Petruk
Jadi Raja
Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
KORAN
TEMPO, 04 Agustus 2014
Panakawan adalah lembaga kritik dunia feodal. Tanpa keberadaan
partai dan parlemen, wacana politik diambil alih dalang, sebagai bentuk
otoritas dari sistem nilai yang sudah tersedia, yang dalam pedalangan Jawa
disebut "pakem".
Maka, dengan improvisasi macam apa pun, perumusannya tetap,
bahwa terdapat tiga strata sosial dalam pewayangan. Strata tertinggi adalah
dewa-dewa. Strata di bawahnya adalah para kesatria. Dan strata terbawah
adalah rakyat jelata, yang berwujud para panakawan itu. Di antara para dewa
dan para kesatria, terdapatlah "strata antara", yakni manusia
setengah dewa yang, meskipun bertubuh manusia, tingkat kesuciannya
setara-jika tidak melebihi-dewa, yang dikenal sebagai para begawan ahli tapa.
Adapun para raksasa sebagai anasir kejahatan adalah oposisi abadi terhadap
semua strata.
Tampak hierarkis, tapi dalam kenyataannya merupakan suatu siklus,
karena panakawan sebagai representasi rakyat adalah dewa yang tersakti. Dalam
situasi krisis, yakni ketika berlangsung ketidakseimbangan politik, para
panakawan ini akan digambarkan mampu mengambil alih kekuasaan, tak
terkalahkan, sampai tiba waktunya mereka sendiri menyerahkan kembali
kekuasaan itu.
Dalam kebudayaan feodal, kekuasaan adalah sakral, sehingga
naiknya raja ke atas takhta sering dihubung-hubungkan dengan peristiwa
kosmis, seperti lewatnya meteor dan lain sebagainya. Kekuasaan didapat karena
"wahyu cakraningrat" (=membuat seseorang jadi manusia utama/raja),
suatu peristiwa supranatural yang ketika terjadi krisis harus diartikan bahwa
secara gaib pun wahyu cakraningrat ini sudah meninggalkannya, baik untuk
sementara maupun untuk selamanya. Adapun wahyu cakraningrat ini sering
dikonkretkan dalam bentuk pusaka, misalnya bintang jatuh-maksudnya batu
pecahan meteor-yang menjadi keris dan seterusnya.
Nah, apa yang terjadi dalam lakon wayang Petruk Jadi Raja?
Dikisahkan bahwa dalam perebutan Jamus Kalimusada (bentuk konkret wahyu bagi
Yudhistira, yang setelah "diislamkan" dianggap berasal dari
"kalimat syahadat") antara Dewi Mustakaweni yang berhasil
mencurinya dari Kerajaan Amarta dan Priyambada, anak Arjuna yang merebutnya
kembali, pusaka itu segera dititipkan kepada panakawan Petruk.
Setelah menghilang dengan pusaka itu, Petruk merebut sebuah
kerajaan dan menjadi raja dengan gelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot.
Sampai di sini, penafsiran berkembang. Yang ringan dan populer adalah
perilaku Petruk yang snob, seperti kere munggah bale (gelandangan kaya
mendadak) yang mengungkap banyak adegan konyol, sebagai orang mabuk kekuasaan
dan lupa diri dengan asal-usulnya. Dalam penafsiran ini, ditampilkan kontras
antara sikap mumpungisme "kampungan" dan tuntutan bagi kesatria
untuk bersikap "jaim" (akronim populer bagi "jaga image")
sesuai dengan kepantasan atas kedudukannya.
Penafsiran yang lebih serius menekankan posisi Petruk sebagai
panakawan (= teman yang tahu dan menyaksikan) alias rakyat, yang dalam hal
ini menyelamatkan Jamus Kalimusada alias sarana kesahihan untuk berkuasa.
Apabila sebelumnya pusaka ini berada di tangan Yudhistira sebagai legitimasi
kekuasaan, hilangnya legitimasi yang sebetulnya mandat dari rakyat adalah
situasi krisis.
Dengan begitu, Petruk sebagai representasi rakyat menyelamatkan
negara dari situasi krisis itu. Dalam hal lakon Petruk Jadi Raja, terdapat
prawacana bahwa dendam Mustakaweni atas kematian ayahnya, Niwatakawaca, yang
dibunuh Arjuna, menjadi penyebabnya; padahal raksasa Niwatakawaca dalam lakon
sebelumnya, Arjuna Wiwaha, juga menimbulkan krisis, karena memaksakan
kehendak mengawini bidadari Supraba. Dari krisis ke krisis, jadilah lingkaran
krisis.
Adalah situasi krisis tak teratasi yang membuat rakyat tersahihkan
mengambil alih kekuasaan dari golongan kesatria, yang di balik kegemarannya
berperang, sibuk "jaim" untuk menutupinya dengan peradaban. Ketika
perilaku Petruk yang kampungan sengaja dipamerkan, itu dapat dibaca sebagai
pembongkaran selubung peradaban atas krisis budaya-politik yang seperti
lingkaran setan.
Maka, ketika Jokowi dengan segala branding sebagai pemimpin
rakyat menjadi Presiden Republik Indonesia, suatu analogi dengan lakon Petruk
Jadi Raja bukanlah untuk menunjuk bagaimana perilaku "orang kampung"
kalau mengemban kekuasaan tertinggi, melainkan bagaimana ia yang didukung
rakyat untuk mengambil alih kekuasaan akan menyelamatkan bangsa dan negara
dari krisis yang seperti tiada habisnya.
Meskipun semangat Revolusi
Mental cocok dirujukkan dengan lakon Babad
Alas Wanamarta, ketika Jokowi masuk Istana Merdeka, tidak ada salahnya
meminta dalang wayang kulit memainkan Petruk
Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja)
sebagai peringatan atas dukungan rakyat untuk mengambil alih kekuasaan
tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar