Rabu, 20 Agustus 2014

“Fee Transaksi” DPRD

                                            “Fee Transaksi” DPRD

Fajar Sidik  ;   Alumnus Program Pascasarjana
Magister Administrasi Publik Fisipol UGM
REPUBLIKA, 19 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Catatan buruk dan tampaknya tak akan pernah kapok dilakukan para anggota dewan daerah patut menjadi sorotan tegas. Masalahnya, dalam sembilan tahun terakhir saja, Kemendagri sudah mencatat 3.169 anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota yang terjerat kasus korupsi (Republika, 14/8). Yang menarik untuk dipertanyakan adalah mengapa korupsi masih tumbuh subur di DPRD? Siapa aktor yang dapat dikatakan paling dominan dalam mendorong tindakan tersebut? Dan pola "permainan" seperti apa yang dijadikan pintu masuknya?

DPRD menjadi rumah kerja para wakil daerah yang dipilih oleh rakyat secara langsung pada pileg. Dipilih karena sebagai bentuk kepercayaannya agar aspirasi mereka dapat terpenuhi dengan baik. Sayangnya, justru tindakan korupsi diutamakan ketika sudah menjabat dan lupa akan aspirasi kepentingan publik. Faktanya, dari rilis terbaru data Kemendagri (2005-2014) menyebutkan 10 peringkat korupsi DPRP per provinsi didominasi oleh Jawa Timur sebanyak 36 kasus, Jawa Tengah (28 kasus), Jawa Barat (25 kasus), Sumatra Utara (20 kasus), NTT (15 kasus), Sumatra Barat (13 kasus), Kalimantan Barat(13 kasus), kemudian Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua masing-masing sebanyak 12 kasus menjadi gambaran jamak yang masif terjadi di daerah-daerah hingga sekarang ini.

Kita berkeinginan memberantas korupsi padahal kenyataannya masyarakat tanpa sadar justru melegalkan tindakan tersebut. Dengan menerima bantuan, berarti sama saja rakyat membuka ruang lebih kuat agar para anggota dewan untuk berkorupsi ria. Sebab, bukan rahasia lagi bahwa setiap calon dewan yang akan menduduki kursi DPRD rela merogoh kocek hingga menghabiskan dana yang lumayan fantastis, yaitu kisaran 250 juta-500 juta hingga milyaran lebih dalam rebutan jabatan politis ini. Perlu Anda ketahui bahwa gaji anggota DPRD hanya kurang lebih 10-20 juta per bulan. Untuk menutup modal awal menjadi logika dasar mereka berperilaku koruptif semasa menjabat. Tidak ada pemberian yang gratis/tanpa syarat soal politik seperti itu.

Fee Transaksi

Kondisi ini diperparah dengan "permainan" yang dilakukan oleh para aktor elite legislatif pada sistem pemerintahannya. Sepakat atau tidak sepakat, komitmen untuk tidak melakukan tindakan korupsi tergantung kepentingan internal di dalam DPRD. Berbagai kepentingan dan kuatnya ego kepentingan partai pengusung membuat segala sesuatunya terjadi dalam koridor ini. Tidak bisa kita dimungkiri, Nort (1990) pun menegaskan bahwa transaksi fee menjadi salah satu bentuk biaya transaksi politik (political transaction cost) yang paling menonjol dibanding transaksi lainnya menjadi pertimbangan kuat maraknya tindakan korupsi yang terjadi di DPRD.

Fee atau sering disebut "uang lelah" dalam setiap pembahasan RAPBD menjadi contoh "permainan" oleh para aktor elite legislatif dalam koridor tersebut. Berdasarkan disertasi Marlan Hutaean (2013) menunjukkan hasil penelitian bahwa permintaan fee bisa terjadi karena DPRD melihat wali kota dan pimpinan SKPD melakukan "permainan" dalam anggaran. Akibatnya, dewan pun berkeinginan mendapatkan bagian dari anggaran yang dipermainkan tadi. Faktanya, ditemukannya besaran fee yang dimintakan berkisar 2,5-4 persen dari belanja modal selama pembahasan APBD TA 2006-2008. Pemberiaan fee oleh wali kota kepada DPRD kian menjadi fenomena yang lumrah di pemerintahan kabupaten/kota. Permainan inilah yang menjadi akrobatik para aktor elite daerah dalam melakukan tindakan korupsi.

Dominasi pemimpin daerah

Bukti di atas menjadi petunjuk kuatnya dominasi peranan pemimpin daerah. Tak salah jika Djohermansyah Djohan juga mengatakan bahwa selain para anggota dewan, terdapat 1.221 PNS yang terlibat korupsi karena meniru pejabat instansi dan kepala daerah yang juga melakukan tindakan korupsi tersebut (Republika, 14/8). Sebab, begitu besarnya peran dan fungsi pemimpin menjadi figur utama dalam membuat komitmen untuk tidak melakukan tindakan korupsi. Semakin besar kepala daerah untuk terlibat korupsi, maka semakin besar pulalah para anggotanya terdorong untuk melakukan tindakan korupsi. Begitu juga sebaliknya, keteladanan seorang pemimpin daerah dapat menjadi indikator utama dalam membawa keberhasilan maupun kegagalan dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi menjadi contoh pentingnya.

Menurut saya, terjadinya permainan antar aktor elite ini merupakan bukti gagalnya peran formal institusional karena peran informal institusional lebih dominan dalam proses pembuatan APBD. Dalam hal ini sejalan dengan apa yang ditekankan C Wright Mills (1956) dalam teori elite politik bahwa kesepakatan atau ketidaksepakatan dibangun di antara para elite aktor kebijakan sesuai preferensi dan kepentingan mereka.

Permainan yang terjadi di antara para aktor elite bukanlah karena memperjuangkan kepentingan publik. Akan tetapi, publik (masyarakat, LSM, media massa) dikondisikan sedemikan rupa untuk tidak terlibat, sehingga akses dalam mempengaruhi keputusan para elite aktor kebijakan pemerintahan di-setting agar tidak terjadi. Selama kondisi seperti inilah, korupsi di DPRD masih akan tetap tumbuh subur. Tegas bahwa permainan anggaran RAPBD dengan "fee transaksi" yang dilakukan oleh para aktor elite politik daerah menjadi pintu utama maraknya tindakan korupsi yang terjadi rumah para wakil rakyat daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar