Membangun Kota
Cerdas dan Berketahanan
Nirwono Joga ;
Koordinator Gerakan Indonesia Menghijau
|
KORAN
TEMPO, 19 Agustus 2014
Abad ke-21 adalah abad perkotaan, lebih dari setengah penduduk
dunia telah tinggal di kota/kawasan perkotaan. Kota kecil berkembang menjadi
kota sedang, ke kota besar, kota raya (metropolis), kota mega (megapolis),
hingga mencapai kota dunia (ecumenopolis).
Sebuah kehormatan, Jakarta menjadi tuan rumah Kongres Dunia
Ke-24 Organisasi Perencana Kota dan Permukiman di Asia-Pasifik (Eastern Regional Organization for Planning
and Human Settlements), dengan tema "Menuju
Perkotaan yang Berketahanan dan Pintar: Inovasi, Perencanaan, dan Determinasi
dalam Mengelola Kota-kota Besar di Dunia", yang berlangsung selama
10-13 Agustus 2014.
Pertemuan ini membahas perkembangan kota yang cerdas dalam arti
hijau, memanfaatkan teknologi, serta memiliki ketahanan terhadap perubahan
iklim dan bencana kota. Kegiatan ini menjadi ajang saling berbagi pengetahuan
dan pengalaman lintas negara dalam pengelolaan kota hijau, seperti konsumsi
energi terbarukan, serta model sistem transportasi yang cerdas, efisien, dan
ramah lingkungan.
Kota-kota di Indonesia tengah menghadapi tantangan yang cukup
besar dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan degradasi kualitas
lingkungan, perkembangan kota yang cepat dan dinamis, pertumbuhan jumlah
penduduk dan penambahan jumlah pendatang, serta dukungan media sosial dan
tarikan kepentingan politik penguasa dan pengusaha. Untuk itu, pemerintah
harus mengembangkan kota cerdas dan berketahanan.
Ada lima langkah untuk mewujudkan kota cerdas dan berketahanan.
Pertama, setiap warga harus diberi kesempatan ikut bicara
tentang nasib dan masa depan kotanya (city-citizen).
Pemerintah kota harus melakukan inovasi bersama penduduk. Warga didorong
melaksanakan perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam pembangunan kota
dengan sepenuh hati, membangun budaya perilaku positif, dan menularkan virus
perubahan gaya hidup hijau.
Para perencana kota harus berhenti sejenak, merenung, dan mawas
diri, untuk kemudian meningkatkan kadar profesionalisme, pemikiran,
penalaran, kepekaan, dan kesadaran batin, intuisi, serta insting, untuk
serius mewujudkan kota cerdas dan berketahanan.
Kedua, keberagaman mosaik masyarakat perkotaan harus diwadahi
dan tecermin dalam tata ruangnya. Kota bersifat jamak (plural) dan rakyat
diberi pilihan-pilihan alternatif secara terbuka. Hal ini tecermin pada
tingkat keamanan/kriminalitas, keterhubungan secara internasional,
cuaca/sinar matahari, kualitas arsitektur bangunan-lanskap-kota, isu
lingkungan, akses terhadap ruang terbuka hijau, desain urban, transportasi
publik, toleransi, kondisi bisnis, pengembangan kebijakan yang proaktif, dan
layanan kesehatan.
Ketiga, pusat-pusat lingkungan sebagai simpul jasa transportasi
umum harus berada dalam jarak jangkau berjalan kaki atau bersepeda
(otomobilitas-aksesibilitas). Pengembangan kawasan terpadu meliputi hunian
vertikal (rusun, apartemen), perkantoran, pasar, dan sekolah. Penghuni cukup
berjalan kaki atau bersepeda dalam kawasan dan menggunakan transportasi
publik (bus, KA) ke luar kawasan.
Keempat, pembangunan dan pelestarian RTH berupa taman kota
sebagai surga perkotaan. Kehadiran taman-taman kota ibarat bak oasis di
padang gurun, sebagai daerah resapan dan tangkapan air, paru-paru kota untuk
menyerap polusi udara dan menciptakan iklim mikro, serta wadah berinteraksi
sosial, rekreasi, dan berolahraga.
Kelima, perencanaan tata lingkungan perumahan dan permukiman
diarahkan ke terciptanya rasa-tempat dan semangat komunitas agar tumbuh rasa
memiliki, solidaritas sosial yang tinggi, suasana yang guyub dan rukun
antarwarga kota.
Kota menumbuhkan semangat kewargaan dan rasa memiliki yang kuat,
menciptakan keseimbangan lingkungan yang mendukung keberlanjutan pembangunan,
membentuk kohesi sosial yang kental, guyub, dan tidak mudah terprovokasi dari
luar, menyediakan perluasan kesempatan kerja, menumbuhkan rasa aman,
menggulirkan perekonomian kota, serta dirmeriahkan dengan kegiatan seni
budaya masyarakat.
Saatnya, kota-kota menjalin komunikasi yang erat, saling
bertukar informasi, berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola
kota/kawasan perkotaan. Wali kota/bupati dituntut piawai mengidentifikasi
aset dan mengembangkan potensi kota, termasuk warga, sebagai investasi
pengembangan kota ke depan.
Prinsip kerja sama antarkota berupa kompetisi yang sehat,
bersahabat, dan hubungan yang setara dengan mengoptimalkan keunikan
kota/kabupaten masing-masing untuk saling mendukung dan melengkapi, bukan
saling melemahkan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan kota/kabupaten
tetangga.
Ke depan, para pengelola kota harus bertekad membuat kotanya
menjadi tempat tinggal yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Mereka harus merencanakan dan merancang kota yang berwawasan lingkungan,
menyediakan ruang terbuka hijau minimal 30 persen, mengolah air yang lestari,
mengelola sampah dan limbah ramah lingkungan, mengembangkan transportasi
publik berkelanjutan, menerapkan persyaratan bangunan hijau, memanfaatkan
energi terbarukan, dan memberdayakan komunitas hijau masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar