Sabtu, 23 Agustus 2014

RAPBN 2015 dan Pelambatan Ekonomi

                    RAPBN 2015 dan Pelambatan Ekonomi

Aunur Rofiq  ;   Ketua Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan DPP PPP
KORAN JAKARTA, 22 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Tanggal 15 Agustus yang lalu, Presiden SBY telah menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2015. RAPBN 2015 disusun dengan asumsi makro yang optimistis di tengah kondisi ekonomi yang melemah. Di antaranya, pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,6 persen, infl asi 4,4 persen, nilai tukar rupiah 11.900 per dollar AS.

Kemudian, suku bunga SPN 3 bulan 6,2 persen, harga minyak mentah 105 dollar AS barel, lifting minyak mentah 845 ribu barel per hari, serta lifting gas bumi 1.248 ribu barel per hari. Pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, meski kondisi global masih belum menentu sehingga dikhawatirkan dapat memengaruhi investasi dan pertumbuhan. Demikian pula jika berpijak dari kondisi perekonomian saat ini, indikator makro justru sedang berada dalam tekanan yang dikhawatirkan secara berkelanjutan berdampak terhadap makro ekonomi 2015. Pertumbuhan pada triwulan II-2014 menurun pada 5,12 persen. Pertumbuhan tahun ini, diperkirakan hanya sekitar 5,2 persen, lebih rendah dari target pemerintah.

Seluruh komponen seperti konsumsi, pengeluaran pemerintah ekspor, dan investasi turun dibanding triwulan yang sama tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi dunia masih lemah. Ekonomi Tiongkok masih tumbuh 7,5 persen dan investasi asing ke Negara Tirai Bambu itu terus menurun. Pertumbuhan Beijing tercatat masih kuat ketimbang negara lain.

Namun, tingkat pertumbuhan satu digit yang tercatat saat ini jauh dari pencapaian 2007 sebesar 14,2 persen. Tiongkok diprediksi menyumbang 13 persen dari total aktivitas ekonomi global, lebih tinggi 5 persen pada 2006. Jadi, pertumbuhannya melamban dan berdampak penurunan pada negara lain, termasuk Indonesia. Beijing merupakan salah satu ekonomi dengan permintaan komoditas terbesar selama 10 tahun terakhir.

Ada indikasi perekonomian AS makin membaik sehingga akan memangkas kebijakan suku bunga rendah yang telah dilakukan selama ini. Dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, ancaman modal keluar sehingga BI terpaksa harus menaikkan suku bunga untuk mengerem laju modal keluar. Jika ini terjadi, modal keluar akan meningkat dan likuiditas perbankan semakin ketat.

Pelemahan ekonomi sekarang tidak terlepas dari tingginya suku bunga yang menurunkan pertumbuhan kredit. Suku bunga naik karena BI berupaya menurunkan defi sit transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar rupiah. Kondisi ini menyebabkan BI belum berencana menurunkan suku bunga sehingga tidak ada stimulasi mengatasi pelemahan ekonomi. Salah satu harapan penting, stimulasi pergerakan ekonomi melalui pengeluaran pemerintah, anggaran negara.

Tapi, ini tampaknya juga sulit diharapkan sebab dari belanja negara dalam RAPBN 2015 sebesar 2.019 triliun, sejumlah 1.379 triliun menjadi porsi belanja pemerintah pusat, sementara belanja daerah atau transfer daerah, termasuk dana desa, mencapai 639,9 triliun. Dari belanja pemerintah pusat tersebut, sebagian besar masih untuk menalangi beban subsidi dan pembayaran bunga utang. Beban subsidi mencapai 433 triliun dan pembayaran bunga utang 154 triliun.

Beban subsidi terbesar untuk BBM, BBN, dan LPG mencapai 246,49 triliun. Subsidi listrik mencapai 72,42 triliun. Dengan demikian, anggaran belanja negara untuk pembangunan tinggal tersedia sekitar 39 persen. Ruang fi skal yang terbatas membuat pemerintah tidak memiliki fl eksibilitas dalam mengelola anggaran guna mengatasi berbagai masalah pembangunan, sementara kontribusi konsumsi dalam mendorong pertumbuhan sedikit terhambat dengan tingkat suku bunga dan upaya BI mengerem impor.

Pemerintah Baru

Begitu pula dengan nilai ekspor Indonesia masih tertekan akibat kebijakan hilirisasi mineral tambang. Di sisi lain, impor masih kencang guna memenuhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. RAPBN 2015 akan dilaksanakan pemerintahan baru hasil Pemilu 2014. Pemerintahan baru akan menghadapi kondisi ekonomi cukup berat, di antaranya pertumbuhan menurun, suku bunga tidak dapat diturunkan, bahkan kemungkinan naik lagi, defi sit transaksi berjalan besar, subsidi BBM tinggi, dan penerimaan pajak naik hanya sedikit.

Pelemahan ekonomi ini akan diikuti penurunan nilai tukar rupiah. Secara umum melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar dipengaruhi banyak hal. Salah satunya mulai pulihnya ekonomi Eropa dan Amerika Serikat sehingga banyak investor yang kembali berinvestasi ke negara-negara maju. Karena itulah pelemahan mata uang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga negara berkembang lain seperti India.

Nilai tukar rupee juga terus tertekan sepanjang triwulan akhir 2013 hingga awal 2014. Di sisi lain, upaya rebalancing pertumbuhan Tiongkok juga belum menunjukkan hasil menggembirakan. Pertumbuhan produk domestik bruto Beijing tahun 2014 ditargetkan berada pada level 7,5 persen atau lebih rendah dari target awal 7,7 persen.

Pelambatan ini dipandang sebagian kalangan sebagai imbas dari perubahan strategi pertumbuhan tirai bambu sehingga terjadi beberapa penyesuaian yang berdampak pada laju ekonomi domestik. Ruang fi skal yang terbatas membuat pemerintah tidak memiliki fl eksibilitas dalam mengelola anggaran untuk mengatasi berbagai masalah dalam pembangunan.

Meski demikian, pemerintah memiliki potensi yang cukup besar untuk menggali potensi penerimaan negara menjadi lebih besar. Dalam struktur RAPBN 2015, pendapatan negara diperkirakan mencapai 1.762,29 triliun atau naik 7,8 persen dibanding APBNP 2014. Kontribusi terbesar masih disumbang perpajakan 1.370,827 triliun atau naik 10 persen dari APBNP 2014, sementara penerimaan negara bukan pajak berkontribusi 388 triliun atau 0,3 persen dari APBNP 2014 Potensi penerimaan masih bisa ditingkatkan karena tax ratio dalam RAPBN 2015 masih sekitar 12,32 persen.

Artinya pemerintah dapat menggali potensi penerimaan untuk pembiayaan pembangunan tanpa mengganggu kelancaran roda ekonomi. Pemerintah bisa saja mengalokasikan pembiayaan modal untuk infrastruktur dengan mengurangi subsidi BBM, namun akan menghadapi tekanan infl asi dan publik. Pemerintah memiliki ruang guna meningkatkan pergerakan ekonomi melalui perbaikan kondisi investasi.

BI menilai kepercayaan investor asing masih kuat terhadap prospek ekonomi Indonesia. Ini terlihat dari .peningkatan surplus transaksi modal dan fi nansial yang pada triwulan II-2014 mencapai 14,5 miliar dollar AS. Ini meningkat signifi kan dari 7,6 miliar dollar AS pada triwulan pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar