Rabu, 20 Agustus 2014

Sarana Sirkuit dan Geng Liar Motor

                         Sarana Sirkuit dan Geng Liar Motor

Erlangga Masdiana  ;   Kriminolog,
Mantan Ketua Program Pasca Sarjana Kriminologi FISIP UI
KORAN JAKARTA, 20 Agustus 2014

                                                                                                                                   

Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun sirkuit di kawasan Marunda, Jakarta Utara, mendapat reaksi positif dari Polda Metro Jaya. Realisasi tersebut diharapkan dapat mengurangi aksi balap liar di berbagai penjuru wilayah Jakarta.

Suatu keharusan jika Jakarta makin berbenah dengan menambahkan ruang publiknya karena problem Jakarta makin hari makin kompleks. Kurangnya ruang publik di Jakarta akan makin meningkatkan “kepenatan”, stres, dan makin teralienasi. Saat berada di jalan raya, orang menghadapi tingkat kemacetan luar biasa. Orang harus menghabiskan waktu tiga jam di jalan raya dalam sehari. Ruang publik seperti transportasi yang cukup (menyenangkan) belum hadir sehingga waktu untuk bersosialisasi di rumah dan ketetanggaan amat minim. Ruang publik seperti sarana olah raga dan taman juga amat terbatas.

Fenomena kelompok generasi muda yang memiliki hobi mengendarai motor di jalan raya memunculkan berbagai kelompok geng liar motor, bahkan ada geng motor (yang cenderung terstigma dengan aksinya melakukan tindakan kejahatan). Munculnya pengelompokan ini sebenarnya adalah fenomena sosial yang harus cepat direspons karena sudah menjadi masalah sosial yang meresahkan masyarakat.

Munculnya fenomena geng liar atau geng motor mencerminkan masyarakatnya yang tengah melakukan proses sosial. Auguste Comte dan Emile Durkheim menyebutkan bahwa perilaku menyimpang tersebut merupakan akibat dari kultur dan mentalitas orang yang tidak mampu beradaptasi dengan tatanan sosial yang ada. Sementara itu, Fredrich August von Hayek (1889–1992) memandang masalah penyimpangan dan kejahatan sebagai masalah serius yang harus dilakukan perubahan melalui pendidikan.

Masalahnya, kegagalan pendidikan tecermin dalam munculnya berbagai aksi penyimpangan “ekstrem” (seperti tawuran, geng motor, konsumsi narkoba), dan penyimpangan “terselubung” yang melahirkan berbagai bentuk “kursus atau bimbingan belajar”.

Pendidikan bimbingan belajar yang banyak bermunculan menunjukkan pemerintah tidak memiliki konsep akademik anak-anak didik. Apalagi konsep mengatasi problem sosial yang relatif lebih dinamis dan sewaktu-waktu bisa muncul seperti geng liar motor menunjukkan bahwa pemerintah tidak peduli, membiarkan problem sosial ini diatasi sendiri oleh masyarakat tanpa bantuan dari pemerintah (atau mengatasi seadanya dan bersifat reaktif).

Menambahkan Ruang Publik

Kurangnya ruang publik yang memfasilitasi kreativitas anak-anak muda telah melahirkan minimal 50 titik balap liar di wilayah Jabodetabek. Balap liar dan geng motor ini telah menimbulkan korban. Data Indonesia Police Watch menyebutkan telah ada 68 korban jiwa (19 jiwa korban ulah geng motor, 49 orang akibat balapan liar).

Munculnya geng motor dan geng liar motor adalah perwujudan dari rasa stres terhadap tata ruang dan lalu lintas kota. Masing-masing kelompok yang ada di Jakarta menjawab masalah yang dihadapinya dengan berbagai kreasi dan tindakan (baik positif maupun negatif), termasuk anak-anak muda yang menjawab kepenatan sosial akibat dari kurangnya infrastruktur tempat balapan (sirkuit) dengan menggunakan sarana-sarana umum jalan raya.

Minimnya sarana publik di dalam lingkungan permukiman didukung dengan kurangnya kreativitas dan kepedulian pemerintah dan tokoh masyarakat terhadap berbagai kelompok kreatif peer group. Peer group hanya berjalan apa adanya seperti air mengalir bebas mengalir ke muara. Problemnya, kelompok anak muda dibiarkan tanpa ada fasilitas publik yang kondusif. Bergerombol menggunakan sepeda motor sebagai hobi atau pilihan kreatif yang bisa digunakan kalangan anak muda untuk bisa melakukan mobilitas sosial dan melepaskan “kepenatan sosial” yang dihadapi di rumah atau di lingkungan sosial lain (seperti sekolah atau pekerjaan).

Berbagai problem sosial akan makin “menganga” kalau pertumbuhan kota tidak terencana secara baik. Jakarta akan dibiarkan berada dalam masalah sosialnya yang terus-menerus. Kota Jakarta yang menjadikan masyarakatnya makin “teralienasi” akan melahirkan tindakan-tindakan asosial dan antisosial (kejahatan dan agresi sosial).

Minimnya ruang publik untuk menyalurkan kreativitas menjadi salah satu penyebab maraknya kegiatan negatif yang dilakukan kalangan remaja dan generasi muda Ibu Kota. Jiwa muda yang senang memacu adrenalin selama ini tidak tersalurkan karena tidak diberikan fasilitas yang cukup dari pemerintah sehingga tidak hanya mengganggu lalu lintas, tapi juga mengganggu keamanan karena terbentuknya simpul-simpul perkumpulan anak-anak muda dari berbagai kalangan sering kali menimbulkan konflik yang tidak direncanakan.

Korban-korban akibat konflik antarkelompok hobi ini mestinya tidak perlu terjadi kalau saja ada infrastruktur yang menciptakan keteraturan hadirnya para penonton dan kalangan yang ingin mengekspresikan hobinya memacu kendaraan.

Meningkatkan Hubungan Intrinsik

Geng motor atau geng liar motor menunjukkan fenomena negatif sebagai ekses pembangunan Ibu Kota yang luar biasa dinamisnya. Pertumbuhan kota melahirkan dinamika sosial dan ekonomi yang acap kali tidak diharapkan. Dinamika sosial yang tidak diharapkan ini seharusnya direspons secara serius dan cepat oleh pemerintah daerah agar tidak berlarut-larut menimbulkan konpflik dan masalah yang berkepanjangan.

Kota Jakarta dari waktu ke waktu membentuk diri menjadi kota megapolitan, melahirkan berbagai karakternya yang makin tidak bersahabat. Pola interaksi sosial antaranggota keluarga saja mulai bergeser dari hubungan intrinsik (hubungan kasih sayang yang tidak dinilai dengan materi) menuju hubungan ekstrinsik (semua diukur materi).

Semestinya warga Jakarta, di tengah kehidupan yang sangat dinamis, makin mengeratkan hubungan intrinsik dalam keluarga karena berbagai tantangan sosial yang makin “mencemaskan”. Misalnya orang tua makin khawatir terhadap aksi tawuran pelajar, mereka seharusnya makin care terhadap berbagai gejala perilaku anak-anak mereka.

Pola komunikasi antara orang tua dan anak makin ditingkatkan. Komunikasi harus bisa diukur dengan bagaimana anak-anak bisa bersikap terbuka dan merasakan kepuasan dalam berinteraksi dengan orang tua mereka. Keterbukaan komunikasi akan bisa memprediksi kemungkinan-kemungkinan buruk yang bakal terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar