebagai alasan kenapa ia
beramal.
Dia
telah menjadikan Tuhan sebagai kampung halamannya. Maka ke mana pun pergi,
dia tak akan pernah lupa jalan pulang. Baginya, mengabdi kepada sesama adalah
jalan pulang paling cepat menuju Tuhan. Semakin lama dia mengabdi pada
kemanusiaan akan semakin banyak jalan pulang menuju Tuhan.
Semakin
banyak pendukung yang dia himpun dalam kafilah menujuTuhan, akan semakin
kecil kemungkinan baginya menjauh dari Tuhan. Hanya amal dengan keikhlasan
sejati yang dapat mendekatkan hamba kepada Tuhan. Karena manfaat
kekhalifahannya itu, dia akan selalu berada dalam Garis Tuhan.
Lari kepada Tuhan
Menurut
riwayat, orang yang takut akan sesuatu dan sesuatu itu mengancam
keselamatannya, maka ia akan lari menjauh menghindari perjumpaan dengannya.
Tetapi orang yang takut kepada Tuhan dan keselamatan kehidupan bangsanya
terancam oleh seseorang atau sekelompok orang karena ambisi, angkara murka,
akibat haus kekuasaan dan karena gemar menumpuk kekayaan, maka ia akan lari
mendekat kepada Tuhan. Tempatnya mengadu hanyalah Tuhan karena tak ada
kampung halaman sejati kecuali Tuhan.
Gambaran
lainnya tentang sosok pemimpin yang negarawan adalah bahwa ia akan selalu
memberi nasihat, pertimbangan, masukan, sumbangan pemikiran kepada penguasa.
Memberi nasihat, baginya sebuah kewajiban. Penguasa yang lalim adalah musuh
abadinya. Penguasa yang tiran adalah pesaingnya dalam perjalanan menuju
Tuhan. Jika menyaksikan bangsanya terancam oleh para penguasa, ia tak segan
serukan jihad melawan sang tiran.
Tentu
saja, pemimpin negarawan akan selalu tinggal bersama, dan akan senantiasa
berada di tengah-tengah masyarakatnya. Pantang baginya meninggalkan
masyarakat yang tengah membutuhkan kehadirannya. Sebagai pemimpin, ia
mewarisi tugas-tugas profetik. Ia menyelam hingga dasar terdalam samudra
kehidupan bangsanya. Tak ada palung yang tak diawasi, tak ada teluk yang
terlewat dari perlindungannya.
Semua
selat menjadi langganan pelesirannya. Ia akan selalu ada di sana, di hati
bangsanya. Para pemimpin yang negarawan adalah sedikit orang di antara yang
sedikit. Mereka adalah manusia pilihan, setelah Tuhan tak lagi mengirim para
nabi dan rasul sebagai utusan-Nya.
Mereka
telah berproses sedemikian ketatnya sehingga, begitu istilah Erich Fromm,
mereka telah berada dalam gaya hidup yang berbeda dengan kebanyakan orang.
Kebahagiaan mereka berada pada bagaimana ”menjadi” dan bukan lagi pada tahap
”memiliki”.
Perspektif Kebahagiaan
Dari
sekian pola hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat kita, sering kali
dunia politik lebih digandrungi karena para politisi menatap adanya
kebahagiaan di dalam sana. Mendapat jabatan politik, berarti mendapat
kesenangan dan kenikmatan. Hal-hal yang biasanya hanya diangankan, akan lebih
mudah menggapainya dengan memegang jabatan politik. Mereka meletakkan
kebahagiaan pada apa yang mereka miliki.
Sesuatu
dianggap telah membuatnya senang dan bahagia karena ia telah memilikinya.
Sama sekali bukan karena barang, jabatan, dan derajat sosial itu berguna
baginya dan bagi lingkungannya. Ia sangat bergantung pada apa yang
dimilikinya. Kalau ia menjadi anggota legislatif, status itu telah menjadi
miliknya. Ia akan mempertahankan matimatian statusnya, sebab tanpa status itu
ia bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.
Perspektif
hidup semacam ini yang potensial menutup pintu bagi lahirnya para pemimpin
negarawan. Fromm memvonis, gaya hidup- memiliki adalah jenis lain dari
pribadi yang patologis. Hidupnya amat ditentukan oleh apa yang dimilikinya.
Memiliki jabatan presiden, anggota DPR, gubernur, bupati, wali kota, adalah
tujuan hidupnya. Begitu masa pemerintahannya tercoreng, tercoreng pula
hidupnya.
Ketika
jabatan presiden lepas, masa jabatan anggota DPR berakhir, maka lepas dan
berakhir pula masa ”hidupnya”. Jika demikian perspektif hidupnya, pemimpin
seperti ini tidak akan pernah ”menjadi” pemimpin yang negarawan. Para
pemimpin yang negarawan adalah mereka yang bergaya hidup ”menjadi”. Ia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ia sudah
selesai dengan keluarganya, sudah selesai pula dengan perusahaannya. Ia
memiliki ambisi, tetapi ambisi untuk menularkan kebahagiaan kepada lingkungan
dan sesamanya.
Kebahagiaannya
diperoleh bukan karena ia telah menerima tapi karena telah memberi. Semakin
banyak memberi semakin bahagia dia. Dalam gambaran seperti inilah, kita
sepatutnya menempatkan Prabowo Subianto dan Joko Widodo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar