Selasa, 19 Agustus 2014

Pungo

                                                                      Pungo

Mustafa Ismail  ;   Pegiat Kebudayaan, @musismail
KORAN TEMPO, 19 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Dalam bahasa Aceh, pungo memiliki arti generik "gila". Namun sesungguhnya makna kata itu lebih luas, bahkan tidak melulu negatif. Meskipun seratus persen waras, seseorang yang berkendaraan secara ugal-ugalan kerap diserapahi dengan kalimat "pungo" alias gila. Begitu pula laku sosial lain, yang dianggap tak sesuai dengan tatanan atau kaidah-kaidah normal, disebut sebagai pungo--meskipun orang itu tidak gila.

Pungo menjadi terminologi untuk menjelaskan sebuah laku sosial maupun pemikiran yang keluar dari "keumuman" atau kesepakatan umum. Kata itu menjadi semacam saringan untuk menilai kepantasan. "Pungo" menampung semua tingkatan gangguan jiwa--mulai dari yang pura-pura gila, kelihatan gila, tak sadar telah gila, hingga yang benar-benar gila.

Dalam dunia psikologi, gangguan jiwa dijelaskan sebagai gangguan cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), dan perilaku (psychomotor). Penyebabnya, macam-macam. Ada yang karena merasa diperlakukan tidak adil, cinta tak berbalas, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, tidak terpenuhinya keinginan, dan sebagainya. Dan semua orang berpotensi pungo alias mengalami gangguan jiwa.

Maka, menjadi logis jika ada orang yang tampak sehat, necis, gagah, pintar, namun tak disadari mengalami guncangan jiwa. Pasca-pemilu legislatif, misalnya, media ramai memberitakan sebagian calon legislator yang tidak terpilih bertingkah aneh-aneh. Mereka tidak bisa mengontrol emosi.

Yang lebih menarik, belakangan politik tidak hanya mengganggu kewarasan aktornya, bahkan pendukungnya. Jika kita amati media sosial, kita akan menemukan bagaimana pendukung capres meluapkan dukungannya yang lebih menonjolkan emosi ketimbang logika. Pembelaan-pembelaan mereka kadang cenderung brutal dan di luar patokan normal. Bahkan ada yang merasa lebih baik mati jika calon presidennya kalah.

Sekilas, seolah-olah itu cetusan spontan. Namun itu memperlihatkan betapa politik mudah membuat akal sehat menjadi tumpul. Politik telah mengombang-ambingkan hidup dan harapan sebagian orang. Boleh jadi, mereka bukanlah orang-orang yang mendapatkan manfaat langsung dari terpilih atau tidaknya calon yang mereka dukung. Namun doktrin-doktrin yang mereka terima dari lingkungan mereka bisa memberi angin bahwa apa yang mereka lakukan adalah memperjuangkan kebenaran, bahkan jihad.

Bahkan, pasca-pilpres, laku orang-orang tak puas tetap saja unik-unik. Ada yang beranggapan cuma calonnya yang luar biasa, sambil membangun imaji-imaji buruk dalam pikirannya tentang calon lain. Bahkan ada yang seperti mengalami halusinasi dan delusi.

Frank G. Goble, penulis buku Mazhab Ketiga (Psikologi Humanistik Abraham Maslow), menyebutkan salah satu ciri penting orang sehat mental adalah persepsinya terhadap semesta itu realistis. Adapun pada orang yang tak sehat mental, tidak cuma sakit secara emosional, pemikirannya pun serba keliru. Ia tidak berpijak pada realitas, melainkan lebih banyak bermain dalam ruang imajinatif. Celakanya, ia susah membedakan antara realitas dan imajinasi, antara harapan dan kenyataan.

Sebetulnya, itu urusan mereka sendiri. Masalahnya, mereka berlomba-lomba hadir di tengah kita--lewat berbagai medium. Lama-lama mengganggu juga. Tapi, saya tak berani menyebut mereka pungo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar