Lapangan
Monas : Alun-alun Republik Indonesia
Danang ; Arsitek kota, Dosen Universitas
Tarumanagara
|
DETIKNEWS,
22 Agustus 2014
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menata
kembali manajemen kawasan Monumen Nasional, sehubungan dengan kesemerawutan
pedagang kaki lima serta parkir liar di kawasan tersebut.
Urusan ini seharusnya sudah tuntas pada tahun
2002. Ketika itu, dihadapkan pada masalah yang sama, Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta menempuh solusi membangun pagar keliling Lapangan Monas sepanjang 3,5
km.
Rencana pemagaran Lapangan Monas dengan biaya
Rp 9 milyard ini waktu itu banyak ditentang oleh warga serta para pemerhati
tata kota.
Dikhawatirkan, lapangan ini akan kehilangan perannya
sebagai ruang publik kota. Aksi warga antara lain ditunjukkan dengan membuat
agar manusia bergandengan tangan keliling lapangan (meski tidak berhasil
mengumpulkan orang sebanyak yang dibutuhkan).
Sebagai praktisi dan pemerhati tata kota,
ketika itu saya menyampaikan tanggapan moderat kepada Dinas Pertamanan DKI
Jakarta:
1. Pemagaran Lapangan Monas dapat diterima
sebagai solusi sementara, untuk mengatasi kekumuhan dan kesemerawutan akibat
keberadaan pedagang kaki lima di lapangan itu.
Bila masyarakat sudah terbiasa dengan suasana
tertib, pagar itu harus dibuka kembali. Hal semacam ini sudah terjadi di
taman di bawah Jembatan Semanggi yang semula dipagari, sekian puluh tahun
kemudian pagarnya dibuka.
2. Akses publik ke Lapangan Monas harus
dijamin. Jangan ada pungutan karcis untuk masuk ke lapangan, karena pada
dasarnya Lapangan Monas adalah alun-alun (lapangan rakyat) yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Istana Merdeka dan Istana Negara.
Pemagaran itu akhirnya dilaksanakan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersikeras bahwa memasang pagar adalah
satu-satunya cara untuk menertibkan Lapangan Monas, atau dengan bahasa yang
lebih lugas, satu-satunya cara mengusir preman-preman yang
mengkapling-kapling lapangan untuk dijual kepada pedagang kaki lima.
Meski saat ini pagar belum bisa dibuka
kembali, kita pantas bersyukur bahwa dalam kurun waktu 12 tahun Lapangan
Monas cukup tertib dan tidak ada pungutan karcis masuk. Menjadi tanda tanya
besar ketika akhir-akhir ini masalah pedagang kaki lima kembali muncul.
Terkait masalah tersebut, hal yang merisaukan
adalah adanya berita yang menyatakan bahwa Wakil Gubernur DKI Jakarta
merencanakan untuk memungut karcis masuk ke Lapangan Monas, uangnya akan
digunakan sebagai biaya pemeliharaan lapangan dan taman.
Bila berita ini benar, perlu dilakukan koreksi
karena di seluruh dunia tidak ada orang harus membayar karcis untuk masuk ke
alun-alun atau taman kota.
Perkembangan Lapangan
Monas
Bermula dari lapangan penggembalaan kerbau
(buffelsveld), di awal abad 19 pemerintah kolonial Belanda menata lapangan
seluas 80 hektar ini menjadi moningsplein (Lapangan Raja), yang digunakan
untuk parade militer serta berbagai kegiatan rakyat.
Keberadaan Istana Gubernur Jenderal (sekarang
Istana Merdeka) yang selesai dibangun pada tahun 1879 semakin memperkuat
peran Koningsplein sebagai alun-alun atau central square lapangan utama suatu
kota. Pemerintah kolonial Belanda ternyata tidak mampu mengendalikan
pertumbuhan di atas lapangan ini. Pada paruh pertama abad 20, Koningsplein
disesaki oleh bangunan (antara lain kantor telepon), beberapa lapangan
sepakbola, lapangan pacuan kuda, serta arena Pasar Gambir (pasar malam
tahunan).
Pada masa pendudukan Jepang, nama Koningsplein
diganti menjadi Lapangan Ikada merujuk pada keberadaan Ikatan Atletik Jakarta
(IKADA) yang menempati salah satu bagian lapangan. Pidato singkat Bung Karno
yang bersejarah pada tanggal 19 September 1945 dilakukan dalam rapat raksasa
di Lapangan Ikada.
Setelah penyerahan kedaulatan, Presiden
Soekarno memberi nama lapangan ini Medan Merdeka. Lapangan kemudian ditata,
bangunan-bangunan dibongkar, dan didirikan tugu Monumen Nasional (Monas) di
tengahnya, sebagai belisk khas Indonesia.
Di era 1970-1980an, kembali Lapangan Monas
(khususnya di sisi Selatan) dipenuhi bangunan-bangunan Jakarta Fair (Pekan
Raya Jakarta), restoran-restoran dan night club, serta Taman Ria IRTI. Pada
tahun 1993 disahkan Master Plan Kawasan Monas yang menata Medan Merdeka
menjadi dua bagian pokok, yaitu 'ruang agung' di tengah (dengan tugu Monas
sebagai pusatnya) dan Taman kota di sekelilingnya.
Taman Ria IRTI dan restoran-restoran ditutup,
Pekan Raya Jakarta dipindahkan ke Kemayoran. Akan dikembangkan ruang-ruang di
bawah tanah untuk sarana parkir dan komersial.
Sampai saat ini, bagian master plan yang belum
dilaksanakan adalah pengembangan ruang bawah tanah. Akibatnya, Lapangan Monas
masih 'ketitipan' lahan parkir di sisi Selatan. Bila ingin menata lapangan
ini, lanjutkanlah realisasi master plan yang belum selesai.
Bangunlah ruang-ruang bawah tanah untuk fungsi
parkir dan komersial, dikaitkan dengan stasiun MRT yang akan berada di bawah
Jalan Medan Merdeka Barat.
Kembalikan 'arwah'
Medan Merdeka
Pemerintahan baru yang akan mulai bertugas
beberapa bulan mendatang perlu mendudukkan kembali posisi Lapangan Monas
sebagai 'alun-alun' tingkat negara, bukan hanya tingkat kota Jakarta.
Nama Medan Merdeka harus dipopulerkan lagi.
Medan Merdeka adalah alun-alun Republik Indonesia. Nama-nama jalan di
sekelilingnya (Medan Merdeka Utara, Timur, Selatan dan Barat) jangan diganti
dengan nama-nama lain, karena akan mengingkari sejarah rasa syukur atas
kemerdekaan yang berhasil diperjuangkan oleh Bapak-bapak Bangsa kita.
Kawasan Monas 'termasuk Medan Merdeka' harus
berada di bawah kendali Pemerintah Republik Indonesia. Perlu ada badan khusus
untuk menangani pengelolaan kawasan ini, yang dalam kegiatan operasionalnya
berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai 'tuan rumah'
Penertiban lapangan (terhadap pedagang kaki lima serta parkir liar) adalah
masalah teknis yang harus bisa diatasi, dan terbukti selama 12 tahun bisa
dijalankan.
Hal penting yang harus dijaga, Medan Merdeka
harus tetap menjadi 'lapangan rakyat' yang bebas diakses oleh siapa saja
tanpa harus membayar karcis. Biaya pemeliharaan Medan Merdeka tidak pantas
dibebankan kepada rakyat secara langsung.
Sebagai pembayar pajak, rakyat berhak
menggunakan alun-alun dan taman kota secara cuma-cuma, tentu saja disertai
kewajiban menjaga ketertiban. Privatisasi ruang publik seperti terjadi di
Pantai Ancol jangan sampai terulang di Medan Merdeka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar