Selasa, 26 Agustus 2014

Setelah Pesta Usai

Setelah Pesta Usai

Refly Harun  ;   Pakar/Praktisi Hukum Tatanegara dan Pemilu
DETIKNEWS, 25 Agustus 2014
                                                


Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengetukkan palu keadilan, Kamis (21/8/2014) lalu, dan pesta demokrasi pemilihan presiden telah berakhir, rupanya kubu Prabowo belum mau legowo. Sejumlah jalan sudah dan akan dititi untuk mempersoalkan kemenangan Jokowi. Tercatat 10 langkah yang sudah dijalani dan yang masih menanti.

Pertama, mempersoalkan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan telah diputus bersamaan dengan pembacaan putusan MK. Sebagian putusan DKPP menyalahkan Ketua dan anggota KPU serta menjatuhkan sanksi kepada mereka, namun masih terkategori sanksi ringan berupa teguran.

Kedua, mengadukan pelanggaran pemilu kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Tidak begitu jelas bagaimana nasib pengaduan tersebut. Bisa jadi Bawaslu sendiri enggan memproses lebih lanjut karena di DKPP mereka pun dijadikan pesakitan oleh kubu Prabowo-Hatta.

Ketiga, mengadukan soal pembukaan kotak suara ke Mabes Polri. Belum jelas bagaimana tindak lanjutnya. DKPP sendiri menganggap hal tersebut sekadar pelanggaran etika yang ringan. Terbukti sanksinya hanya berupa teguran. Bila dikategorikan tindak pidana atau pelanggaran hukum tentu saja sanksi DKPP akan berat, bisa berupa pemberhentian tetap.

Keempat, datang kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, mengadukan ihwal pemenuhan syarat Jokowi yang dianggap belum sesuai dengan ketentuan undang-undang. Imajinasinya, SK KPU mengenai penetapan pasangan calon dibatalkan, pilpres harus diulang, dan Jokowi didiskualifikasi.

Kelima, mengajukan pengujian peraturan KPU yang mengatur soal DPKTb (daftar pemilih khusus tambahan), yang menurut ahli dari Prabowo-Hatta “tidak sah karena tidak diatur dalam undang-undang dan harus dikualifikasi sebagai pelanggaran konstitusi.”

Keenam, menghadap hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat untuk mempersoalkan kerugian yang dialami beberapa warga negara ketika pencoblosan pilpres dilaksanakan pada 9 Juli lalu. Tidak begitu jelas apa kerugiannya, tetapi itu yang terbaca dari berita-berita yang ada.

Ketujuh, mencegat Jokowi di persimpangan jalan bernama paripurna DPRD DKI untuk menerima atau menolak pengunduran diri Jokowi sebagai Gubernur DKI. Sebagian berimajinasi, jika Jokowi tak beroleh izin undur diri dari DPRD DKI, ia tidak bisa dilantik sebagai Presiden RI.

Kedelapan, melobi fraksi pendukung di DPR untuk membuat pansus untuk mengusut kecurangan pilpres yang mereka anggap benang kusut. Pengacara Prabowo juga datang meminta pelantikan Jokowi ditunda karena Ketua KPU masih dipolisikan karena dianggap melakukan kejahatan pemilu berupa pembukaan kotak suara.

Kesembilan, mewacanakan untuk tidak menghadiri pengambilan sumpah Jokowi dalam sidang paripurna MPR sehingga sidang tersebut tidak mencapai kuorum. Padahal, konstitusi menyatakan, kendati MPR dan DPR tidak dapat bersidang, pengambilan sumpah dapat dilakukan di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan pimpinan Mahkamah Agung (MA).

Kesepuluh, mengadu kepada Ombudsman. Tidak begitu jelas apa yang diadukan, mungkin terkait dengan pelayanan publik yang tidak memuaskan selama prosesi Pilpres 2014.

Kesepuluh langkah tersebut memang tidak akan mengubah kemenangan Jokowi-JK yang telah dikonstitusionalisasi MK melalui putusan yang mengukuhkan keputusan KPU. Namun, langkah-langkah tersebut sedikit banyak bakal menciptakan gangguan-gangguan tertentu yang bukan tidak mungkin makin membesar bila melibatkan tidak saja elite melainkan juga akar rumput. Alangkah baiknya bila kubu Prabowo-Hatta menahan diri dan tidak membuang energi.

Benar dan Substantif

Sehari setelah putusan MK dibacakan, di sebuah Harian Ibukota saya menulis “Pesta Itu pun Usai Sudah”. Pesta demokrasi pilpres memang sudah selesai. Kalaupun ada yang tersisa, tinggal pengambilan sumpah presiden dan wakil presiden terpilih 20 Oktober nanti. Namun, bagi Prabowo-Hatta, konfirmasi MK atas kemenangan Jokowi-JK masih dipandang bermasalah. “Putusan MK tidak mencerminkan keadilan substantif,” kata Tantowi Yahya, juru bicara Koalisi Merah Putih, dalam konferensi pers sesaat setelah putusan MK selesai dibacakan.

Padahal, bila MK ‘tidak substantif’ sudah jauh-jauh hari permohonan Prabowo-Hatta ditolak seluruhnya. Sebab, dalam permohonannya, mereka sama sekali tidak mampu membuktikan klaim menang sebesar 50,26 persen berbanding 49,74 persen, atau setara dengan 67 juta-an bagi Prabowo-Hatta dan 66 juta-an bagi Jokowi-JK. Namun, karena MK beraliran “keadilan substantif” sejak memutuskan Pemilukada Jawa Timur 2008, meski klaim menang tersebut tidak didukung oleh eleborasi, saksi, dan data yang meyakinkan, MK masih memberikan kesempatan untuk masuk dari pintu proses pemilu karena paradigma MK yang sudah substantif, alias tidak mau lagi menjadi ‘Mahkamah Kalkulator’ yang hanya terbatas pada soal hitung-hitungan suara.

Sangat aneh ketika kubu Prabowo-Hatta masih mempersoalkan putusan MK yang menurut saya sudah sangat benar. Dalam banyak kesempatan, saya termasuk orang yang paling sering mengkritik MK, terlebih dalam kasus korupsi yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar. Kritik keras juga saya sampaikan ketika MK membatalkan UU Nomor 4 Tahun 2014 yang berasal dari Perppu Penyelamatan MK di awal tahun ini. Namun, kali ini, saya termasuk yang ingin berada di garda terdepan dalam membenarkan putusan lembaga pengawal konstitusi tersebut.

Alasannya sederhana, saya telah membaca permohonan yang diajukan, telah mengikuti pemeriksaan saksi-saksi dan membaca kembali risalah persidangan, dan telah pula mengikuti yurisprudensi-yurisprudensi MK terkait pemilu, pemilukada, dan pilpres. Kesimpulan saya, tak ada celah bagi dikabulkannya permohonan tersebut meskipun para ahli yang dihadirkan Prabowo-Hatta seolah memberi harapan. Dalam beberapa kesempatan saya bahkan berani mengatakan 99 persen gugatan akan ditolak. Ternyata begitulah adanya.

Kepada kubu Prabowo-Hatta yang masih mempersoalkan putusan MK, saya ingin sampaikan pepatah lama kita, “buruk muka cermin dibelah” atau “jangan karena awak tak pandai menari, dikatakan lantai yang terjungkat.” Kekalahan tersebut bukan karena hakim-hakim konstitusi memihak Jokowi-JK, tetapi permohonan Prabowo-Hatta memang lemah dan jauh dari meyakinkan. Kubu Prabowo-Hatta tak mampu membuktikan klaim besar mereka tentang kemenangan yang 67 juta-an suara, atau klaim bahwa KPU telah melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), ukuran yang digunakan MK selama ini untuk memerintahkan pemungutan atau penghitungan suara ulang, bahkan juga diskualifikasi terhadap pemenang. Klaim besar Prabowo-Hatta tentang pilpres hanya ditopang bukti yang kerdil.

Langkah-langkah yang sudah dan akan dilakukan setelah pesta demokrasi pilpres usai sungguh tidak memberikan pelajaran baik kepada bangsa ini. Sebagai warga negara dan elite negeri, harusnya Prabowo-Hatta menghormati hukum dan konstitusi. Ketika konflik politik terjadi dan para aktor sepakat membawanya ke meja hijau untuk diselesaikan, kita harus acungkan dua jempol tangan kepada Prabowo-Hatta karena menggeser konflik politik ke mekanisme penyelesaian yang beradab dan konstitusional. Namun, ketika penyelesaian konstitusional telah disampaikan dan kubu Prabowo-Hatta masih juga melontarkan peluru ke mana-mana untuk menggugat putusan MK, sungguh hal tersebut telah merendahkan jalan konstitusional yang telah diambil.

Harus diakui, pesta demokrasi pilpres kita memang masih jauh dari sempurna. Masih banyak kekurangan, kesalahan, bahkan kecurangan yang mungkin ditemukan, hal-hal yang juga terjadi sepanjang penyelenggaraan pemilu pada era Reformasi sejak 1999. Namun, hal itu tidak terjadi sebagaimana yang digambarkan, yaitu terjadi secara terstruktur, sistematis, dan massif. Tidak ada satu kekuatan tunggal (single power) di era Reformasi yang kuasa menentukan hitam-putih hasil pemilu layaknya era Orde Baru. Itulah sebabnya pemenang selalu berganti: PDIP (1999), Golkar (2004), Demokrat (2009), dan kini PDIP lagi. Demokrat dua kali memenangkan perhelatan pilpres (2004 dan 2009), kini dalam Pilpres 2014 giliran jago PDIP yang terpilih.

Bahkan saya bisa mengatakan, pilpres kali ini jauh lebih baik daripada Pilpres 2004 dan Pilpres 2009. Penghitungan suara terkawal dengan baik mulai tingkat TPS hingga rekapitulasi nasional di KPU. Karena itu, kepada Prabowo-Hatta dan para pembisik di sekitar mereka berdua, berhentilah melakukan disinformasi kepada publik, terutama kepada lebih dari 60 juta pemilih Anda, bahwa MK telah berlaku tidak adil sehingga perlu menempuh ‘jalan lain untuk ke Roma’. Pilpres 2014 ini akan lebih baik lagi bila Anda berdua menghormati hasilnya.

Hormat saya kepada kebesaran hati Anda yang sedang ditunggu-tunggu bangsa Indonesia. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar