Kota
Nyaman dan Murah
Imanuel More Ghale ;
Mahasiswa S-2 Teologi
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 19 Agustus 2014
Jakarta tengah berkembang menuju kota yang lebih nyaman dan
ramah. Penataan kawasan permukiman dan ruang publik terus digalakkan sejak
pemerintahan Joko Widodo–Basuki Tjahaja Purnama. Relokasi warga yang bermukim
atau yang membuka usaha di area publik terlihat nyata.
Taman-taman kota kembali ditata sehingga ramai dikunjungi warga.
Tetapi, sebagaimana proses transisi secara umum, perkembangan positif ini
menyisakan pekerjaan rumah (PR) yang membutuhkan perhatian serius semua
pemangku kepentingan di Jakarta, di antaranya biaya hidup warga akan meningkat.
Menurut Frederique Krupa, Kepala Desain Komunikasi Paris College of Art, Paris, Prancis,
menjadikan kota lebih beradab dan manusiawi selalu berkonsekuensi pada
meningkatnya biaya hidup kaum urban. Meminjam konsep ruang publik Jurgen
Habermas, Krupa memandang sejarah perkembangan penataan ruang publik pun tak
lepas dari modernisasi yang bertalian erat dengan gerakan modal, gaya hidup,
dan kondisi ekonomi warga.
Penataan ruang publik menguat seiring kebangkitan kaum borjuis
di London dan Paris abad ke-18. Perubahan pandangan hidup dan lifestyle
komunitas urban menuntut lingkungan yang mendukung perilaku individu. Secara
sederhana, bisa dikatakan dalam konteks zaman yang ditandai perputaran modal
di segala lini dalam era kontemporer, lingkungan yang humanis dan tertata
berbanding lurus dengan menjadikan area tersebut semakin mahal. Imbasnya,
biaya hidup warga yang memanfaatkan ruang publik pun meningkat.
Sebenarnya tak sulit memahami tesis tadi. Contoh, begitu banyak
warga Ibu Kota yang memanfaatkan jasa pedagang kaki lima (PKL) untuk sekadar
membeli makan-minum maupun barang dan jasa lain yang lebih murah. Sudah
menjadi pemandangan umum pula bahwa PKL menduduki area publik, seperti
trotoar hingga badan jalan dan taman kota. Di satu sisi, kondisi demikian
mengganggu ketertiban umum dan kenyamanan warga. Di sisi lain, harga-harga
yang mereka jual murah.
Ruang di Jakarta, tapi dikelola instansi lain seperti
stasiun-stasiun kereta semakin nyaman dan ramah. Stasiun Gambir, misalnya,
tak ada lagi pedagang asongan mondar-mandir atau warung-warung makan dan kios
yang biasa di sekitar lokasi parkir. Perubahan wajah stasiun jelas
menggembirakan.
Konteks serupa bisa ditarik ke penertiban area Monas. Warga ke
Monas ingin menikmati suasana taman yang luas dan hijau bersama keluarga atau
teman-teman. Bercengkerama atau berolah raga selama beberapa jam di area
Monas, apalagi bersama anak-anak, umumnya menuntut pemenuhan kebutuhan
terutama makan-minum. Maka, tetap diperlukan lokasi khusus pedagang kecil
yang menjual minuman.
Dilemanya, kalau banyak PKL, akan membuat kumuh, sementara
tempat lain dibenahi, sedangkan bila mereka dilenyapkan, masyarakat harus
mengeluarkan uang lebih banyak untuk sekadar membeli makan-minum. Ini bisa
melahirkan kota dengan biaya hidup mahal. Kondisi demikian bisa menghasilkan
efek berantai yang menyentuh semua pemangku kepentingan.
Pengusaha, misalnya, dituntut menaikkan standar upah minimum,
sementara pemerintah bakal didesak mengaji ulang komponen standar kebutuhan
hidup layak (KHL). Bila itu diwujudkan, muncul ekses lain seperti jurang upah
minimum provinsi (UMP) DKI dengan wilayah lain semakin lebar. Bagi masyarakat
desa, situasi demikian makin meningkatkan daya tarik Ibu Kota sebagai tempat
mencari kerja. Dampak ikutannya sudah jelas: urbanisasi! Arus perpindahan
massa ke Jakarta tambah tak terbendung.
Kebijakan Terpadu
Untuk mengantisipasi masalah ini, penataan kota perlu disertai
pertimbangan kebijakan yang tidak menjerumuskan Jakarta menjadi kota mahal.
Maka, perlu dibangun infrastruktur untuk menunjang. Penertiban pedagang dan
asongan perlu dijalankan dalam konteks penataan ulang lokasi usaha. Pemprov
DKI Jakarta perlu menyediakan lokasi khusus sebagai area jual-beli. Kebutuhan
warga tidak hilang bersamaan dengan pengusiran para pedagang kecil yang
menyediakan barang dengan harga terjangkau. Ini senada dengan penertiban
warga di permukiman liar yang direlokasi ke tempat lebih layak seperti
rusunawa.
Dalam praktiknya, kepergian pedagang kecil justru menjadi celah
masuk pengusaha dengan modal lebih besar karena lokasi berjualan yang tertata
rapi biasanya disewakan dengan harga lebih tinggi. Imbasnya, pedagang kecil
akan kesulitan bersaing karena tak mampu menyewa. Dampak lanjutannya,
pedagang baru akan mematok harga barang relatif lebih tinggi sesuai dengan
nilai sewa lokasi. Masyarakat umum akhirnya harus membayar lebih mahal meski
sekadar untuk makan-minum.
Di satu sisi, pemerintah bisa menyalahkan para pedagang yang
hadir tanpa diundang dan berjualan di lokasi terlarang. Tetapi, secara logis,
usaha mereka dengan sendirinya akan lenyap bila tak ada pembeli.
Kenyataannya, justru semakin banyak aktivitas perdagangan sejenis. Maka
konsep penataan ulang lokasi dagang seharusnya menjadi pertimbangan utama,
bukan melenyapkan pedagang kecil sambil memberi ruang pemodal.
Sebagai penganut paham negara kesejahteraan, Indonesia hendaknya
tidak menimpakan kesalahan pada warga semata-mata, sebagaimana paham
kapitalis. Adam Smith, bapak kapitalisme, menilai tragedi kaum kecil tak lain
dari kemiskinan aspirasi atau ide kreatif. Warga Jakarta, termasuk kalangan
bawah, sangat kreatif dalam mencari penghidupan.
Dalam konteks PKL dan asongan malah bisa dikatakan terlalu
kreatif hingga menduduki ruang publik. Sebagaimana dikatakan Hernando de
Soto, ekonom asal Peru, pemerintah hendaknya melihat pedagang kecil sebagai
kalangan yang tak memiliki akses modal. Pilihan pada ekonomi ekstralegal
karena mereka tidak mampu mengakumulasikan modal usaha lantaran tidak banyak
properti legal.
Maka, setelah menata ruang kota, termasuk lokasi berdagang,
pemerintah seharusnya memikirkan dan lebih agresif melakukan sosialisasi
subsidi usaha maupun insentif modal bagi pedagang kecil. Pemerintah dapat
mengesampingkan langkah aplikatif de Soto bersama Institute for Liberty and Democracy yang kerap dicap terlalu
prokapitalis. Peran pemerintah di negara berkembang seperti Indonesia
selayaknya jauh lebih signifikan dari Muhammad Yunus di Bangladesh, peraih
Nobel, berkat pengembangan konsep penyaluran kredit mikro kepada masyarakat
kecil.
Dengan cara itu, Jakarta akan berubah menjadi kota nyaman dan
ramah tanpa berekses biaya hidup terlalu tinggi yang membebani sebagian besar
warganya. Pedagang kecil tidak perlu lenyap karena masih dibutuhkan sebagian
besar warga yang ingin mendapat barang dan jasa terjangkau. Mereka hanya
perlu ditata dan dijadikan wirausaha skala kecil. Jakarta pun tidak perlu
dijadikan layaknya kawasan khusus sebagaimana Bandara Soekarno-Hatta yang
tertata dan terlihat indah, namun tak ramah bagi kantong wong cilik karena harga-harga yang selangit. Pemprov DKI bisa
mulai dengan menata sekaligus memfasilitasi usaha PKL dan asongan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar