Minggu, 10 Agustus 2014

Salaman

Salaman

Putu Setia  ;  Pengarang, Wartawan Senior Tempo
KORAN TEMPO, 02 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Lebaran sudah berlalu. Itu versi resmi. Versi tidak resmi, hari ini adalah Lebaran ketujuh. Masih terasa opor ayamnya. Apalagi masih libur dan tempat tamasya masih ramai. Tapi yang berlebaran di udik, maksudnya kampung halaman-karena itu lahir istilah mudik-harus balik ke kota tempat mencari nafkah. Esok sudah bekerja seperti dulu. Bahkan kerja lebih keras agar bisa menabung untuk mudik tahun depan. Siklus tahunan yang tak pernah berhenti, persis perbaikan jalan di Pantai Utara Jawa (Pantura) yang juga tak kunjung henti.

Bersalaman dan saling mengucapkan "mohon maaf lahir batin" masih berlanjut. Pada masyarakat Jawa ada istilah syawalan, silaturahmi sepanjang bulan Syawal, karena bermaaf-maafan tak bisa persis pada "Lebaran yang resmi". Ada kendala waktu dan jarak. Apakah Joko Widodo dan Prabowo Subianto akan saling berkunjung atau bertemu dalam sebuah hajatan untuk meminta dan memberi maaf? Bisa saja itu terjadi, karena untuk mengirim kartu pos bergambar khas Lebaran sudah sulit karena seniman-seniman kartu pos di Pasar Baru sudah pada menghilang.

Salaman antara Jokowi dan Prabowo akan berdampak dahsyat bagi penghuni negeri ini, meskipun pengamat yang biasanya genit perlu survei apakah itu dilakukan dengan tulus atau sekadar akting. Presenter televisi pun akan sibuk mengulas, siapa yang lebih dulu menyodorkan tangan, meski itu tidak penting-penting amat. Bagi masyarakat kebanyakan yang tak pernah nyinyir, salaman kedua pemimpin ini pastilah tulus dan itu jadi simbol dari bertemunya dua hati. Seseorang disebut kesatria jika ia kalah dengan tetap berdiri tegak dan menang dengan tidak menjadi angkuh.

Siapa yang menang dan yang kalah? Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan bahwa Jokowi yang menang. Tapi, menurut konstitusi, jika KPU tak dipercaya memutuskan kemenangan, maka pemenang pilpres ditentukan oleh sembilan orang. Mereka adalah hakim Mahkamah Konstitusi. Kalau sembilan pengadil ini bilang Prabowo menang, Jokowi harus kalah. Begitu pula sebaliknya. 

Tetapi jutaan orang sudah tahu siapa yang menang berdasarkan "proses yang berjalan secara transparan" dan hitung cepat yang ilmiah, bukan dari lembaga survei abal-abal yang sudah meminta maaf. Akan halnya hakim konstitusi riskan untuk berbuat curang apalagi menerima suap, karena pasti ada efek jera dari hukuman seumur hidup yang diterima mantan Ketua MK.

Yang kalah harus berjiwa besar dan menyalami atau minimal memberi selamat kepada yang menang, apalagi masih di bulan Syawal. Lalu introspeksi, kenapa bisa kalah. Jika MK tetap memutuskan Prabowo kalah, ini kesempatan buat Gerindra bertanya: kenapa partai nasionalis yang melesat ke depan dengan kader yang memberi harapan, gagal memenangkan jagonya? Apakah karena faktor Prabowo yang lebih tua daripada Jokowi? Atau jangan-jangan kemasukan partai yang memperjuangkan kekhasan sempit sehingga masyarakat khawatir Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila terhapus dari garuda Indonesia. Prabowo dan pimpinan Gerindra bisa membedahnya dengan jernih jika keikhlasan menerima kekalahan itu dilakukan. Begitu pula jika misalnya Jokowi yang dikalahkan MK, meski KPU dan lembaga survei sudah memberikan kemenangan, introspeksi harus dilakukan.

Kata kunci untuk tetap terhormat sebagai kesatria sejati dan terus berjuang di masa mendatang adalah menerima kekalahan dengan tulus dan mempelajari penyebab kekalahan. Lalu kedua pesaing bersalaman. Di dunia hewan, salaman setelah bertarung memang tidak ada, tetapi bukankah kita makhluk berbudaya dan punya martabat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar