Salaman
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
KORAN
TEMPO, 02 Agustus 2014
Lebaran sudah berlalu. Itu
versi resmi. Versi tidak resmi, hari ini adalah Lebaran ketujuh. Masih terasa
opor ayamnya. Apalagi masih libur dan tempat tamasya masih ramai. Tapi yang
berlebaran di udik, maksudnya kampung halaman-karena itu lahir istilah
mudik-harus balik ke kota tempat mencari nafkah. Esok sudah bekerja seperti
dulu. Bahkan kerja lebih keras agar bisa menabung untuk mudik tahun depan.
Siklus tahunan yang tak pernah berhenti, persis perbaikan jalan di Pantai
Utara Jawa (Pantura) yang juga tak kunjung henti.
Bersalaman dan saling
mengucapkan "mohon maaf lahir batin" masih berlanjut. Pada
masyarakat Jawa ada istilah syawalan, silaturahmi sepanjang bulan Syawal,
karena bermaaf-maafan tak bisa persis pada "Lebaran yang resmi".
Ada kendala waktu dan jarak. Apakah Joko Widodo dan Prabowo Subianto akan
saling berkunjung atau bertemu dalam sebuah hajatan untuk meminta dan memberi
maaf? Bisa saja itu terjadi, karena untuk mengirim kartu pos bergambar khas
Lebaran sudah sulit karena seniman-seniman kartu pos di Pasar Baru sudah pada
menghilang.
Salaman antara Jokowi dan
Prabowo akan berdampak dahsyat bagi penghuni negeri ini, meskipun pengamat
yang biasanya genit perlu survei apakah itu dilakukan dengan tulus atau
sekadar akting. Presenter televisi pun akan sibuk mengulas, siapa yang lebih
dulu menyodorkan tangan, meski itu tidak penting-penting amat. Bagi
masyarakat kebanyakan yang tak pernah nyinyir, salaman kedua pemimpin ini
pastilah tulus dan itu jadi simbol dari bertemunya dua hati. Seseorang
disebut kesatria jika ia kalah dengan tetap berdiri tegak dan menang dengan
tidak menjadi angkuh.
Siapa yang menang dan yang
kalah? Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan bahwa Jokowi yang menang.
Tapi, menurut konstitusi, jika KPU tak dipercaya memutuskan kemenangan, maka
pemenang pilpres ditentukan oleh sembilan orang. Mereka adalah hakim Mahkamah
Konstitusi. Kalau sembilan pengadil ini bilang Prabowo menang, Jokowi harus
kalah. Begitu pula sebaliknya.
Tetapi jutaan orang sudah tahu siapa yang
menang berdasarkan "proses yang berjalan secara transparan" dan
hitung cepat yang ilmiah, bukan dari lembaga survei abal-abal yang sudah
meminta maaf. Akan halnya hakim konstitusi riskan untuk berbuat curang
apalagi menerima suap, karena pasti ada efek jera dari hukuman seumur hidup
yang diterima mantan Ketua MK.
Yang kalah harus berjiwa besar
dan menyalami atau minimal memberi selamat kepada yang menang, apalagi masih
di bulan Syawal. Lalu introspeksi, kenapa bisa kalah. Jika MK tetap
memutuskan Prabowo kalah, ini kesempatan buat Gerindra bertanya: kenapa
partai nasionalis yang melesat ke depan dengan kader yang memberi harapan,
gagal memenangkan jagonya? Apakah karena faktor Prabowo yang lebih tua
daripada Jokowi? Atau jangan-jangan kemasukan partai yang memperjuangkan
kekhasan sempit sehingga masyarakat khawatir Bhinneka Tunggal Ika dan
Pancasila terhapus dari garuda Indonesia. Prabowo dan pimpinan Gerindra bisa
membedahnya dengan jernih jika keikhlasan menerima kekalahan itu dilakukan.
Begitu pula jika misalnya Jokowi yang dikalahkan MK, meski KPU dan lembaga
survei sudah memberikan kemenangan, introspeksi harus dilakukan.
Kata kunci untuk tetap
terhormat sebagai kesatria sejati dan terus berjuang di masa mendatang adalah
menerima kekalahan dengan tulus dan mempelajari penyebab kekalahan. Lalu
kedua pesaing bersalaman. Di dunia hewan, salaman setelah bertarung memang
tidak ada, tetapi bukankah kita makhluk berbudaya dan punya martabat? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar