“Fee
Transaksi” DPRD
Fajar Sidik ;
Alumnus Program Pascasarjana
Magister Administrasi Publik Fisipol UGM
|
REPUBLIKA,
19 Agustus 2014
Catatan buruk dan tampaknya tak akan pernah kapok dilakukan para
anggota dewan daerah patut menjadi sorotan tegas. Masalahnya, dalam sembilan
tahun terakhir saja, Kemendagri sudah mencatat 3.169 anggota DPRD provinsi,
kabupaten, dan kota yang terjerat kasus korupsi (Republika, 14/8). Yang menarik untuk dipertanyakan adalah mengapa
korupsi masih tumbuh subur di DPRD? Siapa aktor yang dapat dikatakan paling
dominan dalam mendorong tindakan tersebut? Dan pola "permainan"
seperti apa yang dijadikan pintu masuknya?
DPRD menjadi rumah kerja para wakil daerah yang dipilih oleh
rakyat secara langsung pada pileg. Dipilih karena sebagai bentuk
kepercayaannya agar aspirasi mereka dapat terpenuhi dengan baik. Sayangnya,
justru tindakan korupsi diutamakan ketika sudah menjabat dan lupa akan
aspirasi kepentingan publik. Faktanya, dari rilis terbaru data Kemendagri
(2005-2014) menyebutkan 10 peringkat korupsi DPRP per provinsi didominasi
oleh Jawa Timur sebanyak 36 kasus, Jawa Tengah (28 kasus), Jawa Barat (25
kasus), Sumatra Utara (20 kasus), NTT (15 kasus), Sumatra Barat (13 kasus),
Kalimantan Barat(13 kasus), kemudian Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan
Papua masing-masing sebanyak 12 kasus menjadi gambaran jamak yang masif
terjadi di daerah-daerah hingga sekarang ini.
Kita berkeinginan memberantas korupsi padahal kenyataannya
masyarakat tanpa sadar justru melegalkan tindakan tersebut. Dengan menerima
bantuan, berarti sama saja rakyat membuka ruang lebih kuat agar para anggota
dewan untuk berkorupsi ria. Sebab, bukan rahasia lagi bahwa setiap calon
dewan yang akan menduduki kursi DPRD rela merogoh kocek hingga menghabiskan
dana yang lumayan fantastis, yaitu kisaran 250 juta-500 juta hingga milyaran
lebih dalam rebutan jabatan politis ini. Perlu Anda ketahui bahwa gaji
anggota DPRD hanya kurang lebih 10-20 juta per bulan. Untuk menutup modal
awal menjadi logika dasar mereka berperilaku koruptif semasa menjabat. Tidak
ada pemberian yang gratis/tanpa syarat soal politik seperti itu.
Fee Transaksi
Kondisi ini diperparah dengan "permainan" yang
dilakukan oleh para aktor elite legislatif pada sistem pemerintahannya.
Sepakat atau tidak sepakat, komitmen untuk tidak melakukan tindakan korupsi
tergantung kepentingan internal di dalam DPRD. Berbagai kepentingan dan
kuatnya ego kepentingan partai pengusung membuat segala sesuatunya terjadi
dalam koridor ini. Tidak bisa kita dimungkiri, Nort (1990) pun menegaskan
bahwa transaksi fee menjadi salah satu bentuk biaya transaksi politik (political transaction cost) yang
paling menonjol dibanding transaksi lainnya menjadi pertimbangan kuat
maraknya tindakan korupsi yang terjadi di DPRD.
Fee atau sering disebut "uang lelah" dalam setiap
pembahasan RAPBD menjadi contoh "permainan" oleh para aktor elite
legislatif dalam koridor tersebut. Berdasarkan disertasi Marlan Hutaean
(2013) menunjukkan hasil penelitian bahwa permintaan fee bisa terjadi karena
DPRD melihat wali kota dan pimpinan SKPD melakukan "permainan"
dalam anggaran. Akibatnya, dewan pun berkeinginan mendapatkan bagian dari
anggaran yang dipermainkan tadi. Faktanya, ditemukannya besaran fee yang
dimintakan berkisar 2,5-4 persen dari belanja modal selama pembahasan APBD TA
2006-2008. Pemberiaan fee oleh wali kota kepada DPRD kian menjadi fenomena
yang lumrah di pemerintahan kabupaten/kota. Permainan inilah yang menjadi
akrobatik para aktor elite daerah dalam melakukan tindakan korupsi.
Dominasi pemimpin daerah
Bukti di atas menjadi petunjuk kuatnya dominasi peranan pemimpin
daerah. Tak salah jika Djohermansyah Djohan juga mengatakan bahwa selain para
anggota dewan, terdapat 1.221 PNS yang terlibat korupsi karena meniru pejabat
instansi dan kepala daerah yang juga melakukan tindakan korupsi tersebut (Republika, 14/8). Sebab, begitu
besarnya peran dan fungsi pemimpin menjadi figur utama dalam membuat komitmen
untuk tidak melakukan tindakan korupsi. Semakin besar kepala daerah untuk
terlibat korupsi, maka semakin besar pulalah para anggotanya terdorong untuk
melakukan tindakan korupsi. Begitu juga sebaliknya, keteladanan seorang
pemimpin daerah dapat menjadi indikator utama dalam membawa keberhasilan
maupun kegagalan dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi menjadi
contoh pentingnya.
Menurut saya, terjadinya permainan antar aktor elite ini
merupakan bukti gagalnya peran formal institusional karena peran informal
institusional lebih dominan dalam proses pembuatan APBD. Dalam hal ini
sejalan dengan apa yang ditekankan C Wright Mills (1956) dalam teori elite
politik bahwa kesepakatan atau ketidaksepakatan dibangun di antara para elite
aktor kebijakan sesuai preferensi dan kepentingan mereka.
Permainan yang terjadi di antara para aktor elite bukanlah
karena memperjuangkan kepentingan publik. Akan tetapi, publik (masyarakat,
LSM, media massa) dikondisikan sedemikan rupa untuk tidak terlibat, sehingga
akses dalam mempengaruhi keputusan para elite aktor kebijakan pemerintahan
di-setting agar tidak terjadi. Selama kondisi seperti inilah, korupsi di DPRD
masih akan tetap tumbuh subur. Tegas bahwa permainan anggaran RAPBD dengan "fee transaksi" yang
dilakukan oleh para aktor elite politik daerah menjadi pintu utama maraknya
tindakan korupsi yang terjadi rumah para wakil rakyat daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar