Selasa, 12 Agustus 2014

Mencermati Kartu Indonesia

Mencermati Kartu Indonesia

Agus Widjanarko  ;   Penanggung Jawab Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) Kota Pasuruan
KOMPAS, 12 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

DALAM berbagai kesempatan berkampanye, termasuk dalam debat calon presiden pada 15 Juni lalu, calon presiden (ketika itu) Joko Widodo menjanjikan, bila kelak terpilih sebagai presiden, ia akan memprogramkan Kartu Indonesia Sehat dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan pada masa pemerintahannya. Berbekal klaim kesuksesan program Kartu Jakarta Sehat (KJS) di Provinsi DKI Jakarta, Jokowi bertekad menerapkan dan memberikan Kartu Indonesia Sehat (KIS) kepada seluruh penduduk Indonesia,  terutama yang dipandang miskin atau tidak mampu, agar mereka dapat mengakses pelayanan kesehatan sebaik-baiknya.

Bila KJS merupakan bentuk tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap warganya yang tidak memperoleh jaminan kesehatan dari sumber pembiayaan mana pun, termasuk yang dianggarkan pemerintah pusat (dahulu: Jamkesmas), KIS adalah KJS yang cakupan wilayah dan sasarannya diperluas untuk seluruh Indonesia.

Gagasan ini menjadi menarik karena sesungguhnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pemerintah telah mengupayakan suatu program Jaminan Kesehatan Nasional  (JKN) melalui BPJS Bidang Kesehatan sejak 2014 ini.

JKN adalah suatu jaminan dalam lingkup nasional yang berupa perlindungan kesehatan agar peserta mendapat manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang membayar iuran atau iurannya dibayar pemerintah (Peraturan Pemerintah RI Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan).

Terkait dengan iuran yang dibayar pemerintah, formulasinya ialah dalam bentuk iuran yang disediakan untuk fakir miskin dan orang yang tidak mampu supaya mereka dapat menjadi peserta BPJS Kesehatan. Dewasa ini diperkirakan terdapat 86,4 juta jiwa peserta yang memperoleh bantuan iuran jaminan kesehatan dari sumber dana APBN (sebagian besar mantan pemegang kartu Jamkesmas). Jumlah ini merupakan bagian terbesar dari total peserta BPJS Kesehatan yang hingga akhir Mei 2014 mencapai lebih dari 121 juta jiwa.

Peta jalan

Karena keterbatasan anggaran negara, dibuatlah peta jalan untuk mencapai kepesertaan semesta, yaitu kepesertaan untuk seluruh warga negara Indonesia. Disepakati, selambat-lambatnya baru pada 2019 semua penduduk yang berdiam di wilayah Republik Indonesia akan menjadi peserta BPJS Kesehatan. Dengan demikian, sampai saat ini masih sekitar separuh dari jumlah penduduk yang belum terengkuh oleh layanan BPJS Kesehatan.

Menilik kerangka implementasi BPJS Kesehatan ini, perlu dielaborasi lebih mendalam titik-titik mana yang dapat disentuh oleh KIS Jokowi. Penduduk miskin dan tidak mampu yang barangkali masih ”tercecer”, kelak ketika telah masuk pangkalan data pemerintah, tentu akan menjadi tanggungan APBN untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan sesuai dengan amanat peraturan perundangan.

Oleh karena itu, akankah KIS berdiri sendiri layaknya institusi asuransi kesehatan swasta, tetapi dengan segmen peserta masyarakat miskin dan tidak mampu? Atau juga, calon peserta dari kategori ”pekerja bukan penerima upah” yang memang ditengarai ada sebagian yang akan mengalami kesulitan menyediakan pembayaran secara mandiri?

Hanya pertanyaannya, dari mana akan digali sumber pembiayaannya? Bila dari APBN, tentu harus diupayakan kriteria pembeda agar tidak berbenturan dengan BPJS Kesehatan. Pendeknya, bisa jadi akan lebih efektif dan efisien jika disatukan ke dalam BPJS Kesehatan manakala sama-sama membebankan penganggarannya pada APBN.

Sulit membayangkan kalau pengimplementasian KIS adalah dengan menggeser keberadaan BPJS Kesehatan–terlepas dari masih banyaknya kendala dalam pelaksanaannya di lapangan–karena legalitas BPJS Kesehatan sudah jelas dan cukup kuat: ”dipayungi” beberapa UU, peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga aturan operasional oleh kementerian terkait.

Memang disayangkan bahwa dalam debat capres kedua itu, gagasan KIS ini tidak dielaborasi lebih dalam oleh Jokowi ataupun coba ditanyakan lebih rinci baik oleh Prabowo maupun moderator. Padahal, KIS ini bersama Kartu Indonesia Pintar menjadi amunisi andal bagi Jokowi dalam mengawal visi ekonomi dan kesejahteraan sosialnya. Alhasil, KIS menjadi sasaran empuk bagi serangan lawan politiknya.

KIS menjadi tidak relevan lagi karena sesungguhnya gagasan yang dilontarkan oleh Jokowi sudah terakomodasi dalam BPJS Kesehatan.

Yang semestinya dipahami adalah perbedaan posisi antara sebagai kepala daerah (gubernur atau wali kota) dan presiden selaku kepala pemerintahan di negeri ini. Kepala daerah bisa membuat kebijakan untuk mengisi celah kosong implementasi kebijakan pemerintah pusat. Ketika pembiayaan kesehatan warga miskin tidak semuanya dapat dipenuhi oleh dana APBN (misalnya dahulu yang tidak mendapatkan kartu Jamkesmas), daerah dapat mengalokasikan anggarannya untuk membiayai kesehatan warga miskin non-Jamkesmas dalam bentuk seperti KJS tersebut.

Menjadi rancu

Akan tetapi, ketika terpilih sebagai kepala pemerintahan, yang salah satu tugasnya adalah melaksanakan UU, maka menjadi rancu bila presiden menetapkan kebijakan yang menafikan keberadaan peraturan perundangan yang sudah disepakati.

Barangkali akan lebih elegan bila program yang ditawarkan adalah untuk menguatkan sistem BPJS Kesehatan dengan mengadopsi keberhasilan KJS. Memang ini kesannya bukan merupakan gagasan yang orisinal, tetapi tetap bisa memberikan nilai lebih dari kondisi saat ini. Misalnya, selain meluaskan cakupan bagi warga miskin, juga mengupayakan peningkatan jumlah premi yang dibayarkan sehingga pelayanan kesehatan diharapkan dapat lebih baik lagi.

Yang tidak boleh dilupakan, UU SJSN yang merupakan cikal bakal pelaksanaan JKN adalah produk pemerintahan Megawati. Selaku Ketua Umum PDI Perjuangan, ia mengutus Jokowi jadi capres dalam Pilpres 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar