ISIS
yang Tidak Istimewa
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Agustus 2014
MENGAPA kita mengkhawatirkan
ISIS? Sebagai sebuah fenomena sosial-keagamaan, kita memang patut cemas
karena potensi kekerasan di Indonesia semakin meningkat. Beragam wajah
kekerasan, mulai aksi bom bunuh diri, terorisme, radikalisme, tawuran
antarwarga, tawuran anak sekolah, hingga kekerasan seksual terhadap anak
seperti menjadi bagian yang tak pernah sunyi dari kehidupan keseharian kita.
Mengapa fenomena kekerasan berlabel agama seperti menjadi sesuatu yang given
bagi bangsa ini? Benarkah gejala tumbuhnya dukungan terhadap Islamic State of Iraq and Syam/Syria
(ISIS) merupakan genuine Islam
Indonesia?
Jika menengok genealogi
kebangsaan kita, fakta kekerasan berlandaskan sentimen keagamaan dan suku
bangsa seharusnya tak terjadi di Indonesia. Salah satu tokoh bangsa yang
menjadi idiom paham kebangsaan anak bangsa ialah sosok Haji Oemar Said
Tjokroaminoto, seorang pelaku sejarah yang menginginkan terbentuknya kesatuan
kebangsaan dan keagamaan dalam wadah kesatuan hati nurani setiap rakyat
Indonesia. Lewat perjuangan Tjokroaminoto dengan Sarekat Islam, Indonesia
kemudian melahirkan tokoh-tokoh lainnya yang progresif dan andal, di
antaranya Soekarno, Semaun, dan Kartosoewirjo.
Interaksi Tjokroaminoto dengan
Soekarno, Semaun, dan Kartosoewirjo seolah menjadi garis linier kesejarahan
Indonesia hingga saat ini. Laksana sebuah takdir, untuk tak menyebutnya
kutukan, Indonesia seolah tak bisa keluar dari impitan dan godaan sayap kiri
(left wing) yang diwakili Semaun
dengan sosialisnya, sayap tengah (middle
wing) oleh Soekarno dengan nasionalismenya, serta sayap kanan (right wing) oleh Kartosoewirjo dengan
islamismenya. Tiga warisan itulah yang terus-menerus bertikai dalam peta
politik Indonesia yang katanya demokratis, tetapi terkadang lalai dalam
mengawal elan dasar kesatuan kebangsaan dan keagamaan yang dirumuskan dengan
sangat elegan dalam Pancasila.
Pancasila merupakan jalan
tengah antara kiri, kanan, dan tengah. Semua kepentingan etnik, budaya, dan
agama terangkum dengan baiknya dalam rumusan sila-silanya. Mengapa harus
Pancasila? Seperti kata Supomo, Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam,
tetapi menjadi negara yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan
juga oleh agama Islam. Meskipun alasan Supomo diterima banyak nasionalis
Islam waktu itu, perdebatan tentang hal tersebut muncul kembali pada
1950-1959 dan setelah lengsernya Presiden Soeharto serta munculnya reformasi
pada 1998 sampai sekarang, Pancasila seperti tak bergaung lagi.
Integritas kebangsaan
Jika hari ini masih ada
sekelompok masyarakat yang ragu dengan Pancasila, jelas orang atau kelompok
tersebut sedang hidup di ruang hampa atau bahkan kedap suara. Padahal, dari
perjalanan sejarah bangsa, jelas sekali Pancasila merupakan ikatan kesatuan
kebangsaan dan keagamaan masyarakat Indonesia karena Pancasila telah
memperlihatkan kemampuan integratif yang luar biasa. Pancasila bukan saja
memancarkan integrasi kebangsaan dari lapisanlapisan sosial, melainkan juga
integratif kesejarahan antara masa lampau, kini, dan akan datang dan sesama
umat manusia serta makhluk dengan al-Khalik. Selain itu, Pancasila merupakan
pantulan kepribadian kita bersama karena dia memberikan corak atau ciri khas
kepada bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain.
Fenomena ISIS yang sekarang
muncul sebenarnya sudah tergambar dari beberapa penelitian tentang maraknya
isu radikalisme di kalangan anak muda kita. Dari hasil riset Lembaga Kajian
Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada 2011-2012 ditemukan, sebanyak 25,8% siswa
kita menganggap Pancasila tidak lagi relevan sebagai ideologi negara. Dalam
kondisi semacam itu, survei LaKIP juga berusaha menggali, kira-kira sistem
demokrasi atau sistem penyelenggaraan tata negara bagaimana yang kira-kira
bisa memberi solusi terhadap kekecewaan di atas? Jawaban para siswa juga
sungguh cukup mengejutkan. Sebanyak 65,6% siswa di Jabodetabek sangat/cukup
setuju jika syariat/ hukum Islam diberlakukan di Indonesia, berbagai
persoalan bangsa akan dapat diatasi.
Dari data-data tersebut, kita
tampaknya perlu menganalisis lebih jauh, apakah pandangan bahwa penerapan
syariat Islam sebagai solusi persoalan bangsa dan preferensi menyalurkan
aspirasi politik melalui partai Islam berkaitan dengan isu dan kemunculan
ISIS di luar Indonesia? Atau, dalam konteks pengajaran di sekolah, apakah
penting untuk mengintegrasikan proses pembelajaran agama dan pendidikan
kewarganegaraan ke dalam satu paket dan rangkaian yang dapat menimbulkan
perasaan kebangsaan yang semakin dewasa?
ISIS bukanlah fenomena baru bagi
lanskap kehidupan keagamaan dan kebangsaan di Indonesia. Karena itu,
sebaiknya kita bijak dalam melihat fenomena ini. Sebagai negara yang
menghargai perbedaan di semua aspek, termasuk kebebasan berpendapat, jelas
kita tak menginginkan ekspresi kebebasan tersebut dalam bentuk teror,
diskriminasi, dan kekerasan. Karena itu, seluruh aparat, termasuk para guru
di ruang-ruang kelas, tak perlu bereaksi secara berlebihan atau panik, tetapi
ajaklah masyarakat dan para siswa untuk membuat riset dan pemetaan yang jelas
tentang gejala ISIS ini.
Selain itu, pemerintah kita
harapkan dapat mengenali sumber masalah ISIS ini dengan baik dan tidak
terlibat mengurusi symptom-nya berupa diskursus perang Irak dan Suriah.
Pemerintah, dalam hal ini BNPT dan Densus 88, harus berani mengakui kelemahan
mereka yang tak peduli dengan gejala ISIS sejak lama.
Artinya, benih-benih
ISIS sesungguhnya sudah ada sejak dulu di dalam organisasi sosial keagamaan
yang sering memaksakan kehendak dan kekerasan di tengah masyarakat. Karena
itu, problem radikalisme sehari-hari dari organisasi sosial keagamaan harus
terus ditangani secara cepat dan akurat.
Akhirnya, ISIS akan menjadi
sama sekali tak istimewa bagi umat Islam di Indonesia jika media tak
mengompori dan memprovokasi masalah ini secara membabi buta. Sebaiknya media
justru mengambil peran dalam menggambarkan daya tahan toleransi bangsa
Indonesia terhadap seluruh fakta keragaman, baik etnik, bahasa, agama, maupun
suku bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar