Sabtu, 23 Agustus 2014

Pentingnya Power Sharing

                                        Pentingnya Power Sharing

Ardi Winangun  ;   Pengamat Politik
OKEZONENEWS, 22 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Pemenang Pemilu Presiden, Jokowi, sudah ancang-ancang membentuk susunan para pembantunya, menteri. Untuk mencari siapa orang yang cocok dan layak membantu Jokowi, pria asal Solo, Jawa Tengah, itu membentuk Tim Transisi. Kepada orang-orang yang berada di tim itulah, Jokowi meminta masukan dan saran.

Sebagai orang yang berpikiran sederhana namun Jokowi mempunyai pendirian yang idealis. Jauh-jauh hari sebelum Pemilu Presiden dilakukan, ia berkoar-koar bahwa koalisi yang dibangun adalah koalisi tanpa syarat. Jadi tak ada syarat bila partai politik hendak berhimpun untuk mendukung dirinya dalam Pemilu Presiden. Bila ada partai politik yang menyodorkan berapa menteri yang diiinginkan, sebagai syarat dukungan, pastinya tawaran itu akan ditolak. Dengan prinsip itu, maka banyak partai politik yang enggan melabuh kepadanya.

Syarat yang demikian, oleh Jokowi akan diperketat dengan ‘aturan’ bahwa menteri yang kelak masuk dalam kabinetnya tidak boleh merangkap jabatan sebagai strategis di partai politik. Jadi kelak tidak tidak ada menteri yang sekaligus ketua umum, sekretaris umum, atau jabatan penting lain di partai politik.

Apa yang diinginkan dan diharapkan Jokowi itu bagus. Dengan demikian para menteri akan serius mengurus bidangnya tanpa dibebani oleh urusan-urusan lain. Seperti di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, banyak menteri yang merangkap sebagai ketua umum dan pengurus penting lain di partai politik sehingga selain mengganggu kinerja juga menjadikan kementerian itu menjadi sapi perahan untuk mendanai kegiatan dan aktivitas partai politiknya. Akibat yang demikian beberapa menteri tersandung masalah korupsi.

Namun benarkah Jokowi akan seidealis itu? Kalau kita lihat, Jokowi adalah Walikota Solo yang sukses. Berkat blusukan dan gaya kepemimpinannya di kota itu, dirinya mendadak popular hingga menarik banyak orang atas dirinya. Kepopularannya itu membuat dirinya melesat menjadi Gubernur Jakarta hingga akhirnya menang dalam Pemilu Presiden versi KPU.

Tetapi kalau kita cermati dengan saksama, pengalaman Jokowi dalam masalah urusan pemerintahan dan politik masih dalam lingkup yang sempit atau belum banyak pengalaman sehingga kadang-kadang ia menggampangkan masalah dengan pengalaman dan idealismenya itu. Lihat saja ketika ia berkampanye di Pemilukada Jakarta yang lalu, dalam soal banjir ia mengatakan, problem macet dan banjir di Jakarta kelihatannya nggak sulit-sulit amat untuk diatasi.

Bila ia mengatakan hal demikian tentu masalah banjir dan macet bisa terurai saat ini namun buktinya Jakarta tetap banjir dan macet hingga saat ini. Jokowi mengatakan demikian karena ia mempunyai pengalaman saat memimpin Kota Solo, tapi masalahnya Solo kan bukan Jakarta.

Dengan modal pengalaman dalam lingkup kecil untuk menyelesaikan masalah yang lebih besar tentu hal demikian tidak akan bisa mengatasi masalah. Meski demikian Jokowi tetap pede dan idealisme. Bila ia masih pede serta idealisme tetapi dalam realitasnya tidak sesuai dengan hal yang demikian maka akan ada respons sebaliknya dari masyarakat.

Dalam menyusun kabinet para menteri, sepertinya Jokowi masih menggunakan pengalaman di Solo dan Jakarta. Bila demikian pasti akan menimbulkan masalah bagi partai politik pendukungnya. Sebagai partai politik pendukung tentu PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI ingin mendapat jatah yang layak dan adil dalam bagi-bagi kekuasaan. Hal itu wajar sebab mereka sudah bersusah payah dan mengorbankan seluruh kekuatannya untuk memenangkan Jokowi. Selain itu bagi-bagi kekuasaan dalam politik adalah hal yang wajar dan bukan suatu hal yang tabu, aib, atau memalukan.

Wajar bila PKB ingin mendapat jatah Menteri Agama sebab PKB memiliki sumber daya manusia untuk mengurusi masalah itu, sudah berpengalaman dalam soal agama dan masalah-masalah yang ada. Wajar juga PKB meminta jatah menteri karena ia sudah bekerja keras untuk Jokowi. Jadi PKB layak mendapat kue kekuasaan.

Bila permintaan PKB itu ditanggapi Jokowi dengan santai atau bahkan tidak menggubris tentu hal demikian akan membawa masalah ke depan bagi kelanggengan kekuasaannya.

Jokowi tidak tanggap dalam menanggapi aspirasi partai politik pendukungnya bisa jadi seperti alasan di atas bahwa ia terlalu pede, idealisme, dan pengalaman yang kurang dalam politik dan masalah-masalah yang lebih besar yang dihadapi. Sifat-sifat yang demikian membuat ia menggampangkan masalah.

Agar koalisi pendukung Jokowi tidak pecah maka Tim Transisi atau orang-orang di sekitar Jokowi harus bisa menjadi ‘guru’ dan ‘penasehat,’ agar Jokowi lebih aspiratif dalam soal menteri. Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah akomodatif terhadap partai politik yang mendukungnya dengan memasukan ketua umum partai menjadi menteri saja masih digoyang-goyang oleh DPR, apalagi kalau tidak mengakomodir mereka.

Kabinet Ahli yang diinginkan Jokowi itu bagus namun kondisi demikian bisa terjadi bila kekuasaan itu otoriter. Jaman Presiden Soeharto, para menterinya adalah orang-orang yang ahli sebab kursi di DPR dikuasai penuh, lembaga negara lain dikendalikan, dan press ditutup kebebasaannya.

Jokowi membentuk kabinet ahli murni 100 persen adalah sebuah mimpi dan angan-angan idealisme saja. Untuk itu Jokowi penting mengakomodir kekuatan partai politik dalam kekuasaannya. Banyak orang yang pintar dan ahli dari partai politik. Dan dengan adanya bagi-bagi kekuasaan maka stabilitas politik lebih terjaga. Untuk itu Jokowi harus lebih luwes dalam soal para menteri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar