Religiusitas Renungan
Suci pada Hari Proklamasi
Hajriyanto Y Thohari ;
Wakil Ketua MPR RI
|
KORAN
SINDO, 15 Agustus 2014
PERAYAAN
17 Agustus di setiap tahun biasanya terdiri atas rangkaian acara dan upacara
yang panjang dan sudah menjadi konvensi nasional.
Hari
ini Presiden Republik Indonesia menyampaikan pidato kenegaraan (speech to the nation) di depan sidang
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tanggal 16
Agustus pukul 24.00 WIB, tengah malam, upacara apel kehormatan dan renungan
suci. Tanggal 17 Agustus pukul 10.00 upacara peringatan Hari Ulang Tahun
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di halaman Istana Merdeka.
Pukul
17.00 upacara penurunan bendera negara sang Merah Putih dan pukul 20.00
resepsi kenegaraan peringatan proklamasi kemerdekaan di Istana Merdeka. Saya
ingin menyoroti acara-acara yang kedua dalam rangkaian perayaan 17 Agustus
yaitu upacara apel kehormatan dan renungan suci. Demikianlah nama aslinya
yang resmi sebagaimana yang tercetak dalam undangan.
Saya
berusaha untuk selalu hadir dalam seluruh rangkaian acara perayaan tersebut,
termasuk di dalamnya upacara kehormatan dan renungan suci (untuk selanjutnya
saya akan menyebutnya ”renungan suci”) tersebut. Sungguh acara tersebut,
terakhir inilah, yang selalu menyita pikiran saya sehabis menghadirinya.
Kurang Mistis, Kurang
Religius
Setiap
pulang dari mengikuti renungan suci pada malam 17 Agustus dini hari di Taman
Makam Pahlawan Nasional, Kalibata, saya benar-benar selalu merenungkan acara
itu. Merenung bukan hanya pada soal mengapa acara itu berlangsung begitu
singkat (tidak sepadan dengan lamanya menunggu waktu dimulai acara atau
upacara yang tepat dimulai pukul 24.00 dan juga kedatangan Presiden RI) atau
jalannya acara yang terkesan terlalu formal dan militeristis, melainkan juga
saya berpikir bahwa acara itu kurang bernuansa sakral, mistis, atau
spiritual-religius.
Saya
tidak tahu apa yang dirasakan para pejabat tinggi negara lainnya, tetapi yang
pasti demikianlah setidaknya yang saya rasakan di dalam hati saya! Acara
renungan suci, demikianlah nama resmi acara tersebut sebagaimana yang
tertulis dalam surat undangan, mestinya menjadi semacam doa untuk bangsa.
Sebagai bangsa yang beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa
Indonesia menyatakan bahwa kemerdekaan yang diraih dengan susah payah dan
dengan pengorbanan jiwa itu pada hakikatnya adalah atas berkat rahmat Tuhan
Allah Yang Maha Kuasa.
Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ketiga
menyatakan bahwa ”Atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya”. Maka itu, sangatlah tepat jika acara renungan suci pada
malam peringatan kemerdekaan 17 Agustus dapat disebut sebagai doa untuk
bangsa atau prayer for our nation.
Acara
renungan ini dipimpin presiden republik Indonesia, diikuti wakil presiden dan
para pejabat tinggi negara, panglima TNI/Kapolri lengkap dengan pasukannya,
dan dilangsungkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Acara itu
dikemas dalam suasana kegelapan lewat tengah malam (midnight) sampai menjelang dini hari, tanpa penerangan kecuali
beberapa lilin agar mereka yang bertugas dapat membaca teks ikrar, naskah
doa, dan renungan-renungan suci lain.
Tentu
pilihan waktu dan tempat tersebut bukanlah suatu truisme belaka yang tanpa
disengaja dan tanpa maksud apa pun. Saya yakin dipilihnya waktu seperti itu
untuk mendapatkan keheningan dan kesyahduan agar renungan berlangsung hening
dan syahdu. Dus, acara itu memang harus hening dan syahdu. Tidak bising dan
penuh kebisingan, apalagi hiruk-pikuk. Dalam kaitan ini, pembacaan janji dan
ikrar anak bangsa, apalagi doa, harus disampaikan dengan bagus, syahdu,
hening, dan syukur, ada sedikit suasana mistis.
Doa: Pertama dan Utama
Dalam
suatu kunjungan kerja ke Kabupaten Biak dan Kabupaten Merauke beberapa tahun
lalu saya kagum dan belajar banyak pada sebuah acara di sana yang sangat baik
dan mulia. Jika di daerahdaerah lain, juga di Jakarta, pembacaan doa itu
ditaruh di ujung acara ketika acara akan selesai dan ditutup, di Indonesia
bagian timur, terutama di Papua/Papua Barat, Maluku/Maluku Utara, Nusa
Tenggara Timur (NTT) atau Sulawesi Utara, acara doa itu mengawali setiap
resepsi atau pertemuan resmi.
Ini
saya rasa merupakan kebiasaan atau tradisi yang sangat baik dan benar. Dalam
renungan suci di TMP Kalibata dini hari acara doa bukan hanya ditaruh di
belakang di penghujung acara, melainkan juga dibacakan secara kurang syahdu
dan mistis. Sayang sekali, doa yang biasanya dibacakan oleh Menteri Agama
tersebut terasa tidak dipersiapkan dengan sungguh-sungguh sebagai prayer for our nation yang bagus
sehingga secara kejiwaan akan mengena di hati sanubari.
Isi
doanya pastilah bagus dan baik, tetapi narasi dan cara penyampaiannya tidak
pas, tidak mengena, dan kurang menimbulkan efek mistis dan sakral. Rasa
nasionalisme, patriotisme, atau katakanlah cinta bangsa dan Tanah Air
memerlukan juga aspek spiritualisme berdasarkan agama. Penulis tidak tahu
pasti bagaimana semestinya mengemas acara renungan suci atau prayer for our nation tersebut
sehingga menjadi terasa lebih mistis atau sakral. Satu hal yang pasti adalah
pembacaan doa menjadi sangat penting sehingga harus dipentingkan.
Begitu
pentingnya doa, acara tersebut harus meletakkan doa pada bagian yang pertama
dan utama. Saya berpikir dan mengusulkan pembacaan doa dalam acara renungan
suci itu haruslah menjadi acara yang pertama dan utama. Doa harus mengawali
semua acara peringatan kemerdekaan RI, termasuk di dalamnya acara renungan
suci pada malam 17 Agustus itu. Dalam konteks dan perspektif seperti ini
pula, bukan hanya acara renungan suci pada malam peringatan 17 Agustus,
melainkan ke depan pembacaan doa haruslah dilakukan pada awal setiap acara
resmi kenegaraan dan disiapkan dengan sungguh-sungguh dan terbaik.
Ketentuan
protokoler perlu direformasi agar acara renungan suci ini tidak ”terlalu”
negara. Dimensi yang (mungkin pemilihan kata ini kurang tepat) terlalu
militeristis atau terlalu tentara perlu juga dikurangi dengan mengundang
pemimpinpemimpin masyarakat. Sekali lagi, buatlah narasi dan untaian doa yang
bagus, indah, dan menyentuh. Bukan doa yang kering yang disampaikan dengan
datar dan hambar, yang tidak menyentuh jiwa kita.
Narasi
doa haruslah sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan resonansi mistis dan
reperkusi religius terhadap nasionalisme dan patriotisme kita sebagai bangsa.
Doa itu di samping manifestasi dari sikap tahu diri dan rendah hati, juga
melambangkan transendensi dari kerja-kerja pengabdian kita. Karena itu, doa
penting dan harus dipentingkan! Nasionalisme dan patriotisme memerlukan
spiritualitas dan religiositas juga. Upacara apel kehormatan dan renungan
suci bisa dikemas sedemikian rupa untuk mengarah ke sana. Percayalah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar