Sabtu, 23 Agustus 2014

Politisasi Birokrasi

                                                   Politisasi Birokrasi

Salahudin  ;   Dosen Ilmu Pemerintahan Univ. Muhammadiyah Malang,
Penulis buku “Catatan Politik di Tahun Politik”, Terbit 2014
OKEZONENEWS, 21 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Salah satu tesis Karl Marx yang terkenal yaitu mengenai makna subyektifitas. Menurut Karl Marx struktur negara termasuk birokrasi tidak pernah netral (obyektif) dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Mereka pasti dan akan berpihak kepada kepentingan-kepentingan politik yang mereka miliki (subyektif). Tesis ini relevan untuk menggambarkan perilaku birokrasi di tahun politik seperti yang berlangsung saat ini. Birokrasi mulai dari struktur yang teratas hingga terendah menampakkan perilaku subyektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Mereka mengedepankan kepentingan politik masing-masing.
   
Perilaku subyektif Presiden SBY mendapat kritikan tajam dari publik. Sejatinya Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan harus menunjukkan perilaku obyektif, namun kepentingan politik memaksa Presiden SBY untuk subyektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Ironisnya, Presiden SBY terang-terangan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan politik. Presiden SBY menggunakan pesawat kenagaraan untuk menuju daerah kampanye partai politik yang dipimpinnya. Dan pada saat itu, Presiden SBY didampingi oleh beberapa menteri negara.
   
Perilaku Presiden SBY tersebut diikuti oleh sejumlah menteri terutama menteri yang berasal dari partai politik. Para menteri yang berasal dari partai politik rela meninggalkan tugas negara demi menjalankan tugas politik (kampanye politik). Para menteri-menteri itu tidak berdaya dengan desakan partai politik untuk melaksanakan program-program politik demi mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Pada konteks ini, pandangan dan pemikiran mereka bukan lagi menegakkan profesionalitas sebagai birokrasi, namun menegakkan dan menjunjung tujuan-tujuan politik partai politik.
   
Kepala daerah (Gubernur, Wali Kota, Bupati), tidak kalah dengan perilaku subyektif presiden dan para menteri. Bahkan kepala daerah lebih subyektif dari Presiden dan para menteri. Hanya saja kepala daerah tidak cukup intens disorot media dan masyarakat, sehingga informasi mengenai kepala daerah menjalankan tugas-tugas politiknya cukup terbatas. Pada hakikatnya mereka intens menjalankan tugas-tugas politiknya. Mereka berusaha secara langsung mengarahkan massa dan kekuatan-kekuatan lain untuk mendukung kepentingan politik mereka masing-masing. Bahkan di antara mereka tidak segan-segan menginstruksikan birokrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS), para Camat, para Lurah, dan Kepala Desa untuk mendukung penuh kepentingan politik mereka.
   
Politisi Dewan Perwakilan Rakyat baik di pusat maupun di daerah sangat intens dan sistematis menjalankan agenda-agenda politik mereka masing-masing. Mereka menempatkan agenda politik sebagai agenda penting dari pada agenda profesional kelembagaannya. Mereka lebih memikirkan kepentingan politik pribadi dan partai daripada kepentingan negara dan rakyat. Sehingga slogan yang terbentuk “Dewan dari Rakyat dan untuk Partai”. Menurut saya, kendati mereka sebagai politisi sejatinya tidak pantas untuk terlalu mengedepankan agenda politik karena mereka berada di bawah naungan lembaga negara (legisaltif) yang mestinya harus mengedepankan agenda profesionalitas kelembagaan (menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, anggaran).
   
Perilaku subyektif Presiden, para meteri, dan kepala daerah dilakukan dalam berbagai bentuk diantaranya turun langsung untuk membantu partai politik melalui kampanye politik, membuat peraturan perundang-undangan yang berpihak kepada kepentingan politik pribadi dan partai, dan membuat kebijakan anggaran untuk membiayai program-program yang berorientasi politis. Bentuk pertama dilakukan pada saat Pemilu seperti saat ini. Pada saat Pemilu para pejabat negara didesak partai politik untuk turun langsung melakukan kampanye politik yang bertujuan mendapatkan simpati rakyat untuk mendukung kepentingan politik partai politik. Partai politik mendesak para kadernya yang berada di struktur birokrasi negara untuk membantu melakukan kampanye politik. Pada konteks ini, para pejabat negara tidak lagi patuh terhadap aturan negara namun lebih patuh terhadap aturan partai dan pimpinan partai.
   
Fenomena perilaku subyektif para pejabat semakin menguat dan sistematis dengan membentuk kebijakan anggaran (APBN/APBD) untuk mendukung program-program pembangunan yang berlabelkan kerakyatan. Memasuki tahun politik para pejabat negara (Presiden, DPR/D, Menteri, dan Kepala Daerah) senang menyusun kebijakan anggaran yang berpihak kepada program-program yang berlabelkan kerakyatan seperti BLSM, BLT, PNPM, Raskin, Bansos, dan segala macam program lainnya. Sesungguhnya program-program tersebut semata-mata untuk kepentingan politik para pejabat negara. Program-program itu hanya dibuat berdasarkan kepentingan politik. Karena itu, seringkali program-program tersebut dibuat tanpa didasari kajian yang mendalam sehingga tidak berdampak positif bagi kehidupan masyarakat.
   
Fenomena subyektif pejabat negara seperti yang dibahas di atas menunjukkan teori Marx tentang makna subyektifitas struktur negara merupakan hal yang nyata terjadi dalam kehidupan birokrasi negara. Menurut Marx, negara seperti ini akan menjadikan dirinya sebagai eksploitator yang menyedihkan bagi kehidupan masyarakat. Teori Marx tersebut tidak direspons positif, justru dikritik oleh pemikir strukturalis fungsional seperti Weber. Bagi Weber birokrasi adalah struktur negara yang profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai peraturan hukum dan prosedur yang berlaku. Memahami fenomena subyektif birokrasi yang dibahas di atas menunjukkan teori Weber tentang profesionalitas birokrasi hanya impian dan normatif belaka. Dalam teori Weber tolok ukur profesionalitas birokrasi adalah menjalankan tugas dan fungsi berdasarkan keahlian, prosedur, peraturan hukum, dan berorientasi melayani publik (masyarakat).
   
Hendaknya para pejabat negara memiliki komitmen untuk menempatkan diri sebagai birokrasi profesional. Jika saat ini para pejabat negara menginginkan kehidupan bernegara bebas dari KKN, hendaknya mereka harus netral, profesional, dan mengedepankan kepentingan negara dan masyarakat, bukan kepentingan pribadi dan partai politik. Semoga para pejabat negara pada pemilu 2014 ini segera memiliki political and good  will untuk menempatkan diri mereka sebagai pejabat publik, dari publik, dan untuk publik, bukan untuk pribadi dan partai politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar