Sabtu, 16 Agustus 2014

Pemimpin yang Negarawan

                                       Pemimpin yang Negarawan

Jannus TH Siahaan  ;   Pengamat Politik dan Masalah-Masalah Sosial
KORAN SINDO, 15 Agustus 2014
                                                                                                                        


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mempertemukan Prabowo Subianto dengan Joko Widodo. Pertemuan terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan; bulan yang sangat disucikan kaum muslimin dan diyakini mengandung berjuta berkah.

Dalam beberapa hari terakhir, karena persaingan yang ketat, kedua kubu sempat berada di titik yang mengkhawatirkan. Padahal pemilu hanyalah alat, persatuan dan kesatuan bangsa adalah tujuan. Persatuan adalah tujuan mulia dari diperjuangkannya kemerdekaan Indonesia, dan telah disepakati sebagai salah satu di antara lima sila dari Pancasila. Karena persatuan adalah tujuan, setiap upaya yang akan mengganggu apalagi mengancam rusaknya persatuan, dapat pula dimaknai telah mengganggu dan mengancam Pancasila.

Di sinilah urgensi pertemuan kedua tokoh itu di Istana Negara. Presiden telah mengamankan Pancasila. Setelah mengalami pasang-surut suksesi kepemimpinan, kita ternyata masih belum sampai pada kesadaran transendental tentang hakikat hidup bermasyarakat dalam balutan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita sudah memiliki negarawan besar seperti Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega, dan Pak SBY.

Layaknya manusia, mereka juga punya kekurangan dan kelebihan. Namun, kita akan selalu butuh pemimpin dengan jiwa kenegarawanan. Negarawan sejati, dalam angan-angan kami bangsa Indonesia, adalah sosok yang selalu berada dalam kadar keikhlasan yang tinggi. Keikhlasannya selalu melampaui kepentingan pribadinya. Pemimpin yang negarawan akan selalu menempatkan Tuhan sebagai alasan kenapa ia beramal.

Dia telah menjadikan Tuhan sebagai kampung halamannya. Maka ke mana pun pergi, dia tak akan pernah lupa jalan pulang. Baginya, mengabdi kepada sesama adalah jalan pulang paling cepat menuju Tuhan. Semakin lama dia mengabdi pada kemanusiaan akan semakin banyak jalan pulang menuju Tuhan.

Semakin banyak pendukung yang dia himpun dalam kafilah menujuTuhan, akan semakin kecil kemungkinan baginya menjauh dari Tuhan. Hanya amal dengan keikhlasan sejati yang dapat mendekatkan hamba kepada Tuhan. Karena manfaat kekhalifahannya itu, dia akan selalu berada dalam Garis Tuhan.

Lari kepada Tuhan

Menurut riwayat, orang yang takut akan sesuatu dan sesuatu itu mengancam keselamatannya, maka ia akan lari menjauh menghindari perjumpaan dengannya. Tetapi orang yang takut kepada Tuhan dan keselamatan kehidupan bangsanya terancam oleh seseorang atau sekelompok orang karena ambisi, angkara murka, akibat haus kekuasaan dan karena gemar menumpuk kekayaan, maka ia akan lari mendekat kepada Tuhan. Tempatnya mengadu hanyalah Tuhan karena tak ada kampung halaman sejati kecuali Tuhan.

Gambaran lainnya tentang sosok pemimpin yang negarawan adalah bahwa ia akan selalu memberi nasihat, pertimbangan, masukan, sumbangan pemikiran kepada penguasa. Memberi nasihat, baginya sebuah kewajiban. Penguasa yang lalim adalah musuh abadinya. Penguasa yang tiran adalah pesaingnya dalam perjalanan menuju Tuhan. Jika menyaksikan bangsanya terancam oleh para penguasa, ia tak segan serukan jihad melawan sang tiran.

Tentu saja, pemimpin negarawan akan selalu tinggal bersama, dan akan senantiasa berada di tengah-tengah masyarakatnya. Pantang baginya meninggalkan masyarakat yang tengah membutuhkan kehadirannya. Sebagai pemimpin, ia mewarisi tugas-tugas profetik. Ia menyelam hingga dasar terdalam samudra kehidupan bangsanya. Tak ada palung yang tak diawasi, tak ada teluk yang terlewat dari perlindungannya.

Semua selat menjadi langganan pelesirannya. Ia akan selalu ada di sana, di hati bangsanya. Para pemimpin yang negarawan adalah sedikit orang di antara yang sedikit. Mereka adalah manusia pilihan, setelah Tuhan tak lagi mengirim para nabi dan rasul sebagai utusan-Nya.

Mereka telah berproses sedemikian ketatnya sehingga, begitu istilah Erich Fromm, mereka telah berada dalam gaya hidup yang berbeda dengan kebanyakan orang. Kebahagiaan mereka berada pada bagaimana ”menjadi” dan bukan lagi pada tahap ”memiliki”.

Perspektif Kebahagiaan

Dari sekian pola hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat kita, sering kali dunia politik lebih digandrungi karena para politisi menatap adanya kebahagiaan di dalam sana. Mendapat jabatan politik, berarti mendapat kesenangan dan kenikmatan. Hal-hal yang biasanya hanya diangankan, akan lebih mudah menggapainya dengan memegang jabatan politik. Mereka meletakkan kebahagiaan pada apa yang mereka miliki.

Sesuatu dianggap telah membuatnya senang dan bahagia karena ia telah memilikinya. Sama sekali bukan karena barang, jabatan, dan derajat sosial itu berguna baginya dan bagi lingkungannya. Ia sangat bergantung pada apa yang dimilikinya. Kalau ia menjadi anggota legislatif, status itu telah menjadi miliknya. Ia akan mempertahankan matimatian statusnya, sebab tanpa status itu ia bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.

Perspektif hidup semacam ini yang potensial menutup pintu bagi lahirnya para pemimpin negarawan. Fromm memvonis, gaya hidup- memiliki adalah jenis lain dari pribadi yang patologis. Hidupnya amat ditentukan oleh apa yang dimilikinya. Memiliki jabatan presiden, anggota DPR, gubernur, bupati, wali kota, adalah tujuan hidupnya. Begitu masa pemerintahannya tercoreng, tercoreng pula hidupnya.

Ketika jabatan presiden lepas, masa jabatan anggota DPR berakhir, maka lepas dan berakhir pula masa ”hidupnya”. Jika demikian perspektif hidupnya, pemimpin seperti ini tidak akan pernah ”menjadi” pemimpin yang negarawan. Para pemimpin yang negarawan adalah mereka yang bergaya hidup ”menjadi”. Ia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ia sudah selesai dengan keluarganya, sudah selesai pula dengan perusahaannya. Ia memiliki ambisi, tetapi ambisi untuk menularkan kebahagiaan kepada lingkungan dan sesamanya.

Kebahagiaannya diperoleh bukan karena ia telah menerima tapi karena telah memberi. Semakin banyak memberi semakin bahagia dia. Dalam gambaran seperti inilah, kita sepatutnya menempatkan Prabowo Subianto dan Joko Widodo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar