Minggu, 10 Agustus 2014

Seharusnya…

Seharusnya…

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 10 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Di sebuah situs, seorang politikus berkomentar bahwa kita se‎harusnya belajar dari Brasil, meskipun tuan rumah di Piala Dunia, tetapi mengakui kekalahan dan bersikap legowo. Saya sungguh tertarik dengan ungkapan seharusnya belajar dari, yang tertulis pada pernyataan itu.

Menurut ”ngana”?
                                  
Kalimat itu sampai memaksa saya berpikir keras dan kemudian menyetujuinya. Memang seharusnya kita belajar legowo, seharusnya kita belajar disiplin dan menaati peraturan dalam mengantre, dalam berkendaraan, seperti di Negeri Matahari Terbit.

Seharusnya kita belajar supaya mengendarai kendaraan tidak sembarangan di tengah jalan seperti di beberapa negara yang pernah saya kunjungi, seharusnya saya itu belajar untuk tidak jadi pengkhianat, seharusnya saya ini belajar membuat perusahaan saya semakin maju setelah studi banding ke sana dan kemari.

Tetapi yang penting, setelah seharusnya saya belajar dari, hal apa yang harus saya lakukan kemudian? Kalau mengacu dari kalimat di atas, maka kalau saya dinasihati demikian, maka saya harus mencoba melakukannya, bukan?

Artinya saya seharusnya mengeksekusi nasihat itu. Jadi kalau saya tadinya tidak legowo seperti tim Brasil, maka sekarang harus belajar jadi legowo seperti mereka. Artinya seharusnya belajar dari, dimaknai dengan melakukan eksekusi yang konkret.

Kemudian saya menceritakan hal ini di sebuah acara makan siang di garasi mobil bersama beberapa pegawai kantor, sambil mencocol ayam goreng dengan sambal terasi yang berakhir membuat jari-jari tangan berbau terasi, bahkan setelah dicuci.

Seharusnya saya ini belajar bahwa makan sambal terasi itu sebaiknya dengan sendok dan garpu kalau tak mau berakhir seperti itu. Sudah berjuta kali peristiwa itu terjadi, tetapi yaa, tetap dilakukan senantiasa.

Nah, kadang seharusnya belajar dari tak bisa tereksekusi, karena seperti makan pakai tangan itu, enaknya luar biasa. Bisa menerobos masuk ke busway di tengah orang lain terjerat kemacetan, itu enaknya luar biasa. Iya, kan?

Teman saya mengungkapkan pendapatnya. ”Aku dah biasa tu Mas dengerin kata seharusnya. Sampai bosen. Aku, kan, naik kereta. Baru aja tadi pagi kejadiannya. Ada pengumuman, kereta yang seharusnya berangkat pukul 07.12 sekarang masih di Stasiun Karet. Lah, kalau memang seharusnya berangkat pukul sekian, ya, mestinya sebelum 07.12 keretanya udah nyampe kali. Dan itu aja ya Mas, diumumin-nya pukul 07.20. Menurut ngana?”

Belajar doang

Jadi, kata seharusnya dalam cerita teman saya tampak memiliki makna menghaluskan agar tidak terasa mengeruhkan. Ada kesan bahwa dengan mengatakan seharusnya, pengertian penumpang sangat diharapkan karena mereka sudah berusaha semaksimal mungkin agar kereta berangkat tepat waktu, tetapi ternyata tidak.

Maka kemudian saya bertanya lagi. Bagaimana kalau setelah seharusnya kita belajar dari sana-sini agar menjadi begini dan begitu, masih saja tidak memiliki kemajuan yang signifikan?

Bagaimana kalau saya sudah belajar dan kemudian tidak bisa legowo? Bagaimana kalau sudah studi banding, hasilnya tetap sama? Apakah saya keliru memilih tempat untuk studi banding? Bagaimana kalau tidak bisa membuat rupiah kuat seperti mata uang negara-negara lain?

Seharusnya saya belajar dari adalah sebuah anjuran yang baik, yang bijak, dan yang sungguh mulia. Anjuran yang sejujurnya membuat seseorang atau sebuah masyarakat atau sebuah negara menjadi maju dan naik kelas. Tetapi pertanyaannya kemudian, mengapa setelah saya belajar dari, saya tidak maju?

Nurani saya langsung nyeletuk. ”Kalau itu masalahnya, elo mau maju apa enggak ciinnn.” Saya langsung membantah. ”Sudah pasti, saya mau. Itu mengapa saya memutuskan belajar dari.”

Tetapi setelah terpancing nurani yang bawel itu, saya mulai berpikir. Kalau seharusnya belajar dari sudah saya lakukan dan saya masih tetap tidak bisa naik kelas, mungkin karena I don’t see myself as I am but I see myself as they are.

Padahal mereka itu berbeda dengan saya. Di negara lain bus umum berjalan pada jalur yang sudah ditentukan, di tempat saya bus bisa berjalan dan berhenti di mana saja sesuka sopirnya. Di negara saya berbeda-beda, tetapi bisa tetap satu. Di negara-negara lain bisa menjadi satu karena tidak berbeda.

Jadi untuk mencapai hasil maksimal dari nasihat mulia itu, tak bisa hanya ada kemauan semata, tetapi harus didukung dengan karakter manusianya. Tetapi bukankah katanya, setiap negara itu memiliki karakter masyarakat yang berbeda-beda sehingga hasil yang tampak juga menjadi berbeda-beda?

Terus saya baru sadar, pernyataan itu, kan, hanya berbunyi seharusnya saya belajar dari. Pernyataan mulia itu tak mengandung anjuran untuk mengeksekusi. Jadi belajar doang. Mau dieksekusi atau tidak, tergantung yang mendengarkannya. Iya, kan? Tuh, kan, saya ini suka tidak membaca dengan benar, sih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar