Selasa, 26 Agustus 2014

Lapangan Monas : Alun-alun Republik Indonesia

Lapangan Monas : Alun-alun Republik Indonesia

Danang  ;   Arsitek kota, Dosen Universitas Tarumanagara
DETIKNEWS, 22 Agustus 2014
                                                


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menata kembali manajemen kawasan Monumen Nasional, sehubungan dengan kesemerawutan pedagang kaki lima serta parkir liar di kawasan tersebut.

Urusan ini seharusnya sudah tuntas pada tahun 2002. Ketika itu, dihadapkan pada masalah yang sama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menempuh solusi membangun pagar keliling Lapangan Monas sepanjang 3,5 km.

Rencana pemagaran Lapangan Monas dengan biaya Rp 9 milyard ini waktu itu banyak ditentang oleh warga serta para pemerhati tata kota.

Dikhawatirkan, lapangan ini akan kehilangan perannya sebagai ruang publik kota. Aksi warga antara lain ditunjukkan dengan membuat agar manusia bergandengan tangan keliling lapangan (meski tidak berhasil mengumpulkan orang sebanyak yang dibutuhkan).

Sebagai praktisi dan pemerhati tata kota, ketika itu saya menyampaikan tanggapan moderat kepada Dinas Pertamanan DKI Jakarta:
1. Pemagaran Lapangan Monas dapat diterima sebagai solusi sementara, untuk mengatasi kekumuhan dan kesemerawutan akibat keberadaan pedagang kaki lima di lapangan itu.

Bila masyarakat sudah terbiasa dengan suasana tertib, pagar itu harus dibuka kembali. Hal semacam ini sudah terjadi di taman di bawah Jembatan Semanggi yang semula dipagari, sekian puluh tahun kemudian pagarnya dibuka.

2. Akses publik ke Lapangan Monas harus dijamin. Jangan ada pungutan karcis untuk masuk ke lapangan, karena pada dasarnya Lapangan Monas adalah alun-alun (lapangan rakyat) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Istana Merdeka dan Istana Negara.

Pemagaran itu akhirnya dilaksanakan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersikeras bahwa memasang pagar adalah satu-satunya cara untuk menertibkan Lapangan Monas, atau dengan bahasa yang lebih lugas, satu-satunya cara mengusir preman-preman yang mengkapling-kapling lapangan untuk dijual kepada pedagang kaki lima.

Meski saat ini pagar belum bisa dibuka kembali, kita pantas bersyukur bahwa dalam kurun waktu 12 tahun Lapangan Monas cukup tertib dan tidak ada pungutan karcis masuk. Menjadi tanda tanya besar ketika akhir-akhir ini masalah pedagang kaki lima kembali muncul.

Terkait masalah tersebut, hal yang merisaukan adalah adanya berita yang menyatakan bahwa Wakil Gubernur DKI Jakarta merencanakan untuk memungut karcis masuk ke Lapangan Monas, uangnya akan digunakan sebagai biaya pemeliharaan lapangan dan taman.

Bila berita ini benar, perlu dilakukan koreksi karena di seluruh dunia tidak ada orang harus membayar karcis untuk masuk ke alun-alun atau taman kota.

Perkembangan Lapangan Monas

Bermula dari lapangan penggembalaan kerbau (buffelsveld), di awal abad 19 pemerintah kolonial Belanda menata lapangan seluas 80 hektar ini menjadi moningsplein (Lapangan Raja), yang digunakan untuk parade militer serta berbagai kegiatan rakyat.

Keberadaan Istana Gubernur Jenderal (sekarang Istana Merdeka) yang selesai dibangun pada tahun 1879 semakin memperkuat peran Koningsplein sebagai alun-alun atau central square lapangan utama suatu kota. Pemerintah kolonial Belanda ternyata tidak mampu mengendalikan pertumbuhan di atas lapangan ini. Pada paruh pertama abad 20, Koningsplein disesaki oleh bangunan (antara lain kantor telepon), beberapa lapangan sepakbola, lapangan pacuan kuda, serta arena Pasar Gambir (pasar malam tahunan).

Pada masa pendudukan Jepang, nama Koningsplein diganti menjadi Lapangan Ikada merujuk pada keberadaan Ikatan Atletik Jakarta (IKADA) yang menempati salah satu bagian lapangan. Pidato singkat Bung Karno yang bersejarah pada tanggal 19 September 1945 dilakukan dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada.

Setelah penyerahan kedaulatan, Presiden Soekarno memberi nama lapangan ini Medan Merdeka. Lapangan kemudian ditata, bangunan-bangunan dibongkar, dan didirikan tugu Monumen Nasional (Monas) di tengahnya, sebagai belisk khas Indonesia.

Di era 1970-1980an, kembali Lapangan Monas (khususnya di sisi Selatan) dipenuhi bangunan-bangunan Jakarta Fair (Pekan Raya Jakarta), restoran-restoran dan night club, serta Taman Ria IRTI. Pada tahun 1993 disahkan Master Plan Kawasan Monas yang menata Medan Merdeka menjadi dua bagian pokok, yaitu 'ruang agung' di tengah (dengan tugu Monas sebagai pusatnya) dan Taman kota di sekelilingnya.

Taman Ria IRTI dan restoran-restoran ditutup, Pekan Raya Jakarta dipindahkan ke Kemayoran. Akan dikembangkan ruang-ruang di bawah tanah untuk sarana parkir dan komersial.

Sampai saat ini, bagian master plan yang belum dilaksanakan adalah pengembangan ruang bawah tanah. Akibatnya, Lapangan Monas masih 'ketitipan' lahan parkir di sisi Selatan. Bila ingin menata lapangan ini, lanjutkanlah realisasi master plan yang belum selesai.

Bangunlah ruang-ruang bawah tanah untuk fungsi parkir dan komersial, dikaitkan dengan stasiun MRT yang akan berada di bawah Jalan Medan Merdeka Barat.

Kembalikan 'arwah' Medan Merdeka

Pemerintahan baru yang akan mulai bertugas beberapa bulan mendatang perlu mendudukkan kembali posisi Lapangan Monas sebagai 'alun-alun' tingkat negara, bukan hanya tingkat kota Jakarta.

Nama Medan Merdeka harus dipopulerkan lagi. Medan Merdeka adalah alun-alun Republik Indonesia. Nama-nama jalan di sekelilingnya (Medan Merdeka Utara, Timur, Selatan dan Barat) jangan diganti dengan nama-nama lain, karena akan mengingkari sejarah rasa syukur atas kemerdekaan yang berhasil diperjuangkan oleh Bapak-bapak Bangsa kita.

Kawasan Monas 'termasuk Medan Merdeka' harus berada di bawah kendali Pemerintah Republik Indonesia. Perlu ada badan khusus untuk menangani pengelolaan kawasan ini, yang dalam kegiatan operasionalnya berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai 'tuan rumah' Penertiban lapangan (terhadap pedagang kaki lima serta parkir liar) adalah masalah teknis yang harus bisa diatasi, dan terbukti selama 12 tahun bisa dijalankan.

Hal penting yang harus dijaga, Medan Merdeka harus tetap menjadi 'lapangan rakyat' yang bebas diakses oleh siapa saja tanpa harus membayar karcis. Biaya pemeliharaan Medan Merdeka tidak pantas dibebankan kepada rakyat secara langsung.

Sebagai pembayar pajak, rakyat berhak menggunakan alun-alun dan taman kota secara cuma-cuma, tentu saja disertai kewajiban menjaga ketertiban. Privatisasi ruang publik seperti terjadi di Pantai Ancol jangan sampai terulang di Medan Merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar