Merdeka
100 Persen
Anton Kurnia ; Esais dan Penulis Cerpen
|
KORAN
TEMPO, 25 Agustus 2014
Bangsa yang merdeka, menurut Tan Malaka
(1897-1949) dalam risalahnya, Merdeka 100% (1946), adalah bangsa yang sanggup
mandiri secara mental, budaya, politik, pertahanan, dan ekonomi; tidak
bergantung pada dan dikuasai oleh bangsa lain.
Jika menimbang definisi di atas, apakah kita
sebagai bangsa memang telah merdeka dan layak merayakannya dengan
gegap-gempita? Begitu meriahnya perayaan itu, sehingga-menurut laporan FITRA,
LSM yang kritis terhadap penggunaan APBN-rangkaian pesta peringatan hari
ulang tahun kemerdekaan ke-69 Republik Indonesia di Istana Negara
menghabiskan dana lebih dari Rp 11 miliar.
Kalau kita menggunakan ukuran Tan Malaka, tak
berlebihan jika kita nyatakan bahwa sesungguhnya saat ini kita belum merdeka
100 persen. Mengapa begitu? Walau mungkin secara mental kita sudah bisa
melepaskan diri dari karakter pecundang bangsa terjajah dan inferiority
complex yang menyertainya, di bidang politik dan pertahanan kita sudah bisa
menyatakan diri berdaulat. Secara budaya, kita bahkan bisa berekspansi ke
antero lain dan menyumbang secercah cahaya untuk dunia melalui karya seni dan
sastra. Tapi, secara ekonomi, kita masih separuh bergantung pada kekuatan
kapitalisme dan neokolonialisme asing. Itu terbukti dengan masih dikuasainya
sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang
banyak, seperti minyak bumi dan pertambangan, oleh pihak asing.
Seorang kawan menceritakan kepada saya kisah
tentang kaum Mardijkers. Konon, orang-orang "Portugis Hitam", yakni
budak-budak dari Afrika (terutama Mozambique dan Angola), India (Goa), dan
Malaka yang dibawa kaum kolonial Portugis ke Hindia Belanda pada abad ke-16,
saat tentara dagang Portugis kalah perang dari VOC alias Belanda, diberi
pilihan oleh penguasa kolonial Belanda di Batavia (kini Jakarta). Pilihan
itu: tinggal dan diberi lahan di kawasan Kampung Tugu (kini masuk wilayah
Kecamatan Koja, Jakarta Utara) sebagai orang merdeka tapi harus pindah agama
menjadi Kristen Protestan seperti orang-orang Belanda, atau tetap memeluk
Katolik seperti majikan mereka orang-orang Portugis tapi dibuang ke Nusa
Tenggara sebagai budak.
Sebagian dari mereka memilih yang pertama, dan
menetap di Kampung Tugu hingga beranak-pinak dan menurunkan beberapa generasi
yang kemudian dikenal sebagai orang-orang yang mempopulerkan musik keroncong.
Mereka inilah yang disebut kaum Mardijkers, yakni "orang-orang yang
dimerdekakan". Walau secara formal mereka dianggap merdeka, bukan lagi
budak, pada hakikatnya kaum Mardijkers ini tidak merdeka, bahkan terjajah
sampai mati secara mental dan spiritual. Sebab, mereka terpaksa harus
berganti keyakinan demi mendapatkan label "merdeka".
Kita tentu tak mau seperti kaum Mardijkers.
Secara formal telah merdeka tapi sebagai syarat harus menukar
"kemerdekaan" itu dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi kita
kepada pihak asing. Seperti termaktub dalam risalah Tan Malaka, hendaknya
kita bisa merdeka 100 persen demi mewujudkan cita-cita bersama menjamin
kesejahteraan, keamanan, dan kedamaian bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika
hal itu telah terwujud, barulah kita layak merayakan kemerdekaan kita sebagai
bangsa secara gegap-gempita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar