Sabtu, 16 Agustus 2014

Quo Vadis Pertanian Kita?

                                       Quo Vadis Pertanian Kita?

Anonim (Ali Khomsan?)  ;   Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB
KORAN SINDO, 15 Agustus 2014
                                                


Menurut prediksi pakar ekonomi target pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan dan surplus beras 10 juta ton tahun ini semakin sulit terwujud. Menurut sensus Badan Pusat Pertanian, jumlah rumah tangga pertanian kian menyusut drastis.

Kalau pada 2003 jumlah rumah tangga pertanian sekitar 31 juta, pada 2013 tinggal 26 juta. Lahan pertanian juga kian susut akibat konversi lahan. Sektor pertanian dianggap kurang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan. Populasi petani kita lebih banyak didominasi petani gurem dengan pemilikan lahan sangat sempit. Sekitar 14,5 juta rumah tangga petani memiliki lahan kurang dari 0,5 ha. Persentase penduduk miskin terbesar hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian. Presiden baru yang akan dilantik 20 Oktober nanti mempunyai pekerjaan rumah (PR) berat di bidang pertanian.

Banyak produk pertanian impor yang menjejali pasar-pasar di Indonesia menunjukkan bahwa kita sesungguhnya telah kalah sebagai negara agraris. Sebentar lagi akan diimplementasikan pasar bebas ASEAN dan ini akan semakin memperbesar peluang produk pertanian negaranegara lain memasuki Indonesia dengan harga lebih murah dan kualitas lebih baik. Apabila sektor pertanian tidak segera dibenahi, petani Indonesia hanya akan melongo alias tak berkutik dan semakin terempas dalam kehidupan yang semakin sulit karena tidak mampu bersaing.

Pangan adalah soko guru bangsa. Ketidakberdayaan sektor pertanian dalam mencukupi kebutuhan pangan penduduk akan menyebabkan ketergantungan pada impor yang semakin besar. Ketidakmampuan petanipetani Indonesia menghasilkan produk pertanian bermutu menyebabkan daya saing rendah dalam menghadapi produk pertanian Tiongkok, Thailand, dan negara-negara tetangga. Telah banyak dilakukan penelitian dan kajian faktor- faktor yang memengaruhi keterpurukan petani.

Salah satu di antaranya kesulitan pembiayaan usaha tani dan kebutuhan dana tunai untuk keperluan hidup selama masa menunggu penjualan hasil panen. Banyak petani terjebak sistem ijon dan atau utang kepada para tengkulak yang mematok harga pertanian dengan harga rendah. Para petani kini semakin tidak memiliki bargaining position lagi. Pekerja pertanian dan industri memiliki nasib yang berbeda. Industri melaju jauh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian.

Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah. Namun, kalau pertanian kita hanya dijejali dengan petani gurem, sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan. Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai bangsa agraris atau negara maritim ternyata tidak pernah meraih kemakmuran dari dua bidang tersebut. Impor beras dan produkproduk pertanian lainnya masih saja terjadi. Potensi laut kita tidak termanfaatkan secara maksimal karena ketidakmampuan teknologi penangkapan ikan. Akhirnya produk kelautan banyak dicuri nelayan-nelayan luar.

Salah satu teori tentang kelaparan menyebutkan bahwa hunger adalah bencana kemanusiaan yang dapat terjadi bilamana kebijakan pertanian dirumuskan secara tidak tepat. Kebijakan pertanian yang tepat adalah kebijakan yang berpihak petani. Kebijakan pertanian yang keliru akan menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan yang tidak mustahil akan meningkatkan jumlah orang miskin di Indonesia. Kebijakan pengentasan kemiskinan akan mengabur tanpa hasil karena dampak positifnya tertutup oleh dampak negatif kebijakan lain yang tidak tepat.

Kerja keras pemerintah akan tampak nihil karena orang miskin tidak berkurang, tapi justru bertambah. Pertanian seharusnya tidak identik dengan kemiskinan. Sektor pertanian adalah andalan bangsa kita. Kebijakan pertanian pada masa datang diharapkan bisa lebih fokus pada usaha-usaha memperbaiki kesejahteraan para pelaku pertanian dan sekaligus menggapai kedaulatan pangan. Kemiskinan yang mendominasi masyarakat petani harus segera diatasi.

Deklarasi Copenhagen yang dirumuskan dalam UNs World Summit on Social Development menjelaskan fenomena kemiskinan sebagai deprivasi kebutuhan dasar manusia yang tidak hanya menyangkut sandang, pangan, dan papan, tetapi juga akses terhadap pendidikan, fasilitas kesehatan, air bersih, dan informasi. Kemiskinan di Indonesia mungkin merupakan kombinasi beragam kemiskinan yakni kemiskinan subsistens yang dicirikan oleh daya beli rendah, waktu kerja panjang, lingkungan tempat tinggal buruk, dan sulit mendapatkan air bersih.

Masyarakat juga mengalami kemiskinan kultural yaitu keengganan untuk mengentaskan diri dari kemiskinan. Mereka yang mengalami kemiskinan kultural mungkin sudah pasrah dan menerima keadaan apa adanya. Membahas soal kemiskinan tidak bisa terlepas dari standar kebutuhan hidup minimum/layak yang merupakan garis pembatas untuk membedakan orang miskin dan tidak miskin.

Garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia senilai USD1 atau USD2 per kapita per hari memungkinkan bagi setiap negara untuk membandingkan posisinya dengan negara-negara lain. Sebuah penelitian tentang garis kemiskinan telah dilakukan di salah satu kabupaten di Jawa Barat (Nani Sufiani dkk., 2008) dan hasil temuannya cukup menarik. Garis kemiskinan versi penelitian ini adalah Rp457.558 per kapita per bulan (USD1,6 per kapita per hari).

Angka ini lebih besar dibandingkan garis kemiskinan Badan Pusat Statistik dan berada di antara garis kemiskinan Bank Dunia sebesar USD1 dan USD2 per kapita per hari. Apa pun garis kemiskinan yang dipakai, Indonesia telanjur memiliki jumlah penduduk miskin sangat banyak. Sebab itu, presiden yang akan datang harus mampu mengangkat nasib dan memberdayakan petani kita untuk segera lepas dari jerat-jerat kemiskinan.

Jangan biarkan petani kita mogok sebagaimana yang dilakukan para buruh industri karena pemogokan petani akan mengakibatkan krisis pangan yang tiada berkesudahan.

,"��-eP' �)�fareast-font-family:"Times New Roman";color:black'> 

Ini saya rasa merupakan kebiasaan atau tradisi yang sangat baik dan benar. Dalam renungan suci di TMP Kalibata dini hari acara doa bukan hanya ditaruh di belakang di penghujung acara, melainkan juga dibacakan secara kurang syahdu dan mistis. Sayang sekali, doa yang biasanya dibacakan oleh Menteri Agama tersebut terasa tidak dipersiapkan dengan sungguh-sungguh sebagai prayer for our nation yang bagus sehingga secara kejiwaan akan mengena di hati sanubari.

Isi doanya pastilah bagus dan baik, tetapi narasi dan cara penyampaiannya tidak pas, tidak mengena, dan kurang menimbulkan efek mistis dan sakral. Rasa nasionalisme, patriotisme, atau katakanlah cinta bangsa dan Tanah Air memerlukan juga aspek spiritualisme berdasarkan agama. Penulis tidak tahu pasti bagaimana semestinya mengemas acara renungan suci atau prayer for our nation tersebut sehingga menjadi terasa lebih mistis atau sakral. Satu hal yang pasti adalah pembacaan doa menjadi sangat penting sehingga harus dipentingkan.

Begitu pentingnya doa, acara tersebut harus meletakkan doa pada bagian yang pertama dan utama. Saya berpikir dan mengusulkan pembacaan doa dalam acara renungan suci itu haruslah menjadi acara yang pertama dan utama. Doa harus mengawali semua acara peringatan kemerdekaan RI, termasuk di dalamnya acara renungan suci pada malam 17 Agustus itu. Dalam konteks dan perspektif seperti ini pula, bukan hanya acara renungan suci pada malam peringatan 17 Agustus, melainkan ke depan pembacaan doa haruslah dilakukan pada awal setiap acara resmi kenegaraan dan disiapkan dengan sungguh-sungguh dan terbaik.

Ketentuan protokoler perlu direformasi agar acara renungan suci ini tidak ”terlalu” negara. Dimensi yang (mungkin pemilihan kata ini kurang tepat) terlalu militeristis atau terlalu tentara perlu juga dikurangi dengan mengundang pemimpinpemimpin masyarakat. Sekali lagi, buatlah narasi dan untaian doa yang bagus, indah, dan menyentuh. Bukan doa yang kering yang disampaikan dengan datar dan hambar, yang tidak menyentuh jiwa kita.

Narasi doa haruslah sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan resonansi mistis dan reperkusi religius terhadap nasionalisme dan patriotisme kita sebagai bangsa. Doa itu di samping manifestasi dari sikap tahu diri dan rendah hati, juga melambangkan transendensi dari kerja-kerja pengabdian kita. Karena itu, doa penting dan harus dipentingkan! Nasionalisme dan patriotisme memerlukan spiritualitas dan religiositas juga. Upacara apel kehormatan dan renungan suci bisa dikemas sedemikian rupa untuk mengarah ke sana. Percayalah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar