Sarana
Sirkuit dan Geng Liar Motor
Erlangga Masdiana ;
Kriminolog,
Mantan Ketua Program Pasca Sarjana Kriminologi FISIP UI
|
KORAN
JAKARTA, 20 Agustus 2014
Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun sirkuit di
kawasan Marunda, Jakarta Utara, mendapat reaksi positif dari Polda Metro
Jaya. Realisasi tersebut diharapkan dapat mengurangi aksi balap liar di
berbagai penjuru wilayah Jakarta.
Suatu keharusan jika Jakarta makin berbenah dengan menambahkan
ruang publiknya karena problem Jakarta makin hari makin kompleks. Kurangnya
ruang publik di Jakarta akan makin meningkatkan “kepenatan”, stres, dan makin
teralienasi. Saat berada di jalan raya, orang menghadapi tingkat kemacetan
luar biasa. Orang harus menghabiskan waktu tiga jam di jalan raya dalam
sehari. Ruang publik seperti transportasi yang cukup (menyenangkan) belum
hadir sehingga waktu untuk bersosialisasi di rumah dan ketetanggaan amat
minim. Ruang publik seperti sarana olah raga dan taman juga amat terbatas.
Fenomena kelompok generasi muda yang memiliki hobi mengendarai
motor di jalan raya memunculkan berbagai kelompok geng liar motor, bahkan ada
geng motor (yang cenderung terstigma dengan aksinya melakukan tindakan
kejahatan). Munculnya pengelompokan ini sebenarnya adalah fenomena sosial
yang harus cepat direspons karena sudah menjadi masalah sosial yang
meresahkan masyarakat.
Munculnya fenomena geng liar atau geng motor mencerminkan
masyarakatnya yang tengah melakukan proses sosial. Auguste Comte dan Emile
Durkheim menyebutkan bahwa perilaku menyimpang tersebut merupakan akibat dari
kultur dan mentalitas orang yang tidak mampu beradaptasi dengan tatanan
sosial yang ada. Sementara itu, Fredrich August von Hayek (1889–1992)
memandang masalah penyimpangan dan kejahatan sebagai masalah serius yang
harus dilakukan perubahan melalui pendidikan.
Masalahnya, kegagalan pendidikan tecermin dalam munculnya
berbagai aksi penyimpangan “ekstrem” (seperti tawuran, geng motor, konsumsi
narkoba), dan penyimpangan “terselubung” yang melahirkan berbagai bentuk
“kursus atau bimbingan belajar”.
Pendidikan bimbingan belajar yang banyak bermunculan menunjukkan
pemerintah tidak memiliki konsep akademik anak-anak didik. Apalagi konsep
mengatasi problem sosial yang relatif lebih dinamis dan sewaktu-waktu bisa
muncul seperti geng liar motor menunjukkan bahwa pemerintah tidak peduli,
membiarkan problem sosial ini diatasi sendiri oleh masyarakat tanpa bantuan
dari pemerintah (atau mengatasi seadanya dan bersifat reaktif).
Menambahkan Ruang Publik
Kurangnya ruang publik yang memfasilitasi kreativitas anak-anak
muda telah melahirkan minimal 50 titik balap liar di wilayah Jabodetabek.
Balap liar dan geng motor ini telah menimbulkan korban. Data Indonesia Police Watch menyebutkan
telah ada 68 korban jiwa (19 jiwa korban ulah geng motor, 49 orang akibat
balapan liar).
Munculnya geng motor dan geng liar motor adalah perwujudan dari
rasa stres terhadap tata ruang dan lalu lintas kota. Masing-masing kelompok
yang ada di Jakarta menjawab masalah yang dihadapinya dengan berbagai kreasi
dan tindakan (baik positif maupun negatif), termasuk anak-anak muda yang
menjawab kepenatan sosial akibat dari kurangnya infrastruktur tempat balapan
(sirkuit) dengan menggunakan sarana-sarana umum jalan raya.
Minimnya sarana publik di dalam lingkungan permukiman didukung
dengan kurangnya kreativitas dan kepedulian pemerintah dan tokoh masyarakat
terhadap berbagai kelompok kreatif peer
group. Peer group hanya
berjalan apa adanya seperti air mengalir bebas mengalir ke muara. Problemnya,
kelompok anak muda dibiarkan tanpa ada fasilitas publik yang kondusif.
Bergerombol menggunakan sepeda motor sebagai hobi atau pilihan kreatif yang
bisa digunakan kalangan anak muda untuk bisa melakukan mobilitas sosial dan
melepaskan “kepenatan sosial” yang
dihadapi di rumah atau di lingkungan sosial lain (seperti sekolah atau
pekerjaan).
Berbagai problem sosial akan makin “menganga” kalau pertumbuhan kota tidak terencana secara baik.
Jakarta akan dibiarkan berada dalam masalah sosialnya yang terus-menerus.
Kota Jakarta yang menjadikan masyarakatnya makin “teralienasi” akan melahirkan tindakan-tindakan asosial dan
antisosial (kejahatan dan agresi sosial).
Minimnya ruang publik untuk menyalurkan kreativitas menjadi salah
satu penyebab maraknya kegiatan negatif yang dilakukan kalangan remaja dan
generasi muda Ibu Kota. Jiwa muda yang senang memacu adrenalin selama ini
tidak tersalurkan karena tidak diberikan fasilitas yang cukup dari pemerintah
sehingga tidak hanya mengganggu lalu lintas, tapi juga mengganggu keamanan
karena terbentuknya simpul-simpul perkumpulan anak-anak muda dari berbagai
kalangan sering kali menimbulkan konflik yang tidak direncanakan.
Korban-korban akibat konflik antarkelompok hobi ini mestinya tidak
perlu terjadi kalau saja ada infrastruktur yang menciptakan keteraturan
hadirnya para penonton dan kalangan yang ingin mengekspresikan hobinya memacu
kendaraan.
Meningkatkan Hubungan
Intrinsik
Geng motor atau geng liar motor menunjukkan fenomena negatif
sebagai ekses pembangunan Ibu Kota yang luar biasa dinamisnya. Pertumbuhan
kota melahirkan dinamika sosial dan ekonomi yang acap kali tidak diharapkan.
Dinamika sosial yang tidak diharapkan ini seharusnya direspons secara serius
dan cepat oleh pemerintah daerah agar tidak berlarut-larut menimbulkan
konpflik dan masalah yang berkepanjangan.
Kota Jakarta dari waktu ke waktu membentuk diri menjadi kota
megapolitan, melahirkan berbagai karakternya yang makin tidak bersahabat.
Pola interaksi sosial antaranggota keluarga saja mulai bergeser dari hubungan
intrinsik (hubungan kasih sayang yang tidak dinilai dengan materi) menuju
hubungan ekstrinsik (semua diukur materi).
Semestinya warga Jakarta, di tengah kehidupan yang sangat
dinamis, makin mengeratkan hubungan intrinsik dalam keluarga karena berbagai
tantangan sosial yang makin “mencemaskan”.
Misalnya orang tua makin khawatir terhadap aksi tawuran pelajar, mereka
seharusnya makin care terhadap berbagai gejala perilaku anak-anak mereka.
Pola komunikasi antara orang tua dan anak makin ditingkatkan.
Komunikasi harus bisa diukur dengan bagaimana anak-anak bisa bersikap terbuka
dan merasakan kepuasan dalam berinteraksi dengan orang tua mereka.
Keterbukaan komunikasi akan bisa memprediksi kemungkinan-kemungkinan buruk
yang bakal terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar