Ingar-bingar
Golkar
Agung Baskoro ; Analis Politik Poltracking
|
KORAN
TEMPO, 25 Agustus 2014
Setelah lama berkutat dalam kontestasi pemilu
presiden kemarin, dinamika internal Golkar kembali memanas dengan pertarungan
elitenya menyoal munas apakah harus segera digelar pada Oktober 2014 (sesuai
dengan AD/ART) atau tetap pada April 2015 (rekomendasi Munas 2009). Itulah
sarana untuk memilih ketua umum maupun secara tersirat ingin terlibat dalam
dinamika pemerintahan yang baru.
Berbeda dengan PDIP maupun Demokrat, yang
cukup dengan membaca pikiran Megawati atau SBY, dalam memahami Golkar publik
harus masuk ke sebuah faksi dan pertarungannya dengan faksi-faksi lain. Dalam
kajian ilmu politik, faksi merupakan salah satu alasan utama hadirnya partai,
sehingga eksistensi dan dinamika faksi menjadi hal wajar. Kehadiran faksi
mengemuka, terutama disebabkan oleh dua kondisi, yakni (1) pemilu presiden
dan (2) pemilihan ketua umum partai.
Pertama, jamak diketahui publik bahwa, jauh
sebelum pemilu presiden (pilpres) terselenggara, Aburizal Bakrie (ARB) gagal
meraih elektabilitas tertinggi setelah dalam banyak survei dikalahkan oleh
Jokowi dan Prabowo. Sempat menjadi polemik, ARB kemudian berhasil untuk
sementara waktu mengkondisikan partai, walaupun pada akhirnya ia gagal maju
sebagai calon presiden, wakil presiden, menteri utama, dan memenangkan Golkar
dalam pemilu legislatif. Problem ini sempat muncul kembali dan dapat teratasi
dengan sikap Golkar yang masuk ke Koalisi Merah Putih untuk mendukung
Prabowo-Hatta. Namun, lagi-lagi, ARB gagal untuk memenangkan pasangan nomor
urut 1 ini.
Kedua, keberlanjutan efek gagal dari fase
sebelum, selama, dan sesudah pemilu ini berakibat sistemik bagi pengaruh ARB
sebagai ketua umum, maupun kansnya untuk memberikan pengaruh besar bagi
Golkar di fase berikutnya, baik pada munas maupun setelah munas nanti
digelar.
Faksionalisasi di tubuh Golkar menjadi
santapan publik sejak sebelum pilpres sebagai clique faction. Dalam hal ini,
ada tiga bentuk faksionalisasi di dalam partai (Belloni & Beller, 1978),
yaitu clique faction, personal atau
client-group faction, dan institutionalized atau organized faction. Clique faction adalah faksi yang tidak
terkonsolidasi, sehingga sifatnya cenderung parsial dan temporal.
Sementara personal
atau client-group faction adalah
faksi yang terkonsolidasi dengan adanya tokoh sentral di dalamnya sehingga
berdurasi lama sampai terjadi kompromi antarpemimpin faksi. Sedangkan institutionalized atau organized
faction adalah faksi di dalam partai politik yang sudah terlembagakan,
sehingga eksistensi faksi berlaku dan diatur secara yuridis di dalam internal
partai.
Sebelum pilpres, sebenarnya Golkar dihadapkan
dengan problem faksionalisme akut antara ARB, Jusuf Kalla (JK), dan Akbar
Tandjung (AT). Faksionalisasi yang terbentuk menguat dilatarbelakangi oleh
tidak terpenuhinya target strategis Golkar dalam pemilu kemarin. Bila ARB
memegang otoritas struktural sebagai ketua umum dan memiliki pengaruh kuat di
barisan DPD tingkat provinsi, JK yang pernah menjadi ketua umum masih
dianggap berpengaruh secara kultural. Sedangkan AT, dengan kapasitas sebagai
Ketua Dewan Pertimbangan Partai maupun "mahaguru", dihormati di DPD
tingkat II serta kader-kader muda karena peran pentingnya membesarkan Golkar
pascareformasi. Namun, setelah pileg tuntas dan AT tidak dilirik kubu Jokowi,
ia merapat ke kubu ARB serta mendukung penuh pasangan Prabowo-Hatta.
Selama dan sesudah pilpres, faksionalisasi
yang ada dalam Partai Golkar berubah dari clique faction menjadi personal atau client-group faction, karena kekuasaan faksi yang ada
terkonsolidasi dengan adanya figur yang punya modalitas patron. Salah satu
modalitas penting bagi seseorang untuk menjadi patron di dalam partai adalah
jabatan eksekutif tertinggi di dalam partai. Artinya, modalitas struktural
yang dimiliki ARB menjadi hal paling penting atau bagi siapa pun yang ingin
mengendalikan faksi partai beserta massa elite yang ada di dalamnya.
Dalam bahasa Jeffrey Winters (2011), ini
bentuk oligarki sultanistik untuk menjelaskan Indonesia era Orde Baru, yang
fenomenanya kini tersebar ke dalam kelembagaan partai. Dinamika faksi, yang
awalnya berkah karena dapat memperkuat imunitas partai, bisa menjadi masalah
bila tak diikuti kedewasaan berpolitik para elitenya. Pada tahapan
berikutnya, pertarungan diametral ARB versus AL ini sebenarnya adalah
kelanjutan dari dinamika faksi yang gagal terkelola pada pemilu kemarin
antara ARB dan JK.
Penting bagi keduanya, setelah putusan MK
keluar, untuk kembali duduk bersama merumuskan arah Golkar ke depan. Apalagi
mengingat Visi Indonesia 2045 milik Golkar perlu dikawal implementasinya
mulai saat ini, agar siapa pun pemerintahan yang berkuasa dapat memastikan
rakyat sejahtera, sebagaimana panen raya segera tiba saat padi mulai
menguning. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar