Pulang
Bagja Hidayat ; Wartawan Tempo
|
KORAN
TEMPO, 04 Agustus 2014
Mudik barangkali hanya sebuah istilah kepulangan ke kampung
halaman di sekitar hari Lebaran. Hari-hari lain kita tetap menyebutnya
pulang, sebuah kata yang kini rancu artinya sebagai kembali ke rumah sehabis
kerja dan kembali ke kampung halaman menempuh kenangan-kenangan. Dan bayangan
masa kecil menolak imajinasi masa besar: kita terperanjat melihat kampung berbeda
dibanding dulu, tanpa sadar cara kita melihat kampung telah berubah menjadi
sudut pandang orang kota.
Kini sawah, ladang, dan huma begitu sunyi. Tak ada lagi
anak-anak yang berlari riang menggembala kerbau atau sapi. Ladang menjadi
hutan atau ditumbuhi alang-alang karena jarang terjamah tangan manusia. Orang
desa yang masih setia dengan cangkul dan arit adalah mereka yang berusia 60
tahun ke atas.
Selama mudik Lebaran ini saya berkeliling ke dua bukit untuk
mengenang ladang-ladang permainan di kampung. Tak ada satu pun anak muda di
sana. Mereka yang bertahan di saung-saung ladang adalah orang-orang tua
dengan sisa otot yang keriput, mereka yang bertubuh liat ketika saya masih
kanak. Tak ada yang meneruskan mengolah sawah itu, huma itu, ladang penghidupan
itu.
Anak-anak muda lebih senang ke Jakarta, ke kota, menjadi buruh
bangunan atau berdagang es cincau keliling. Mereka berhitung sangat praktis.
Sebulan berjualan di Jakarta, hasilnya setara dengan penghasilan satu musim
palawija, yang membutuhkan tenaga dan perhitungan modal serta musim yang
cermat. Berdagang es campur cukup dengan dengkul dan sedikit ongkos bus.
Sebab, modal dan peralatan disediakan para "bos" yang menghimpun
persekutuan pedagang es keliling, atau mandor yang datang ke kampung mencari
tenaga kerja membangun kota.
Praktis sawah-sawah kehilangan tenaga produktifnya. Mereka yang
setia menggarapnya akan berpikir dua kali menanam jagung atau kacang karena
tak mungkin semua pekerjaan ia lakukan sendiri. Tak ada orang yang bersedia
menjadi buruh yang dibayar untuk menggarap kebun. Dan musim yang bergeser
membuat sawah-sawah kekeringan di musim kemarau. Para petani harus memompa
dan mengalirkan air dari sumur-sumur dan mata air. Itu artinya butuh bensin
untuk diesel, butuh modal yang tak sedikit. Kini tenaga saja tak cukup untuk
menggarap sawah.
Saya tak bisa membayangkan apa jadinya desa ini ketika mereka
yang masih bertahan menjadi petani kini sudah tak ada lagi. Sawah dan ladang
itu mungkin segera jadi hutan alang-alang yang pelan-pelan didiami dedemit
dan genderuwo dan menjadi tempat asing bagi bocah-bocah yang kini masih
ingusan. Sepuluh atau 20 tahun lagi mereka akan mengikuti jejak ibu-bapaknya
mencari hidup di kota-kota.
Dan mereka kembali ke kampung sebagai turis, yang sekadar transit
setiap Lebaran, dengan membawa cukup uang untuk membangun rumah, tempat
mereka kembali, tempat mereka pulang, setelah kota tak membutuhkannya lagi.
Itu artinya, sawah-sawah segera akan menjadi rumah.
Barangkali esai ini juga semacam suara turis, anak hilang yang
tercengang setiap kali mudik Lebaran karena menganggap kampung telah berubah,
berbeda suasananya dengan keadaan 20 tahun lalu. Bagaimanapun, saya termasuk
dalam arus urbanisasi itu, rombongan yang meninggalkan kampung dengan
menganggap kota sebagai masa depan, lalu memaknai "pulang" sebagai
sebuah tetirah ke kampung halaman untuk menghidupkan kembali kenang-kenangan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar