Jumat, 22 Agustus 2014

Menyoal Haluan Politik Kita

                                    Menyoal Haluan Politik Kita

Ahmad Fuad Fanani  ;   Direktur Riset Maarif Institute;
Pengajar di FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta
KOMPAS, 21 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

ANGIN reformasi yang bergulir selama 16 tahun telah mengubah demokratisasi Indonesia. Banyak keuntungan yang diraih, terutama terkait kebebasan berpolitik, mewartakan, dan berpendapat-berekspresi, yang dalam rezim otoriter-despotik Orde Baru nyaris mustahil terjadi.

Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia telah menata dan mengonsolidasikan politik dan sistem kelembagaan. Indonesia juga telah memilih presiden langsung sejak 2004, membentuk Mahkamah Konstitusi, KPK, KY, dan komisi independen lainnya, serta memilih kepala daerah secara langsung.

Perkembangan itu menunjukkan bahwa Indonesia telah berkomitmen melaksanakan sistem politik baru berdasarkan nilai-nilai dan aturan demokrasi (MC Ricklefs, 2008).

Meski demikian, publik tidak boleh lengah terhadap perkembangan yang terjadi. Reformasi yang diharapkan membawa perubahan sosial dan politik ternyata tidak sejalan seperti yang diharapkan.

Arah politik Indonesia sepertinya semakin buram, tidak memiliki bentuk yang jelas. Perilaku politik kaum elite dan pejabat publik semakin jauh dari tuntunan moral dan konstitusi. Terjadi kemerosotan moral dan korupsi yang merajalela hampir di semua level pemerintahan.

Tunamoral

Menurut Ahmad Syafii Maarif, praktik politik tunamoral seperti saat ini hanya akan melahirkan kebiadaban dan kerakusan.

Menurut pendiri Maarif Institute ini, kehidupan kebangsaan kita lambat laun semakin terpuruk dalam praktik-praktik politik kumuh. Korupsi yang mewabah, tanpa rasa malu, menjadi laku biasa dalam kehidupan politik kita.

Demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia pun tampaknya masih berhenti pada demokrasi prosedural dan formal. Demokrasi yang semestinya dimaknai sebagai jalan untuk memperbaiki kualitas kehidupan politik, memberikan hak yang setara kepada semua warga negara, melindungi semua kepentingan rakyat, dan menyejahterakan masyarakat ternyata hanya dimaknai sekadarnya.

Maka, selama 16 tahun reformasi demokrasi hanya banyak dijalankan secara prosedural, seperti terselenggaranya pemilu, pilpres, dan pilkada.

Yang ironis, karena setelah reformasi kekuatan partai politik menjadi sangat dominan, terjadi politik kartel atau kartelisasi politik sebagai model politik yang dianut mayoritas partai politik.

Dalam politik kartel ini, ideologi kebangsaan dan politik pembelaan terhadap kepentingan rakyat banyak dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan politik jangka pendek yang menguntungkan pihak tertentu (Kuskridho Ambardi, 2009).

Lalu, di manakah letak moral dan konstitusi dalam perilaku politik kita dewasa ini? Laku korupsi yang menjangkit ke hampir semua lini hinggap pula di kalangan politisi generasi muda yang sebetulnya banyak diharapkan menciptakan perubahan dalam narasi perpolitikan Indonesia.

Praktik korupsi menjadi laku yang lumrah dan justru melahirkan generasi ”yang muda, yang korupsi”.

Dengan model politik yang transaksional seperti itu, kita patut prihatin dengan kualitas elite dan para pejabat publik kita, baik yang duduk di lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif.

Tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi yang terbukti menerima suap dan memperdagangkan putusan-putusan hukum menunjukkan bahwa bangsa ini benar-benar berada di titik nadir.

Penegasan haluan

Untuk merawat kesabaran berdemokrasi dan mencegah kebosanan dalam berpolitik yang berkembang luas di masyarakat, diperlukan cara jitu dan strategis untuk mengarahkan haluan politik kita.

Moral dan konstitusi harus menjadi panduan utama laku politik para elite. Saat ini jarang sekali ada politisi yang benar-benar memimpin. Mereka hanya menjabat dan memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan sesaat yang sering sesat.

Langka

Pemimpin yang prorakyat dan menjalankan tugas dengan pertimbangan nurani (bahasa hati) menjadi pemandangan yang langka di negeri ini (Ahmad Syafii Maarif, 2014).

Haluan politik Indonesia setelah reformasi harus didasarkan pada konstitusi kita (UUD 1945) dan Pancasila.

Kita harus membaca secara saksama tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi ”...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....” Inilah acuan haluan politik Indonesia.

Mengarahkan haluan politik setelah reformasi ini penting untuk disegerakan karena 2014 adalah tahun yang tepat bagi kita semua untuk merancang.

Jika kita tunda lagi, pemilu dan pilpres yang menghabiskan banyak dana dan menguras banyak tenaga hanya menjadi ajang rutinitas lima tahunan yang tidak berbekas sama sekali pada upaya perbaikan bangsa dan negara.

Di sinilah pentingnya, kita jadikan momentum tahun politik 2014 ini sebagai titik tolak untuk melakukan perbaikan demi Indonesia yang lebih maju, berdaulat, dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar