RAPBN
2015 dan Pelambatan Ekonomi
Aunur Rofiq ;
Ketua Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan DPP PPP
|
KORAN
JAKARTA, 22 Agustus 2014
Tanggal 15 Agustus yang lalu, Presiden SBY telah menyampaikan
Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)
tahun 2015. RAPBN 2015 disusun dengan asumsi makro yang optimistis di tengah
kondisi ekonomi yang melemah. Di antaranya, pertumbuhan ekonomi diperkirakan
5,6 persen, infl asi 4,4 persen, nilai tukar rupiah 11.900 per dollar AS.
Kemudian, suku bunga SPN 3 bulan 6,2 persen, harga minyak mentah
105 dollar AS barel, lifting minyak mentah 845 ribu barel per hari, serta
lifting gas bumi 1.248 ribu barel per hari. Pemerintah mematok target
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, meski kondisi global masih belum menentu
sehingga dikhawatirkan dapat memengaruhi investasi dan pertumbuhan. Demikian
pula jika berpijak dari kondisi perekonomian saat ini, indikator makro justru
sedang berada dalam tekanan yang dikhawatirkan secara berkelanjutan berdampak
terhadap makro ekonomi 2015. Pertumbuhan pada triwulan II-2014 menurun pada
5,12 persen. Pertumbuhan tahun ini, diperkirakan hanya sekitar 5,2 persen,
lebih rendah dari target pemerintah.
Seluruh komponen seperti konsumsi, pengeluaran pemerintah
ekspor, dan investasi turun dibanding triwulan yang sama tahun lalu.
Pertumbuhan ekonomi dunia masih lemah. Ekonomi Tiongkok masih tumbuh 7,5
persen dan investasi asing ke Negara Tirai Bambu itu terus menurun.
Pertumbuhan Beijing tercatat masih kuat ketimbang negara lain.
Namun, tingkat pertumbuhan satu digit yang tercatat saat ini
jauh dari pencapaian 2007 sebesar 14,2 persen. Tiongkok diprediksi menyumbang
13 persen dari total aktivitas ekonomi global, lebih tinggi 5 persen pada
2006. Jadi, pertumbuhannya melamban dan berdampak penurunan pada negara lain,
termasuk Indonesia. Beijing merupakan salah satu ekonomi dengan permintaan
komoditas terbesar selama 10 tahun terakhir.
Ada indikasi perekonomian AS makin membaik sehingga akan
memangkas kebijakan suku bunga rendah yang telah dilakukan selama ini.
Dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, ancaman modal keluar sehingga BI
terpaksa harus menaikkan suku bunga untuk mengerem laju modal keluar. Jika ini
terjadi, modal keluar akan meningkat dan likuiditas perbankan semakin ketat.
Pelemahan ekonomi sekarang tidak terlepas dari tingginya suku
bunga yang menurunkan pertumbuhan kredit. Suku bunga naik karena BI berupaya
menurunkan defi sit transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar rupiah.
Kondisi ini menyebabkan BI belum berencana menurunkan suku bunga sehingga
tidak ada stimulasi mengatasi pelemahan ekonomi. Salah satu harapan penting,
stimulasi pergerakan ekonomi melalui pengeluaran pemerintah, anggaran negara.
Tapi, ini tampaknya juga sulit diharapkan sebab dari belanja
negara dalam RAPBN 2015 sebesar 2.019 triliun, sejumlah 1.379 triliun menjadi
porsi belanja pemerintah pusat, sementara belanja daerah atau transfer
daerah, termasuk dana desa, mencapai 639,9 triliun. Dari belanja pemerintah
pusat tersebut, sebagian besar masih untuk menalangi beban subsidi dan
pembayaran bunga utang. Beban subsidi mencapai 433 triliun dan pembayaran
bunga utang 154 triliun.
Beban subsidi terbesar untuk BBM, BBN, dan LPG mencapai 246,49
triliun. Subsidi listrik mencapai 72,42 triliun. Dengan demikian, anggaran
belanja negara untuk pembangunan tinggal tersedia sekitar 39 persen. Ruang fi
skal yang terbatas membuat pemerintah tidak memiliki fl eksibilitas dalam
mengelola anggaran guna mengatasi berbagai masalah pembangunan, sementara
kontribusi konsumsi dalam mendorong pertumbuhan sedikit terhambat dengan
tingkat suku bunga dan upaya BI mengerem impor.
Pemerintah Baru
Begitu pula dengan nilai ekspor Indonesia masih tertekan akibat
kebijakan hilirisasi mineral tambang. Di sisi lain, impor masih kencang guna
memenuhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. RAPBN 2015 akan dilaksanakan
pemerintahan baru hasil Pemilu 2014. Pemerintahan baru akan menghadapi
kondisi ekonomi cukup berat, di antaranya pertumbuhan menurun, suku bunga
tidak dapat diturunkan, bahkan kemungkinan naik lagi, defi sit transaksi
berjalan besar, subsidi BBM tinggi, dan penerimaan pajak naik hanya sedikit.
Pelemahan ekonomi ini akan diikuti penurunan nilai tukar rupiah.
Secara umum melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar dipengaruhi banyak
hal. Salah satunya mulai pulihnya ekonomi Eropa dan Amerika Serikat sehingga
banyak investor yang kembali berinvestasi ke negara-negara maju. Karena
itulah pelemahan mata uang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga
negara berkembang lain seperti India.
Nilai tukar rupee juga terus tertekan sepanjang triwulan akhir
2013 hingga awal 2014. Di sisi lain, upaya rebalancing pertumbuhan Tiongkok
juga belum menunjukkan hasil menggembirakan. Pertumbuhan produk domestik
bruto Beijing tahun 2014 ditargetkan berada pada level 7,5 persen atau lebih
rendah dari target awal 7,7 persen.
Pelambatan ini dipandang sebagian kalangan sebagai imbas dari
perubahan strategi pertumbuhan tirai bambu sehingga terjadi beberapa
penyesuaian yang berdampak pada laju ekonomi domestik. Ruang fi skal yang
terbatas membuat pemerintah tidak memiliki fl eksibilitas dalam mengelola
anggaran untuk mengatasi berbagai masalah dalam pembangunan.
Meski demikian, pemerintah memiliki potensi yang cukup besar
untuk menggali potensi penerimaan negara menjadi lebih besar. Dalam struktur
RAPBN 2015, pendapatan negara diperkirakan mencapai 1.762,29 triliun atau
naik 7,8 persen dibanding APBNP 2014. Kontribusi terbesar masih disumbang
perpajakan 1.370,827 triliun atau naik 10 persen dari APBNP 2014, sementara
penerimaan negara bukan pajak berkontribusi 388 triliun atau 0,3 persen dari
APBNP 2014 Potensi penerimaan masih bisa ditingkatkan karena tax ratio dalam
RAPBN 2015 masih sekitar 12,32 persen.
Artinya pemerintah dapat menggali potensi penerimaan untuk
pembiayaan pembangunan tanpa mengganggu kelancaran roda ekonomi. Pemerintah
bisa saja mengalokasikan pembiayaan modal untuk infrastruktur dengan
mengurangi subsidi BBM, namun akan menghadapi tekanan infl asi dan publik.
Pemerintah memiliki ruang guna meningkatkan pergerakan ekonomi melalui
perbaikan kondisi investasi.
BI menilai kepercayaan investor asing masih kuat terhadap
prospek ekonomi Indonesia. Ini terlihat dari .peningkatan surplus transaksi
modal dan fi nansial yang pada triwulan II-2014 mencapai 14,5 miliar dollar
AS. Ini meningkat signifi kan dari 7,6 miliar dollar AS pada triwulan
pertama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar