Agenda
Prioritas Bidang Pers
Agus Sudibyo ;
Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 22 Agustus 2014
Perkembangan kebebasan pers di Indonesia sesungguhnya mendapat banyak
pengakuan dari dunia internasional. Indonesia dianggap berhasil melakukan
transisi demokrasi dan melembagakan kebebasan pers. Pelembagaan kebebasan
pers di Indonesia bahkan dijadikan model bagi negara-negara lain, seperti
Malaysia, Myanmar, dan Timor Leste. Namun ada satu masalah yang membuat
indeks kebebasan pers Indonesia tidak kunjung meningkat, bahkan beberapa kali
menurun. Masalah tersebut adalah tingginya angka kekerasan terhadap wartawan,
sebagaimana selalu mewarnai laporan akhir tahun asosiasi jurnalis dan Dewan
Pers.
Pemerintah yang baru harus mengambil langkah konkret untuk
mengatasi permasalahan ini. Apalagi fakta menunjukkan pelaku kekerasan
terhadap wartawan umumnya adalah kalangan pemerintah dan aparat penegak
hukum. Yang paling dibutuhkan dalam konteks ini adalah penegakan hukum secara
tegas dan konsekuen. Para pelaku kekerasan harus diberi hukuman yang setimpal
dan diberi efek jera. Harus ada penyelesaian yang jelas secara hukum ataupun
politis atas kasus pembunuhan Udin, wartawan Bernas Yogyakarta. Kasus ini
sudah terlalu lama mengambang. Sudah lima presiden tidak berhasil
menyelesaikannya.
Para pejabat pemerintah dan penegak hukum juga harus dididik
dalam hal fungsi-fungsi pers serta mekanisme penyelesaian sengketa dengan
pers. Mereka perlu diajari bagaimana menyelesaikan masalah dengan media atau
wartawan, bagaimana menghindari tindakan main hakim sendiri kepada wartawan,
bagaimana menghadapi wartawan abal-abal, dan seterusnya. Upaya-upaya untuk
melakukan kampanye media literasi di kalangan badan publik harus menjadi
prioritas pemerintah.
Selanjutnya, presiden yang baru harus memilih Menteri Komunikasi
dan Informasi yang menguasai persoalan dan relatif bebas kepentingan politik.
Jika Menkominfo masih dipilih dengan pertimbangan bagi-bagi jabatan politis
dalam koalisi partai politik pendukung pemerintahan, kinerjanya akan tetap
mengecewakan. Mereka suka membuat kontroversi sendiri, gamang dalam mengambil
tindakan saat situasi genting, dan sering menunjukkan gelagat kepentingan
politik tertentu saat membuat keputusan atau pernyataan publik. Persoalan
pers, penyiaran, serta teknologi informasi dan media sosial sangat menentukan
ke depan. Karena itu, dibutuhkan menteri yang benar-benar mumpuni,
profesional, dan visioner.
Untuk meningkatkan profesionalisme dan etika pers ataupun
penyiaran, pemerintah juga perlu memperkuat kedudukan Dewan Pers dan Komisi
Penyiaran Indonesia. Kedua lembaga ini harus menjadi "wasit"
sekaligus pembuat kebijakan dalam bidang pers dan penyiaran. KPI harus dibuat
semakin independen dari intervensi industri dan pemerintah. Fungsi KPI
sebagai regulator bidang penyiaran harus dipulihkan. Pada sisi lain, Dewan
Pers perlu diberi daya dukung administrasi, kelembagaan, dan sumber daya
manusia yang memadai agar dapat meningkatkan kinerjanya sebagai lembaga
pembinaan profesionalisme, etika media, serta lembaga penyelesaian sengketa
pers.
Di sisi lain, TVRI dan RRI harus diselamatkan kedudukannya
sebagai lembaga penyiaran publik. Berbeda dengan RRI yang kondisinya relatif
baik, kondisi TVRI saat ini sangat memprihatinkan. TVRI berjalan di tempat,
bahkan dalam beberapa hal mengalami kemunduran akibat konflik yang tak
kunjung padam. Tarik-menarik kepentingan politik antara unsur-unsur DPR,
pemerintah, dan kalangan internal TVRI bahkan belakangan semakin kusut.
Masalah ini bagaimanapun harus diselesaikan. Namun penyelesaiannya jelas
bukan dengan cara mengembalikan kedudukan TVRI sebagai lembaga corong
pemerintah, tapi mengembalikan khitah TVRI sebagai lembaga penyiaran publik. Presiden
yang baru perlu memahami persoalan itu.
Jika lima tahun ke depan dilakukan amendemen terhadap UU Pers,
harus dipastikan amendemen ini memperkuat pelembagaan kebebasan pers, bukan
sebaliknya. UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 masih mengandung beberapa kekurangan
sehingga gagasan amendemen menjadi relevan. Namun, fakta juga menunjukkan,
belakangan ini sering terjadi amendemen sebuah undang-undang yang tujuannya
baik, tapi justru berakhir dengan keburukan. Undang-undang baru hasil
amendemen mengandung substansi-substansi yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi, perlindungan HAM, kebebasan berpendapat, atau
keterbukaan informasi.
Amendemen UU Pers yang menganulir prinsip-prinsip kebebasan pers
hanya akan menghadapkan pemerintah dan DPR pada hubungan yang antagonistik
dengan komunitas pers nasional. Amendemen itu juga akan membuat buruk citra
Indonesia di mata dunia internasional. Pemerintah yang baru harus menghindari
amendemen semacam ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar