Menyoal
Haluan Politik Kita
Ahmad Fuad Fanani ;
Direktur Riset Maarif Institute;
Pengajar di FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta
|
KOMPAS,
21 Agustus 2014
ANGIN reformasi yang bergulir
selama 16 tahun telah mengubah demokratisasi Indonesia. Banyak keuntungan
yang diraih, terutama terkait kebebasan berpolitik, mewartakan, dan
berpendapat-berekspresi, yang dalam rezim otoriter-despotik Orde Baru nyaris
mustahil terjadi.
Setelah reformasi tahun 1998,
Indonesia telah menata dan mengonsolidasikan politik dan sistem kelembagaan.
Indonesia juga telah memilih presiden langsung sejak 2004, membentuk Mahkamah
Konstitusi, KPK, KY, dan komisi independen lainnya, serta memilih kepala
daerah secara langsung.
Perkembangan itu menunjukkan
bahwa Indonesia telah berkomitmen melaksanakan sistem politik baru
berdasarkan nilai-nilai dan aturan demokrasi (MC Ricklefs, 2008).
Meski demikian, publik tidak
boleh lengah terhadap perkembangan yang terjadi. Reformasi yang diharapkan
membawa perubahan sosial dan politik ternyata tidak sejalan seperti yang
diharapkan.
Arah politik Indonesia
sepertinya semakin buram, tidak memiliki bentuk yang jelas. Perilaku politik
kaum elite dan pejabat publik semakin jauh dari tuntunan moral dan
konstitusi. Terjadi kemerosotan moral dan korupsi yang merajalela hampir di
semua level pemerintahan.
Tunamoral
Menurut Ahmad Syafii Maarif,
praktik politik tunamoral seperti saat ini hanya akan melahirkan kebiadaban
dan kerakusan.
Menurut pendiri Maarif
Institute ini, kehidupan kebangsaan kita lambat laun semakin terpuruk dalam
praktik-praktik politik kumuh. Korupsi yang mewabah, tanpa rasa malu, menjadi
laku biasa dalam kehidupan politik kita.
Demokrasi yang dipraktikkan di
Indonesia pun tampaknya masih berhenti pada demokrasi prosedural dan formal.
Demokrasi yang semestinya dimaknai sebagai jalan untuk memperbaiki kualitas
kehidupan politik, memberikan hak yang setara kepada semua warga negara,
melindungi semua kepentingan rakyat, dan menyejahterakan masyarakat ternyata
hanya dimaknai sekadarnya.
Maka, selama 16 tahun reformasi
demokrasi hanya banyak dijalankan secara prosedural, seperti terselenggaranya
pemilu, pilpres, dan pilkada.
Yang ironis, karena setelah
reformasi kekuatan partai politik menjadi sangat dominan, terjadi politik
kartel atau kartelisasi politik sebagai model politik yang dianut mayoritas
partai politik.
Dalam politik kartel ini,
ideologi kebangsaan dan politik pembelaan terhadap kepentingan rakyat banyak
dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan politik jangka pendek yang
menguntungkan pihak tertentu (Kuskridho
Ambardi, 2009).
Lalu, di manakah letak moral
dan konstitusi dalam perilaku politik kita dewasa ini? Laku korupsi yang
menjangkit ke hampir semua lini hinggap pula di kalangan politisi generasi
muda yang sebetulnya banyak diharapkan menciptakan perubahan dalam narasi
perpolitikan Indonesia.
Praktik korupsi menjadi laku
yang lumrah dan justru melahirkan generasi ”yang muda, yang korupsi”.
Dengan model politik yang
transaksional seperti itu, kita patut prihatin dengan kualitas elite dan para
pejabat publik kita, baik yang duduk di lembaga eksekutif, yudikatif, maupun
legislatif.
Tertangkapnya Ketua Mahkamah
Konstitusi yang terbukti menerima suap dan memperdagangkan putusan-putusan
hukum menunjukkan bahwa bangsa ini benar-benar berada di titik nadir.
Penegasan haluan
Untuk merawat kesabaran
berdemokrasi dan mencegah kebosanan dalam berpolitik yang berkembang luas di
masyarakat, diperlukan cara jitu dan strategis untuk mengarahkan haluan
politik kita.
Moral dan konstitusi harus
menjadi panduan utama laku politik para elite. Saat ini jarang sekali ada
politisi yang benar-benar memimpin. Mereka hanya menjabat dan memanfaatkan
kekuasaannya untuk kepentingan sesaat yang sering sesat.
Langka
Pemimpin yang prorakyat dan
menjalankan tugas dengan pertimbangan nurani (bahasa hati) menjadi
pemandangan yang langka di negeri ini (Ahmad Syafii Maarif, 2014).
Haluan politik Indonesia
setelah reformasi harus didasarkan pada konstitusi kita (UUD 1945) dan
Pancasila.
Kita harus membaca secara
saksama tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945, yang berbunyi ”...melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial....” Inilah acuan haluan politik Indonesia.
Mengarahkan haluan politik
setelah reformasi ini penting untuk disegerakan karena 2014 adalah tahun yang
tepat bagi kita semua untuk merancang.
Jika kita tunda lagi, pemilu
dan pilpres yang menghabiskan banyak dana dan menguras banyak tenaga hanya
menjadi ajang rutinitas lima tahunan yang tidak berbekas sama sekali pada
upaya perbaikan bangsa dan negara.
Di sinilah pentingnya, kita
jadikan momentum tahun politik 2014 ini sebagai titik tolak untuk melakukan
perbaikan demi Indonesia yang lebih maju, berdaulat, dan bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar