Selamat
Pagi Pak Ahok!
Nur Haryanto ; Wartawan Tempo
|
KORAN
TEMPO, 25 Agustus 2014
Sengaja saya menyapa Wakil Gubernur DKI
Jakarta pagi ini. Basuki Tjahaja Purnama, atau biasa disapa Ahok, sebentar
lagi beralih posisi naik satu peringkat menjadi orang nomor satu di Ibu Kota.
Bagaimana Pak Ahok kabarnya pagi ini, lancar perjalanan dari rumah menuju ke
kantor?
Jangan-jangan Anda juga sudah mulai terbiasa
dengan kemacetan Jakarta. Terbiasa itu bisa diterjemahkan ke dalam beberapa
hal yang dilakukan, yakni berangkat pagi-pagi dengan kendaraan pribadi, naik
angkutan umum bus Transjakarta, menggunakan moda Bus Kota Terintegrasi Bus
Transjakarta, Angkutan Perbatasan Terintegrasi Bus Transjakarta, atau
Commuter Line. Langkah terakhir, tetap menggunakan kendaraan pribadi pada
saat jam sibuk dan hanya bisa mengumpat dalam hati saat terjebak di
kemacetan.
Sepekan terakhir, saya mencoba mengukur
kecepatan laju kendaraan sepeda motor saya di Jalan Mampang Prapatan pada
pukul 07.00 WIB. Ternyata dari Perempatan Warung Buncit ke Perempatan Mampang
Prapatan, yang berjarak sekitar 5 kilometer, harus ditempuh dalam waktu
rata-rata 2 jam. Sekali gas ditarik, sepeda motor maju 1-2 meter, kemudian berhenti
5-10 detik. Kalau beruntung, kendaraan bisa sepuluh meter merayap, kemudian
berhenti lagi. Begitu seterusnya.
Pemandangan yang lebih bikin miris, masih
banyak kendaraan roda dua, mobil, ataupun Metro Mini yang berani masuk jalur
Transjakarta. Denda Rp 500 ribu bagi pelanggar busway seperti "macan
ompong". Faktanya, memang sampai kini tak ada pelanggar yang terkena
denda maksimal. Para pelanggar itu bisa menggeber kecepatan kendaraan karena
memang jalur bus Transjakarta kosong. Artinya, jumlah bus Transjakarta tidak
memenuhi ketentuan headway setiap 10 menit sekali.
Saat bus Transjakarta koridor VI rute
Ragunan-Dukuh Atas lewat, penumpang terlihat berjejal di dalam. Masih mending
jika kebetulan bisa naik unit bus yang baru, seperti bus hibah yang beberapa
bulan lalu diserahkan. Tempat berdiri untuk penumpang lebih luas, AC lebih
adem, dan tidak berdebu. Tapi apes jika naik bus Transjakarta lama: AC tak
terasa lagi, tempat pegangan tangan sudah banyak yang hilang, bus berdebu,
berisik, dan guncangannya membuat tangan harus berpegangan erat.
Saya yakin, ini juga terjadi di hampir setiap
koridor busway. Padahal antusiasme warga naik bus Transjakarta sebenarnya
sudah meningkat. Tapi, apa daya, jumlah bus Transjakarta tak mampu menampung
semua penumpang. Pada akhirnya, banyak warga kembali memilih kendaraan
pribadi.
Pak Ahok, pasti Anda mengenal atau setidaknya
tahu Wali Kota Bogota Enrique Penalosa (1998-2001). Beliaulah yang menjadi
pelopor Bus Rapid Transit, yang kemudian ditiru Jakarta sebagai busway.
Enrique tak hanya membangun fisik sistem transportasi Bogota. Ia perlahan
juga membangun budaya warganya. "Sebuah kota yang maju bukanlah tempat
orang miskin naik kendaraan pribadi, melainkan tempat orang kaya pun naik
sarana transportasi umum."
Saya yakin Pak Ahok sependapat dengan Enrique.
Gaya Anda memimpin Jakarta sudah pas: tegas, tanpa pandang bulu, dan setengah
gila. Saya harap Anda segera mewujudkan ribuan bus Transjakarta yang nyaman,
sistem jalan berbayar electronic road
pricing, dan penertiban parkir serta pedagang kaki lima jalan terus.
Setelah terwujud, jangan lupa kapan-kapan main ke rumah saya, Pak. Siapa tahu
kemacetan telah berkurang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar