Setelah
Pesta Usai
Refly Harun ; Pakar/Praktisi Hukum Tatanegara
dan Pemilu
|
DETIKNEWS,
25 Agustus 2014
Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah
mengetukkan palu keadilan, Kamis (21/8/2014) lalu, dan pesta demokrasi
pemilihan presiden telah berakhir, rupanya kubu Prabowo belum mau legowo.
Sejumlah jalan sudah dan akan dititi untuk mempersoalkan kemenangan Jokowi.
Tercatat 10 langkah yang sudah dijalani dan yang masih menanti.
Pertama, mempersoalkan pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan
telah diputus bersamaan dengan pembacaan putusan MK. Sebagian putusan DKPP
menyalahkan Ketua dan anggota KPU serta menjatuhkan sanksi kepada mereka,
namun masih terkategori sanksi ringan berupa teguran.
Kedua, mengadukan pelanggaran pemilu kepada
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Tidak begitu jelas bagaimana nasib pengaduan
tersebut. Bisa jadi Bawaslu sendiri enggan memproses lebih lanjut karena di
DKPP mereka pun dijadikan pesakitan oleh kubu Prabowo-Hatta.
Ketiga, mengadukan soal pembukaan kotak suara
ke Mabes Polri. Belum jelas bagaimana tindak lanjutnya. DKPP sendiri
menganggap hal tersebut sekadar pelanggaran etika yang ringan. Terbukti
sanksinya hanya berupa teguran. Bila dikategorikan tindak pidana atau
pelanggaran hukum tentu saja sanksi DKPP akan berat, bisa berupa
pemberhentian tetap.
Keempat, datang kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Jakarta, mengadukan ihwal pemenuhan syarat Jokowi yang dianggap
belum sesuai dengan ketentuan undang-undang. Imajinasinya, SK KPU mengenai
penetapan pasangan calon dibatalkan, pilpres harus diulang, dan Jokowi
didiskualifikasi.
Kelima, mengajukan pengujian peraturan KPU
yang mengatur soal DPKTb (daftar pemilih khusus tambahan), yang menurut ahli
dari Prabowo-Hatta “tidak sah karena tidak diatur dalam undang-undang dan
harus dikualifikasi sebagai pelanggaran konstitusi.”
Keenam, menghadap hakim Pengadilan Negeri (PN)
Jakarta Pusat untuk mempersoalkan kerugian yang dialami beberapa warga negara
ketika pencoblosan pilpres dilaksanakan pada 9 Juli lalu. Tidak begitu jelas
apa kerugiannya, tetapi itu yang terbaca dari berita-berita yang ada.
Ketujuh, mencegat Jokowi di persimpangan jalan
bernama paripurna DPRD DKI untuk menerima atau menolak pengunduran diri
Jokowi sebagai Gubernur DKI. Sebagian berimajinasi, jika Jokowi tak beroleh
izin undur diri dari DPRD DKI, ia tidak bisa dilantik sebagai Presiden RI.
Kedelapan, melobi fraksi pendukung di DPR
untuk membuat pansus untuk mengusut kecurangan pilpres yang mereka anggap
benang kusut. Pengacara Prabowo juga datang meminta pelantikan Jokowi ditunda
karena Ketua KPU masih dipolisikan karena dianggap melakukan kejahatan pemilu
berupa pembukaan kotak suara.
Kesembilan, mewacanakan untuk tidak menghadiri
pengambilan sumpah Jokowi dalam sidang paripurna MPR sehingga sidang tersebut
tidak mencapai kuorum. Padahal, konstitusi menyatakan, kendati MPR dan DPR
tidak dapat bersidang, pengambilan sumpah dapat dilakukan di hadapan pimpinan
MPR dengan disaksikan pimpinan Mahkamah Agung (MA).
Kesepuluh, mengadu kepada Ombudsman. Tidak
begitu jelas apa yang diadukan, mungkin terkait dengan pelayanan publik yang
tidak memuaskan selama prosesi Pilpres 2014.
Kesepuluh langkah tersebut memang tidak akan
mengubah kemenangan Jokowi-JK yang telah dikonstitusionalisasi MK melalui
putusan yang mengukuhkan keputusan KPU. Namun, langkah-langkah tersebut
sedikit banyak bakal menciptakan gangguan-gangguan tertentu yang bukan tidak
mungkin makin membesar bila melibatkan tidak saja elite melainkan juga akar
rumput. Alangkah baiknya bila kubu Prabowo-Hatta menahan diri dan tidak
membuang energi.
Benar dan Substantif
Sehari setelah putusan MK dibacakan, di sebuah
Harian Ibukota saya menulis “Pesta Itu pun Usai Sudah”. Pesta demokrasi
pilpres memang sudah selesai. Kalaupun ada yang tersisa, tinggal pengambilan
sumpah presiden dan wakil presiden terpilih 20 Oktober nanti. Namun, bagi
Prabowo-Hatta, konfirmasi MK atas kemenangan Jokowi-JK masih dipandang
bermasalah. “Putusan MK tidak mencerminkan keadilan substantif,” kata Tantowi
Yahya, juru bicara Koalisi Merah Putih, dalam konferensi pers sesaat setelah putusan
MK selesai dibacakan.
Padahal, bila MK ‘tidak substantif’ sudah
jauh-jauh hari permohonan Prabowo-Hatta ditolak seluruhnya. Sebab, dalam
permohonannya, mereka sama sekali tidak mampu membuktikan klaim menang
sebesar 50,26 persen berbanding 49,74 persen, atau setara dengan 67 juta-an
bagi Prabowo-Hatta dan 66 juta-an bagi Jokowi-JK. Namun, karena MK beraliran
“keadilan substantif” sejak memutuskan Pemilukada Jawa Timur 2008, meski
klaim menang tersebut tidak didukung oleh eleborasi, saksi, dan data yang
meyakinkan, MK masih memberikan kesempatan untuk masuk dari pintu proses
pemilu karena paradigma MK yang sudah substantif, alias tidak mau lagi
menjadi ‘Mahkamah Kalkulator’ yang hanya terbatas pada soal hitung-hitungan
suara.
Sangat aneh ketika kubu Prabowo-Hatta masih
mempersoalkan putusan MK yang menurut saya sudah sangat benar. Dalam banyak
kesempatan, saya termasuk orang yang paling sering mengkritik MK, terlebih
dalam kasus korupsi yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar. Kritik
keras juga saya sampaikan ketika MK membatalkan UU Nomor 4 Tahun 2014 yang
berasal dari Perppu Penyelamatan MK di awal tahun ini. Namun, kali ini, saya
termasuk yang ingin berada di garda terdepan dalam membenarkan putusan
lembaga pengawal konstitusi tersebut.
Alasannya sederhana, saya telah membaca
permohonan yang diajukan, telah mengikuti pemeriksaan saksi-saksi dan membaca
kembali risalah persidangan, dan telah pula mengikuti
yurisprudensi-yurisprudensi MK terkait pemilu, pemilukada, dan pilpres.
Kesimpulan saya, tak ada celah bagi dikabulkannya permohonan tersebut
meskipun para ahli yang dihadirkan Prabowo-Hatta seolah memberi harapan.
Dalam beberapa kesempatan saya bahkan berani mengatakan 99 persen gugatan
akan ditolak. Ternyata begitulah adanya.
Kepada kubu Prabowo-Hatta yang masih
mempersoalkan putusan MK, saya ingin sampaikan pepatah lama kita, “buruk muka cermin dibelah” atau “jangan
karena awak tak pandai menari, dikatakan lantai yang terjungkat.”
Kekalahan tersebut bukan karena hakim-hakim konstitusi memihak Jokowi-JK,
tetapi permohonan Prabowo-Hatta memang lemah dan jauh dari meyakinkan. Kubu
Prabowo-Hatta tak mampu membuktikan klaim besar mereka tentang kemenangan
yang 67 juta-an suara, atau klaim bahwa KPU telah melakukan kecurangan yang
terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), ukuran yang digunakan MK selama ini
untuk memerintahkan pemungutan atau penghitungan suara ulang, bahkan juga
diskualifikasi terhadap pemenang. Klaim besar Prabowo-Hatta tentang pilpres
hanya ditopang bukti yang kerdil.
Langkah-langkah yang sudah dan akan dilakukan
setelah pesta demokrasi pilpres usai sungguh tidak memberikan pelajaran baik
kepada bangsa ini. Sebagai warga negara dan elite negeri, harusnya
Prabowo-Hatta menghormati hukum dan konstitusi. Ketika konflik politik terjadi
dan para aktor sepakat membawanya ke meja hijau untuk diselesaikan, kita
harus acungkan dua jempol tangan kepada Prabowo-Hatta karena menggeser
konflik politik ke mekanisme penyelesaian yang beradab dan konstitusional.
Namun, ketika penyelesaian konstitusional telah disampaikan dan kubu
Prabowo-Hatta masih juga melontarkan peluru ke mana-mana untuk menggugat
putusan MK, sungguh hal tersebut telah merendahkan jalan konstitusional yang
telah diambil.
Harus diakui, pesta demokrasi pilpres kita
memang masih jauh dari sempurna. Masih banyak kekurangan, kesalahan, bahkan
kecurangan yang mungkin ditemukan, hal-hal yang juga terjadi sepanjang
penyelenggaraan pemilu pada era Reformasi sejak 1999. Namun, hal itu tidak
terjadi sebagaimana yang digambarkan, yaitu terjadi secara terstruktur,
sistematis, dan massif. Tidak ada satu kekuatan tunggal (single power) di era Reformasi yang kuasa menentukan hitam-putih
hasil pemilu layaknya era Orde Baru. Itulah sebabnya pemenang selalu
berganti: PDIP (1999), Golkar (2004), Demokrat (2009), dan kini PDIP lagi.
Demokrat dua kali memenangkan perhelatan pilpres (2004 dan 2009), kini dalam
Pilpres 2014 giliran jago PDIP yang terpilih.
Bahkan saya bisa mengatakan, pilpres kali ini
jauh lebih baik daripada Pilpres 2004 dan Pilpres 2009. Penghitungan suara
terkawal dengan baik mulai tingkat TPS hingga rekapitulasi nasional di KPU.
Karena itu, kepada Prabowo-Hatta dan para
pembisik di sekitar mereka berdua, berhentilah melakukan disinformasi kepada
publik, terutama kepada lebih dari 60 juta pemilih Anda, bahwa MK telah
berlaku tidak adil sehingga perlu menempuh ‘jalan lain untuk ke Roma’.
Pilpres 2014 ini akan lebih baik lagi bila Anda berdua menghormati hasilnya.
Hormat
saya kepada kebesaran hati Anda yang sedang ditunggu-tunggu bangsa Indonesia.
Salam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar