Pemerasan
TKI
Joko Riyanto ; Alumnus Fakultas Hukum UNS, Surakarta
|
KORAN
TEMPO, 07 Agustus 2014
Pemerasan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) adalah buah dari
buruknya sebuah sistem, dalam hal ini sistem yang mengatur dan menangani
tenaga kerja. Ironisnya, sistem yang buruk tersebut masih terus dipakai tanpa
ada perbaikan. Diakui ataupun tidak, regulasi dan proteksi yang dilakukan
pemerintah selama ini masih sebatas elitis. Pemerintah belum bisa bekerja
secara masif untuk melindungi para TKI. Hingga kini, belum ada satu kebijakan
nyata yang tegas-tegas mampu meningkatkan perlindungan bagi TKI yang sedang
berjuang mengais rezeki di luar negeri.
Selama ini, keberadaan TKI hanya dijadikan obyek penambah
pundi-pundi devisa negara. Ironisnya, seringkali kegiatan TKI diabaikan dalam
proses pembangunan nasional, bahkan dijadikan sasaran empuk untuk dipeloroti
dan dieksploitasi. Para TKI belum merasakan "manisnya" kebijakan negara
dalam hal perlindungan. Padahal, jasa mereka besar dalam menyetorkan devisa
negara. Realitas TKI dengan demikian menjadi sebuah realitas ekonomi-politik
yang benar-benar terlupakan.
Sukarno-Hatta sering mengutip ucapan Helfferich, bahwa Indonesia
adalah bangsa kuli di bawah bangsa-bangsa lain (eine Nation von kuli und kuli unter den Nationen), yang
kadang-kadang kita dramatisasi sendiri sebagai het zachtste volk ter aarde, een koelie onder de volkeren. Itu
merupakan suatu julukan buat keinlanderan bangsa kita. Hatta menyebut hal ini
sebagai "kerusakan sosial" akibat penindasan VOC, cultuurstelsel, dan kebengisan dalam
pelaksanaan Agrarische Wet 1870.
Kemartabatan koelie ini ternyata tetap laten, bahkan sering
tertransformasi ke dalam proses kuasi-modernisasi dengan segala kesemuannya.
Atau adagium absurd ini betul-betul
menjadi "senjata makan tuan", menjadi suatu self-fulfilling prophecy karena hakikat keminderan tidak terkikis
oleh sisa-sisa keinlanderan. Bangsa ini berjalan di tempat dalam upaya
"mencerdaskan kehidupan bangsanya" (Sri-Edi Swasono, 2004).
Setelah inspeksi mendadak Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri
di Bandara Soekarno-Hatta, pelaku pemerasan layak diberi sanksi hukum yang
tegas dan keras. Kemenakertrans, BNP2TKI, Angkasa Pura II, dan pihak terkait
perlu dievaluasi dan direformasi, khususnya dalam pelayanan dan perlidungan
TKI. Hanya dengan komitmen tinggi, keseriusan, kemauan politik yang
benar-benar direalisasi, sikap tegas-berani, dan dukungan semua pihaklah TKI
akan merasa terlindungi.
Potret buram TKI hanya bisa dihapuskan oleh model kepemimpinan
yang kuat dan perbaikan kebijakan perlindungan TKI yang berstandar hak asasi
manusia. Apalagi, pemerintah pada 12 April 2012 telah meratifikasi konvensi
internasional tentang perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota
keluarganya. Presiden baru diharapkan lebih perhatian dan peduli terhadap
perlindungan TKI, sekaligus menghapus stigma bangsa kuli yang masih melekat
kuat. Inilah sesungguhnya yang harus dilakukan bila ingin dinilai sebagai
negara yang beradab dan berdaulat. Jangan biarkan TKI terus menderita,
apalagi dijadikan sapi perahan saat kembali ke negeri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar