Quo
Vadis Pertanian Kita?
Anonim (Ali Khomsan?) ;
Guru Besar Fakultas
Ekologi Manusia IPB
|
KORAN
SINDO, 15 Agustus 2014
Menurut
prediksi pakar ekonomi target pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan
dan surplus beras 10 juta ton tahun ini semakin sulit terwujud. Menurut
sensus Badan Pusat Pertanian, jumlah rumah tangga pertanian kian menyusut
drastis.
Kalau
pada 2003 jumlah rumah tangga pertanian sekitar 31 juta, pada 2013 tinggal 26
juta. Lahan pertanian juga kian susut akibat konversi lahan. Sektor pertanian
dianggap kurang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan. Populasi petani
kita lebih banyak didominasi petani gurem dengan pemilikan lahan sangat
sempit. Sekitar 14,5 juta rumah tangga petani memiliki lahan kurang dari 0,5
ha. Persentase penduduk miskin terbesar hampir di seluruh kabupaten/provinsi
adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian. Presiden baru yang akan
dilantik 20 Oktober nanti mempunyai pekerjaan rumah (PR) berat di bidang
pertanian.
Banyak
produk pertanian impor yang menjejali pasar-pasar di Indonesia menunjukkan
bahwa kita sesungguhnya telah kalah sebagai negara agraris. Sebentar lagi akan
diimplementasikan pasar bebas ASEAN dan ini akan semakin memperbesar peluang
produk pertanian negaranegara lain memasuki Indonesia dengan harga lebih
murah dan kualitas lebih baik. Apabila sektor pertanian tidak segera
dibenahi, petani Indonesia hanya akan melongo alias tak berkutik dan semakin
terempas dalam kehidupan yang semakin sulit karena tidak mampu bersaing.
Pangan
adalah soko guru bangsa. Ketidakberdayaan sektor pertanian dalam mencukupi
kebutuhan pangan penduduk akan menyebabkan ketergantungan pada impor yang
semakin besar. Ketidakmampuan petanipetani Indonesia menghasilkan produk
pertanian bermutu menyebabkan daya saing rendah dalam menghadapi produk
pertanian Tiongkok, Thailand, dan negara-negara tetangga. Telah banyak
dilakukan penelitian dan kajian faktor- faktor yang memengaruhi keterpurukan
petani.
Salah
satu di antaranya kesulitan pembiayaan usaha tani dan kebutuhan dana tunai
untuk keperluan hidup selama masa menunggu penjualan hasil panen. Banyak
petani terjebak sistem ijon dan atau utang kepada para tengkulak yang mematok
harga pertanian dengan harga rendah. Para petani kini semakin tidak memiliki bargaining position lagi. Pekerja
pertanian dan industri memiliki nasib yang berbeda. Industri melaju jauh
lebih cepat dibandingkan sektor pertanian.
Serapan
tenaga kerja pertanian memang bertambah. Namun, kalau pertanian kita hanya
dijejali dengan petani gurem, sektor pertanian akan menjadi penyumbang
kemiskinan yang signifikan. Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai
bangsa agraris atau negara maritim ternyata tidak pernah meraih kemakmuran
dari dua bidang tersebut. Impor beras dan produkproduk pertanian lainnya
masih saja terjadi. Potensi laut kita tidak termanfaatkan secara maksimal
karena ketidakmampuan teknologi penangkapan ikan. Akhirnya produk kelautan
banyak dicuri nelayan-nelayan luar.
Salah
satu teori tentang kelaparan menyebutkan bahwa hunger adalah bencana
kemanusiaan yang dapat terjadi bilamana kebijakan pertanian dirumuskan secara
tidak tepat. Kebijakan pertanian yang tepat adalah kebijakan yang berpihak
petani. Kebijakan pertanian yang keliru akan menyebabkan penderitaan dan
kesengsaraan yang tidak mustahil akan meningkatkan jumlah orang miskin di
Indonesia. Kebijakan pengentasan kemiskinan akan mengabur tanpa hasil karena
dampak positifnya tertutup oleh dampak negatif kebijakan lain yang tidak
tepat.
Kerja
keras pemerintah akan tampak nihil karena orang miskin tidak berkurang, tapi
justru bertambah. Pertanian seharusnya tidak identik dengan kemiskinan.
Sektor pertanian adalah andalan bangsa kita. Kebijakan pertanian pada masa
datang diharapkan bisa lebih fokus pada usaha-usaha memperbaiki kesejahteraan
para pelaku pertanian dan sekaligus menggapai kedaulatan pangan. Kemiskinan
yang mendominasi masyarakat petani harus segera diatasi.
Deklarasi
Copenhagen yang dirumuskan dalam UNs
World Summit on Social Development menjelaskan fenomena kemiskinan
sebagai deprivasi kebutuhan dasar manusia yang tidak hanya menyangkut
sandang, pangan, dan papan, tetapi juga akses terhadap pendidikan, fasilitas
kesehatan, air bersih, dan informasi. Kemiskinan di Indonesia mungkin
merupakan kombinasi beragam kemiskinan yakni kemiskinan subsistens yang
dicirikan oleh daya beli rendah, waktu kerja panjang, lingkungan tempat
tinggal buruk, dan sulit mendapatkan air bersih.
Masyarakat
juga mengalami kemiskinan kultural yaitu keengganan untuk mengentaskan diri
dari kemiskinan. Mereka yang mengalami kemiskinan kultural mungkin sudah
pasrah dan menerima keadaan apa adanya. Membahas soal kemiskinan tidak bisa
terlepas dari standar kebutuhan hidup minimum/layak yang merupakan garis
pembatas untuk membedakan orang miskin dan tidak miskin.
Garis
kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia senilai USD1 atau USD2 per kapita per
hari memungkinkan bagi setiap negara untuk membandingkan posisinya dengan
negara-negara lain. Sebuah penelitian tentang garis kemiskinan telah
dilakukan di salah satu kabupaten di Jawa Barat (Nani Sufiani dkk., 2008) dan hasil temuannya cukup menarik. Garis
kemiskinan versi penelitian ini adalah Rp457.558 per kapita per bulan (USD1,6
per kapita per hari).
Angka
ini lebih besar dibandingkan garis kemiskinan Badan Pusat Statistik dan
berada di antara garis kemiskinan Bank Dunia sebesar USD1 dan USD2 per kapita
per hari. Apa pun garis kemiskinan yang dipakai, Indonesia telanjur memiliki
jumlah penduduk miskin sangat banyak. Sebab itu, presiden yang akan datang
harus mampu mengangkat nasib dan memberdayakan petani kita untuk segera lepas
dari jerat-jerat kemiskinan.
Jangan
biarkan petani kita mogok sebagaimana yang dilakukan para buruh industri
karena pemogokan petani akan mengakibatkan krisis pangan yang tiada
berkesudahan. ●
|
Ini
saya rasa merupakan kebiasaan atau tradisi yang sangat baik dan benar. Dalam
renungan suci di TMP Kalibata dini hari acara doa bukan hanya ditaruh di
belakang di penghujung acara, melainkan juga dibacakan secara kurang syahdu
dan mistis. Sayang sekali, doa yang biasanya dibacakan oleh Menteri Agama
tersebut terasa tidak dipersiapkan dengan sungguh-sungguh sebagai prayer for our nation yang bagus
sehingga secara kejiwaan akan mengena di hati sanubari.
Isi
doanya pastilah bagus dan baik, tetapi narasi dan cara penyampaiannya tidak
pas, tidak mengena, dan kurang menimbulkan efek mistis dan sakral. Rasa
nasionalisme, patriotisme, atau katakanlah cinta bangsa dan Tanah Air
memerlukan juga aspek spiritualisme berdasarkan agama. Penulis tidak tahu
pasti bagaimana semestinya mengemas acara renungan suci atau prayer for our nation tersebut
sehingga menjadi terasa lebih mistis atau sakral. Satu hal yang pasti adalah
pembacaan doa menjadi sangat penting sehingga harus dipentingkan.
Begitu
pentingnya doa, acara tersebut harus meletakkan doa pada bagian yang pertama
dan utama. Saya berpikir dan mengusulkan pembacaan doa dalam acara renungan
suci itu haruslah menjadi acara yang pertama dan utama. Doa harus mengawali
semua acara peringatan kemerdekaan RI, termasuk di dalamnya acara renungan
suci pada malam 17 Agustus itu. Dalam konteks dan perspektif seperti ini
pula, bukan hanya acara renungan suci pada malam peringatan 17 Agustus,
melainkan ke depan pembacaan doa haruslah dilakukan pada awal setiap acara
resmi kenegaraan dan disiapkan dengan sungguh-sungguh dan terbaik.
Ketentuan
protokoler perlu direformasi agar acara renungan suci ini tidak ”terlalu”
negara. Dimensi yang (mungkin pemilihan kata ini kurang tepat) terlalu
militeristis atau terlalu tentara perlu juga dikurangi dengan mengundang
pemimpinpemimpin masyarakat. Sekali lagi, buatlah narasi dan untaian doa yang
bagus, indah, dan menyentuh. Bukan doa yang kering yang disampaikan dengan
datar dan hambar, yang tidak menyentuh jiwa kita.
Narasi
doa haruslah sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan resonansi mistis dan
reperkusi religius terhadap nasionalisme dan patriotisme kita sebagai bangsa.
Doa itu di samping manifestasi dari sikap tahu diri dan rendah hati, juga
melambangkan transendensi dari kerja-kerja pengabdian kita. Karena itu, doa
penting dan harus dipentingkan! Nasionalisme dan patriotisme memerlukan
spiritualitas dan religiositas juga. Upacara apel kehormatan dan renungan
suci bisa dikemas sedemikian rupa untuk mengarah ke sana. Percayalah! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar