Bahasa
Negara
Marwanto ;
Pemerhati Politik Bahasa
|
KORAN
TEMPO, 20 Agustus 2014
Sehari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 berkumandang, bahasa
Indonesia diresmikan menjadi bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Hari jadi bahasa negara ini sayangnya masih sepi dari perhatian
publik. Urusan publik seolah selesai ketika bahasa ini digunakan sebagai
infrastruktur komunikasi formal antara rakyat dan aparat negara. Pasal 36
Undang-Undang Dasar 1945 menyiratkan bahasa Indonesia adalah identitas negara
dengan ciri kebinekaan bangsa.
Untuk mendirikan negara bangsa ini, sejak awal bangunan
Indonesia dirancang tidak berlandaskan strategi kesukuan. Refleksi kesukuan
Indonesia adalah sejumlah bahasa daerah yang--dengan istilah Ferdinand de
Saussure--disebut parole. Saussure
(1916) menggambarkan parole sangat
beragam dalam tuturan masyarakat: gambarannya seperti bentuk pion, kuda, dan
sebagainya, dalam wujud permainan catur. Kehadiran bahasa negara menjadi
strategi menemukan kesatuan muasal. Sebagai contoh, kata aku, kula, kulo, ulon, dan ulun
bisa dicari kesamaan asalnya meski bentuk tuturan semua itu beragam.
Atas keanekaragaman tuturan masyarakat Indonesia, bahasa negara
perlu hadir memberikan ruang apresiasi bagi semua bentuk parole. Bahasa
negara-bahasa Indonesia-pernah dituding sebagai bagian strategi
"jawanisasi" ketikazaman Orde Baru. Apresiasi bahasa Indonesia
condong berpihak hanya pada penutur suku Jawa. Ketika itu, kualitas
kebinekaan Indonesia merosot tajam.
Sama bahayanya, klaim kesukuan yang sering terlontar bahwa
bahasa Indonesia masih termasuk bahasa Melayu. Klaim itu masih dicoba untuk
menguatkan anggapan bahwa orang Indonesia merupakan kelompok etnis Melayu Austronesia.
Walhasil, sebagianwarga Indonesia sekarang melakukan gerakan
kontra-identitas. Misalnya, di wilayah Papua sudah muncul gerakan membentuk
pola pikir mereka sebagai orang Melanesia.
Ungkapan "Dirgahayu
Indonesia" harus tetap bergema. Republik Indonesia tak boleh
terjerembap dalam strategi kesukuan dan/atau keagamaan. Caranya: kerja bahasa
negara ini harus dioptimalkan untuk strategi berbangsa dan bernegara
Indonesia.
Kelembagaan bahasa negara sekarang tampak lebih optimal dengan
terbentuknya Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (sebuah
unit kerja baru pada Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) di
kawasan Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia (Indonesia Peace and Security Center/IPSC), Sentul, Bogor, Jawa
Barat. Tergabungnya kelembagaan bahasa ini sebagai salah satu instalasi
strategis nasional di kawasan IPSC, jika nantinya dikelola dengan baik, akan
mengoptimalkan pemanfaatan potensi bahasa sebagai bentuk diplomasi.
Dalam waktu dekat, kawasan IPSC itu bakal diwariskan oleh
pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pekerjaan besar kepada
pemerintahan baru. Presiden terpilih dalam pemilihan presiden 2014-Joko
Widodo-terlihat siap menerima warisan ini. Dalam debat capres soal hubungan
internasional dan ketahanan nasional, Jokowi menyatakan tekadnya untuk
mengedepankan diplomasi. Sudah semestinya, ia menyiapkan langkah-langkah yang
terukur melalui kegiatan diplomasi kebahasaan.
Untuk hubungan internasional, misalnya, Jokowi perlu berani
secara tegas menginstruksikan semua pejabat Indonesia agar berbahasa negara
dalam dinas di luar negeri. Janganlah malu berbahasa Indonesia di forum resmi
antarbangsa.Kegiatan diplomasi kebahasaan, sebagaimana tertuang dalam PP
Nomor 16 Tahun 2010 mengenai bahasa pejabat,masih perlu diperkuat.
Untuk ketahanan nasional,kegiatan diplomasi kebahasaan juga
tidak kalah penting. Ini karena bahasa tidak selamanya mendamaikan. Dalam
ranah forensik, dikenal adanya tuturan kebencian atas seorang/sekelompok
wargakomunitas. Tidak jarang, tindakan kebencian yang berujung pada perbuatan
jahat bermula dengan kata-kata yang berbau tidak menyenangkan atau, bahkan,
menyerang kehormatan harkat manusia. Dalam proses pemilihan presiden 2014,
Jokowi pernah menjadi korban kejahatan itu.
Seperti halnya teori kejahatan, susur galur motif perbuatan
verbal bisa dilakukan dalam dunia kebahasaan. Dengan karya How to Things With Words, J.L. Austin
(1962) mengabadikan teori mengenai bagaimana setiap tindakan bahasa dibuat,
termasuk untuk membuat situasi konflik atau damai. Mengingat besarnya potensi
konflik warga komunitas, diplomasi bahasa negara sangat penting dipraktekkan
di dalam negeri.
Terjadi kejahatan terbesar terhadap negara apabila ada
sekelompok warga Indonesiayang berbuat makar; mengingkari cita-cita terbentuknya
NKRI. Di era otonomi daerah, perbedaan parole berbahasa daerah kerap
dibenturkan agar tercipta situasi konflik komunitas dengan negara. Untuk itu,
melalui strategi dan diplomasi kebahasaan, kerja bahasa negara perlu
dikelola-seperti disebutkan Kepala Badan Bahasa Prof Mahsun (2014 dalam
komunikasi pribadi)-sebagai "politik
identitas".
Sebuah kemauan politik untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai
identitas negara pada 18 Agustus 1945. Hikmah hari jadi bahasa negara itu
sekarang masih sepi dalam ingatan publik. Sebab, bahasa Indonesiabaru resmi
bagikuasa negara; belum sepenuhnya merdeka menjadi bahasa rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar