Trah
Heri Priyatmoko ; Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM
|
KORAN
TEMPO, 07 Agustus 2014
Ngumpulke balung pisah. Itulah aforisma Jawa yang ajek dipakai untuk menegaskan
mengapa perlu digelar reuni ataupun kumpul bareng keluarga selama masa
Lebaran. Selarik ungkapan lokal tersebut menunjukkan bahwa nenek moyang kita
memahami betapa pentingnya menyatukan seluruh keturunan dari seorang tokoh ke
dalam ikatan historis agar hubungan sosial kian akrab alias ora kepedotan
paseduluran. Caranya, dibentuk paguyuban atau trah. Sanak keluarga yang
berada dalam satu garis keturunan namun terpisah akibat faktor geografis dan
kesibukan kerja dapat dieratkan kembali.
Lebaran, mudik, dan bertemu saudara merupakan bahan-bahan yang
membantu kita merekonstruksi dan menebalkan ingatan tentang sejarah keluarga
yang terbungkus dalam trah. Ini tidak bisa dikatakan sebagai watak milik
penduduk yang berlatar belakang petani dan hidup dalam kultur feodalisme
semacam masyarakat Jawa.
Iklan obituari di halaman koran merupakan sekeping fakta yang
membuktikan fenomena trah tumbuh subur dan merayap di lingkungan perkotaan
dewasa ini. Jika kita jeli mengamatinya, dalam sebuah iklan surat kabar,
kerap tersaji nama suatu keluarga besar sehubungan dengan meninggalnya
seseorang. Kian terkenal nama moyang yang disebut, kian ia mengesankan
pembacanya. Selain pihak pemasang iklan merasa perlu menonjolkan nama
leluhurnya dalam iklan yang dipasang dalam surat kabar, pihak pembaca dibikin
terkesan oleh pemuatan iklan berleluhur orang terkemuka. Dan, bukan hanya
orang Jawa, para sahabat Tionghoa juga sadar akan pentingnya genealogi
sejarah keluarga ini dengan melihat orang yang memasang iklan obituari.
Sulit melacak mulai kapan trah muncul dalam tradisi masyarakat
Indonesia. Yang pasti, pada 1930-an, sudah ditemukan istilah dalam bahasa
Belanda: familiebonden. Arti dari terminologi ini adalah himpunan-himpunan
keluarga yang bertujuan menyatukan orang-orang dari satu keturunan. Jurnalis
cum budayawan, Marbangun Hardjowirogo (1984), mengatakan bahwa apa yang
terjadi pada tahun-tahun belakangan ini sesungguhnya kelanjutan dari zaman
kolonial.
Pertemuan keluarga besar pada momen tertentu dan saling
tolong-menolong bila ada keluarga yang kesusahan merupakan kelaziman. Bahkan,
berbagai organisasi yang ada kala itu sudah menyediakan beasiswa bagi
anak-anak berbakat yang orang tuanya kurang mampu mengongkosi studi para
putranya.
Agenda penting lainnya yang diselenggarakan keluarga besar
adalah ziarah di makam moyang. Di area kuburan, kramatan, makaman, hastana,
pasarean, atau jaratan tersebut, kesadaran anggota keluarga dipelihara bahwa
mereka yang hadir merupakan keturunan dari moyang yang sama yang wajib untuk
dihormati. "Berkat mereka (yang dikubur), kita ada" adalah kalimat
yang sering meluncur dari sesepuh untuk menjelaskan akar sejarah keluarga.
Dengan trah ini pulalah setidaknya orang menjadi tahu siapa saja
sanak saudaranya yang tersebar di berbagai daerah dan hanya bisa ngumpul
sewaktu Lebaran. Bahkan, pada saat pileg dan pilpres kemarin, trah menjelma
menjadi kekuatan besar untuk mendukung seseorang yang masuk jaringan keluarga
meski jauh. Menimbang banyaknya manfaat adanya trah, apakah Anda tidak ingin
membentuk trah keluarga? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar