Presiden
dan Efisiensi
Jeffrie Geovanie ; Pendiri The Indonesian Institute
|
KORAN
TEMPO, 07 Agustus 2014
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres), yang
berlangsung pada 9 Juli lalu, tak sekadar peristiwa politik lima tahunan.
Banyak pelajaran penting yang layak kita cermati, dari proses hingga hasilnya
yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kita patut mengapresiasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
yang tetap menjaga netralitas, meski Partai Demokrat yang dipimpinnya
berpihak kepada pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Netralitas SBY bisa
sedikit menyelamatkan "muka" Partai Demokrat, yang ternyata memilih
pihak yang kalah.
Dan, tentu saja, yang paling layak kita puji adalah partisipasi
rakyat. Pelaksanaan pilpres 2014menjadi bukti bahwa democracy works, demokrasi berjalan dengan baik dan kuat. Seperti
halnya Megawati, yang mengakui kekalahannya oleh SBY pada 2004 dan 2009,
seyogianya Prabowo Subianto juga mau mengakui kemenangan Jokowi. Mengaku
kalah merupakan kehormatan bagi politikus di mata rakyat.
Rakyat telah menentukan pilihan. Mengingkari kekalahan sama
artinya dengan mengabaikan suara rakyat yang telah menentukan pilihan. Tidak
mengakui kemenangan lawan sama artinya dengan menuduh sebagian besar rakyat
telah salah memilih pemimpin.
Selain itu, keistimewaan utama pilpres 2014 tentu saja adalah
fenomena terpilihnya pemimpin baru, Joko Widodo (Jokowi), yang disebut Joe
Cochrane dalam The New York Times edisi 22 Juli 2014 sebagai "a child of the slum" dan
memiliki "a typical village
face", yang akhirnya menjadi Presiden RI ketujuh.
Tapi, lebih dari sekadar orang biasa yang berwajah ndeso,
keistimewaan Jokowi adalah kebersahajaan dan kesederhanaannya. Soal
kebersahajaan Jokowi ini, ada cerita menarik. Beberapa saat setelah Jokowi
dinyatakan sebagai pemenang pilpres versi sejumlah hitung cepat yang
kredibel, saya sempat berbincang dengan sejumlah teman yang sebelumnya aktif
berkeliling mengikuti kampanye capres nomor dua ini.
Kata mereka, untuk setiap perjalanan darat, Jokowi tak mau
menggunakan mobil yang lebih (mewah) daripada Kijang Innova. Kalau ada
panitia lokal yang menjemputnya menggunakan mobil mewah, ia akan
"mogok" dan tidak mau menggunakannya. Kalau tidak tersedia
kendaraan yang sesuai, ia bisa naik angkot, bajaj, atau ojek menuju lokasi
acara.
Sedangkan untuk rute jalur udara, Jokowi selalu menggunakan
penerbangan komersial dengan kelas ekonomi. Pesawat carteran yang disediakan
tim sukses dibiarkan terparkir di Bandara Halim Perdanakusuma. Pernah sekali
pesawat itu digunakan dalam kondisi terpaksa. Tentu, bagi anggota tim yang
terbiasa bermobil mewah, menyertai Jokowi akan menjadi pengalaman yang penuh
"penderitaan".
Dengan melihat gaya hidup Jokowi, salah satu anggota tim
suksesnya, Arif Budimanta, sangat yakin pemerintah yang akan datang bisa
melakukan efisiensi besar-besaran, terutama pada sektor anggaran perjalanan
dinas.
Jokowi bisa seperti Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong,
yang saat bepergian, baik saat bersama keluarga ataupun bersama anggota
kabinetnya, terbiasa memakai pesawat komersial. Padahal, sebagai negara kaya,
Singapura bisa menyediakan jet pribadi untuk sang Perdana Menteri.
Atau bisa juga seperti Presiden Filipina Benigno Aquino III,
yang sangat menyadari kondisi bangsanya. Ia tak mau bermewah-mewah hanya
sekadar untuk perjalanan dinas. Karena itu, tak jarang ia harus ikut terjebak
kemacetan di tengah jalan raya yang sibuk karena tidak menggunakan pengawalan
berlebihan.
Untuk efisiensi, langkah pertama yang harus dilakukan Jokowi
adalah merombak mekanisme kerja protokoler Istana yang high cost, banyak menghabiskan uang negara, dan ditengarai
menjadi lahan korupsi. Caranya, dengan merevisi undang-undang dan peraturan
pemerintah tentang keprotokolan serta mengajukan RUU Kepresidenan yang lebih
efisien dan efektif.
Tujuan merevisi keprotokolan yang dimaksudkan bukan sekadar
memangkas birokrasi yang feodalistik, sebagaimana yang pernah diupayakan
Presiden Abdurrahman Wahid. Yang lebih penting adalah memangkas biaya-biaya
yang tak penting, seperti yang sudah berlaku selama ini. Jika pola ini
diterapkan ke semua jajaran birokrasi, tentu akan terjadi efisiensi
besar-besaran.
Kedua, pesawat kepresidenan yang sudah dibeli Presiden SBY
dengan harga mahal bisa dilelang untuk memperoleh harga yang lebih tinggi
ketimbang saat dibeli. Selanjutnya, dalam perjalanan dinas, Jokowi dan Jusuf
Kalla bisa menggunakan pesawat komersial biasa.
Ketiga, subsidi bahan bakar minyak yang membebani anggaran
negara sudah waktunya dicabut. Saya kira rakyat akan mengerti jika dampak
positifnya dipaparkan sejelas-jelasnya kepada segenap rakyat. Apalagi yang
mengambil keputusan adalah presiden, yang menjadi contoh kesederhanaan dan
mendapat kepercayaan dari rakyat.
Kita yakin bahwa kesederhanaan pemimpin yang diikuti dengan
pola-pola efisiensi dalam menggunakan anggaran negara bisa menjadi modal awal
yang konstruktif untuk menjalankan pemerintahan yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar