Sabtu, 16 Agustus 2014

Religiusitas Renungan Suci pada Hari Proklamasi

     Religiusitas Renungan Suci pada Hari Proklamasi

Hajriyanto Y Thohari  ;   Wakil Ketua MPR RI
KORAN SINDO, 15 Agustus 2014
                                                


PERAYAAN 17 Agustus di setiap tahun biasanya terdiri atas rangkaian acara dan upacara yang panjang dan sudah menjadi konvensi nasional.

Hari ini Presiden Republik Indonesia menyampaikan pidato kenegaraan (speech to the nation) di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tanggal 16 Agustus pukul 24.00 WIB, tengah malam, upacara apel kehormatan dan renungan suci. Tanggal 17 Agustus pukul 10.00 upacara peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di halaman Istana Merdeka.

Pukul 17.00 upacara penurunan bendera negara sang Merah Putih dan pukul 20.00 resepsi kenegaraan peringatan proklamasi kemerdekaan di Istana Merdeka. Saya ingin menyoroti acara-acara yang kedua dalam rangkaian perayaan 17 Agustus yaitu upacara apel kehormatan dan renungan suci. Demikianlah nama aslinya yang resmi sebagaimana yang tercetak dalam undangan.

Saya berusaha untuk selalu hadir dalam seluruh rangkaian acara perayaan tersebut, termasuk di dalamnya upacara kehormatan dan renungan suci (untuk selanjutnya saya akan menyebutnya ”renungan suci”) tersebut. Sungguh acara tersebut, terakhir inilah, yang selalu menyita pikiran saya sehabis menghadirinya.

Kurang Mistis, Kurang Religius

Setiap pulang dari mengikuti renungan suci pada malam 17 Agustus dini hari di Taman Makam Pahlawan Nasional, Kalibata, saya benar-benar selalu merenungkan acara itu. Merenung bukan hanya pada soal mengapa acara itu berlangsung begitu singkat (tidak sepadan dengan lamanya menunggu waktu dimulai acara atau upacara yang tepat dimulai pukul 24.00 dan juga kedatangan Presiden RI) atau jalannya acara yang terkesan terlalu formal dan militeristis, melainkan juga saya berpikir bahwa acara itu kurang bernuansa sakral, mistis, atau spiritual-religius.

Saya tidak tahu apa yang dirasakan para pejabat tinggi negara lainnya, tetapi yang pasti demikianlah setidaknya yang saya rasakan di dalam hati saya! Acara renungan suci, demikianlah nama resmi acara tersebut sebagaimana yang tertulis dalam surat undangan, mestinya menjadi semacam doa untuk bangsa. Sebagai bangsa yang beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan bahwa kemerdekaan yang diraih dengan susah payah dan dengan pengorbanan jiwa itu pada hakikatnya adalah atas berkat rahmat Tuhan Allah Yang Maha Kuasa.

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ketiga menyatakan bahwa ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Maka itu, sangatlah tepat jika acara renungan suci pada malam peringatan kemerdekaan 17 Agustus dapat disebut sebagai doa untuk bangsa atau prayer for our nation.

Acara renungan ini dipimpin presiden republik Indonesia, diikuti wakil presiden dan para pejabat tinggi negara, panglima TNI/Kapolri lengkap dengan pasukannya, dan dilangsungkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Acara itu dikemas dalam suasana kegelapan lewat tengah malam (midnight) sampai menjelang dini hari, tanpa penerangan kecuali beberapa lilin agar mereka yang bertugas dapat membaca teks ikrar, naskah doa, dan renungan-renungan suci lain.

Tentu pilihan waktu dan tempat tersebut bukanlah suatu truisme belaka yang tanpa disengaja dan tanpa maksud apa pun. Saya yakin dipilihnya waktu seperti itu untuk mendapatkan keheningan dan kesyahduan agar renungan berlangsung hening dan syahdu. Dus, acara itu memang harus hening dan syahdu. Tidak bising dan penuh kebisingan, apalagi hiruk-pikuk. Dalam kaitan ini, pembacaan janji dan ikrar anak bangsa, apalagi doa, harus disampaikan dengan bagus, syahdu, hening, dan syukur, ada sedikit suasana mistis.

Doa: Pertama dan Utama

Dalam suatu kunjungan kerja ke Kabupaten Biak dan Kabupaten Merauke beberapa tahun lalu saya kagum dan belajar banyak pada sebuah acara di sana yang sangat baik dan mulia. Jika di daerahdaerah lain, juga di Jakarta, pembacaan doa itu ditaruh di ujung acara ketika acara akan selesai dan ditutup, di Indonesia bagian timur, terutama di Papua/Papua Barat, Maluku/Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) atau Sulawesi Utara, acara doa itu mengawali setiap resepsi atau pertemuan resmi.

Ini saya rasa merupakan kebiasaan atau tradisi yang sangat baik dan benar. Dalam renungan suci di TMP Kalibata dini hari acara doa bukan hanya ditaruh di belakang di penghujung acara, melainkan juga dibacakan secara kurang syahdu dan mistis. Sayang sekali, doa yang biasanya dibacakan oleh Menteri Agama tersebut terasa tidak dipersiapkan dengan sungguh-sungguh sebagai prayer for our nation yang bagus sehingga secara kejiwaan akan mengena di hati sanubari.

Isi doanya pastilah bagus dan baik, tetapi narasi dan cara penyampaiannya tidak pas, tidak mengena, dan kurang menimbulkan efek mistis dan sakral. Rasa nasionalisme, patriotisme, atau katakanlah cinta bangsa dan Tanah Air memerlukan juga aspek spiritualisme berdasarkan agama. Penulis tidak tahu pasti bagaimana semestinya mengemas acara renungan suci atau prayer for our nation tersebut sehingga menjadi terasa lebih mistis atau sakral. Satu hal yang pasti adalah pembacaan doa menjadi sangat penting sehingga harus dipentingkan.

Begitu pentingnya doa, acara tersebut harus meletakkan doa pada bagian yang pertama dan utama. Saya berpikir dan mengusulkan pembacaan doa dalam acara renungan suci itu haruslah menjadi acara yang pertama dan utama. Doa harus mengawali semua acara peringatan kemerdekaan RI, termasuk di dalamnya acara renungan suci pada malam 17 Agustus itu. Dalam konteks dan perspektif seperti ini pula, bukan hanya acara renungan suci pada malam peringatan 17 Agustus, melainkan ke depan pembacaan doa haruslah dilakukan pada awal setiap acara resmi kenegaraan dan disiapkan dengan sungguh-sungguh dan terbaik.

Ketentuan protokoler perlu direformasi agar acara renungan suci ini tidak ”terlalu” negara. Dimensi yang (mungkin pemilihan kata ini kurang tepat) terlalu militeristis atau terlalu tentara perlu juga dikurangi dengan mengundang pemimpinpemimpin masyarakat. Sekali lagi, buatlah narasi dan untaian doa yang bagus, indah, dan menyentuh. Bukan doa yang kering yang disampaikan dengan datar dan hambar, yang tidak menyentuh jiwa kita.

Narasi doa haruslah sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan resonansi mistis dan reperkusi religius terhadap nasionalisme dan patriotisme kita sebagai bangsa. Doa itu di samping manifestasi dari sikap tahu diri dan rendah hati, juga melambangkan transendensi dari kerja-kerja pengabdian kita. Karena itu, doa penting dan harus dipentingkan! Nasionalisme dan patriotisme memerlukan spiritualitas dan religiositas juga. Upacara apel kehormatan dan renungan suci bisa dikemas sedemikian rupa untuk mengarah ke sana. Percayalah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar