Minggu, 10 Agustus 2014

Presiden dan Efisiensi

Presiden dan Efisiensi

Jeffrie Geovanie  ;  Pendiri The Indonesian Institute
KORAN TEMPO, 07 Agustus 2014
                                                                                                                       
                                                                                                                                   

Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres), yang berlangsung pada 9 Juli lalu, tak sekadar peristiwa politik lima tahunan. Banyak pelajaran penting yang layak kita cermati, dari proses hingga hasilnya yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Kita patut mengapresiasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tetap menjaga netralitas, meski Partai Demokrat yang dipimpinnya berpihak kepada pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Netralitas SBY bisa sedikit menyelamatkan "muka" Partai Demokrat, yang ternyata memilih pihak yang kalah.

Dan, tentu saja, yang paling layak kita puji adalah partisipasi rakyat. Pelaksanaan pilpres 2014menjadi bukti bahwa democracy works, demokrasi berjalan dengan baik dan kuat. Seperti halnya Megawati, yang mengakui kekalahannya oleh SBY pada 2004 dan 2009, seyogianya Prabowo Subianto juga mau mengakui kemenangan Jokowi. Mengaku kalah merupakan kehormatan bagi politikus di mata rakyat.

Rakyat telah menentukan pilihan. Mengingkari kekalahan sama artinya dengan mengabaikan suara rakyat yang telah menentukan pilihan. Tidak mengakui kemenangan lawan sama artinya dengan menuduh sebagian besar rakyat telah salah memilih pemimpin.

Selain itu, keistimewaan utama pilpres 2014 tentu saja adalah fenomena terpilihnya pemimpin baru, Joko Widodo (Jokowi), yang disebut Joe Cochrane dalam The New York Times edisi 22 Juli 2014 sebagai "a child of the slum" dan memiliki "a typical village face", yang akhirnya menjadi Presiden RI ketujuh.

Tapi, lebih dari sekadar orang biasa yang berwajah ndeso, keistimewaan Jokowi adalah kebersahajaan dan kesederhanaannya. Soal kebersahajaan Jokowi ini, ada cerita menarik. Beberapa saat setelah Jokowi dinyatakan sebagai pemenang pilpres versi sejumlah hitung cepat yang kredibel, saya sempat berbincang dengan sejumlah teman yang sebelumnya aktif berkeliling mengikuti kampanye capres nomor dua ini.

Kata mereka, untuk setiap perjalanan darat, Jokowi tak mau menggunakan mobil yang lebih (mewah) daripada Kijang Innova. Kalau ada panitia lokal yang menjemputnya menggunakan mobil mewah, ia akan "mogok" dan tidak mau menggunakannya. Kalau tidak tersedia kendaraan yang sesuai, ia bisa naik angkot, bajaj, atau ojek menuju lokasi acara.

Sedangkan untuk rute jalur udara, Jokowi selalu menggunakan penerbangan komersial dengan kelas ekonomi. Pesawat carteran yang disediakan tim sukses dibiarkan terparkir di Bandara Halim Perdanakusuma. Pernah sekali pesawat itu digunakan dalam kondisi terpaksa. Tentu, bagi anggota tim yang terbiasa bermobil mewah, menyertai Jokowi akan menjadi pengalaman yang penuh "penderitaan".

Dengan melihat gaya hidup Jokowi, salah satu anggota tim suksesnya, Arif Budimanta, sangat yakin pemerintah yang akan datang bisa melakukan efisiensi besar-besaran, terutama pada sektor anggaran perjalanan dinas.

Jokowi bisa seperti Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, yang saat bepergian, baik saat bersama keluarga ataupun bersama anggota kabinetnya, terbiasa memakai pesawat komersial. Padahal, sebagai negara kaya, Singapura bisa menyediakan jet pribadi untuk sang Perdana Menteri.

Atau bisa juga seperti Presiden Filipina Benigno Aquino III, yang sangat menyadari kondisi bangsanya. Ia tak mau bermewah-mewah hanya sekadar untuk perjalanan dinas. Karena itu, tak jarang ia harus ikut terjebak kemacetan di tengah jalan raya yang sibuk karena tidak menggunakan pengawalan berlebihan.

Untuk efisiensi, langkah pertama yang harus dilakukan Jokowi adalah merombak mekanisme kerja protokoler Istana yang high cost, banyak menghabiskan uang negara, dan ditengarai menjadi lahan korupsi. Caranya, dengan merevisi undang-undang dan peraturan pemerintah tentang keprotokolan serta mengajukan RUU Kepresidenan yang lebih efisien dan efektif.

Tujuan merevisi keprotokolan yang dimaksudkan bukan sekadar memangkas birokrasi yang feodalistik, sebagaimana yang pernah diupayakan Presiden Abdurrahman Wahid. Yang lebih penting adalah memangkas biaya-biaya yang tak penting, seperti yang sudah berlaku selama ini. Jika pola ini diterapkan ke semua jajaran birokrasi, tentu akan terjadi efisiensi besar-besaran.

Kedua, pesawat kepresidenan yang sudah dibeli Presiden SBY dengan harga mahal bisa dilelang untuk memperoleh harga yang lebih tinggi ketimbang saat dibeli. Selanjutnya, dalam perjalanan dinas, Jokowi dan Jusuf Kalla bisa menggunakan pesawat komersial biasa.

Ketiga, subsidi bahan bakar minyak yang membebani anggaran negara sudah waktunya dicabut. Saya kira rakyat akan mengerti jika dampak positifnya dipaparkan sejelas-jelasnya kepada segenap rakyat. Apalagi yang mengambil keputusan adalah presiden, yang menjadi contoh kesederhanaan dan mendapat kepercayaan dari rakyat.

Kita yakin bahwa kesederhanaan pemimpin yang diikuti dengan pola-pola efisiensi dalam menggunakan anggaran negara bisa menjadi modal awal yang konstruktif untuk menjalankan pemerintahan yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar