Minggu, 10 Agustus 2014

Petruk Jadi Raja

Petruk Jadi Raja

Seno Gumira Ajidarma  ;  Wartawan
KORAN TEMPO, 04 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Panakawan adalah lembaga kritik dunia feodal. Tanpa keberadaan partai dan parlemen, wacana politik diambil alih dalang, sebagai bentuk otoritas dari sistem nilai yang sudah tersedia, yang dalam pedalangan Jawa disebut "pakem".

Maka, dengan improvisasi macam apa pun, perumusannya tetap, bahwa terdapat tiga strata sosial dalam pewayangan. Strata tertinggi adalah dewa-dewa. Strata di bawahnya adalah para kesatria. Dan strata terbawah adalah rakyat jelata, yang berwujud para panakawan itu. Di antara para dewa dan para kesatria, terdapatlah "strata antara", yakni manusia setengah dewa yang, meskipun bertubuh manusia, tingkat kesuciannya setara-jika tidak melebihi-dewa, yang dikenal sebagai para begawan ahli tapa. Adapun para raksasa sebagai anasir kejahatan adalah oposisi abadi terhadap semua strata.

Tampak hierarkis, tapi dalam kenyataannya merupakan suatu siklus, karena panakawan sebagai representasi rakyat adalah dewa yang tersakti. Dalam situasi krisis, yakni ketika berlangsung ketidakseimbangan politik, para panakawan ini akan digambarkan mampu mengambil alih kekuasaan, tak terkalahkan, sampai tiba waktunya mereka sendiri menyerahkan kembali kekuasaan itu.

Dalam kebudayaan feodal, kekuasaan adalah sakral, sehingga naiknya raja ke atas takhta sering dihubung-hubungkan dengan peristiwa kosmis, seperti lewatnya meteor dan lain sebagainya. Kekuasaan didapat karena "wahyu cakraningrat" (=membuat seseorang jadi manusia utama/raja), suatu peristiwa supranatural yang ketika terjadi krisis harus diartikan bahwa secara gaib pun wahyu cakraningrat ini sudah meninggalkannya, baik untuk sementara maupun untuk selamanya. Adapun wahyu cakraningrat ini sering dikonkretkan dalam bentuk pusaka, misalnya bintang jatuh-maksudnya batu pecahan meteor-yang menjadi keris dan seterusnya.

Nah, apa yang terjadi dalam lakon wayang Petruk Jadi Raja? Dikisahkan bahwa dalam perebutan Jamus Kalimusada (bentuk konkret wahyu bagi Yudhistira, yang setelah "diislamkan" dianggap berasal dari "kalimat syahadat") antara Dewi Mustakaweni yang berhasil mencurinya dari Kerajaan Amarta dan Priyambada, anak Arjuna yang merebutnya kembali, pusaka itu segera dititipkan kepada panakawan Petruk.

Setelah menghilang dengan pusaka itu, Petruk merebut sebuah kerajaan dan menjadi raja dengan gelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot. Sampai di sini, penafsiran berkembang. Yang ringan dan populer adalah perilaku Petruk yang snob, seperti kere munggah bale (gelandangan kaya mendadak) yang mengungkap banyak adegan konyol, sebagai orang mabuk kekuasaan dan lupa diri dengan asal-usulnya. Dalam penafsiran ini, ditampilkan kontras antara sikap mumpungisme "kampungan" dan tuntutan bagi kesatria untuk bersikap "jaim" (akronim populer bagi "jaga image") sesuai dengan kepantasan atas kedudukannya.

Penafsiran yang lebih serius menekankan posisi Petruk sebagai panakawan (= teman yang tahu dan menyaksikan) alias rakyat, yang dalam hal ini menyelamatkan Jamus Kalimusada alias sarana kesahihan untuk berkuasa. Apabila sebelumnya pusaka ini berada di tangan Yudhistira sebagai legitimasi kekuasaan, hilangnya legitimasi yang sebetulnya mandat dari rakyat adalah situasi krisis.

Dengan begitu, Petruk sebagai representasi rakyat menyelamatkan negara dari situasi krisis itu. Dalam hal lakon Petruk Jadi Raja, terdapat prawacana bahwa dendam Mustakaweni atas kematian ayahnya, Niwatakawaca, yang dibunuh Arjuna, menjadi penyebabnya; padahal raksasa Niwatakawaca dalam lakon sebelumnya, Arjuna Wiwaha, juga menimbulkan krisis, karena memaksakan kehendak mengawini bidadari Supraba. Dari krisis ke krisis, jadilah lingkaran krisis.

Adalah situasi krisis tak teratasi yang membuat rakyat tersahihkan mengambil alih kekuasaan dari golongan kesatria, yang di balik kegemarannya berperang, sibuk "jaim" untuk menutupinya dengan peradaban. Ketika perilaku Petruk yang kampungan sengaja dipamerkan, itu dapat dibaca sebagai pembongkaran selubung peradaban atas krisis budaya-politik yang seperti lingkaran setan.

Maka, ketika Jokowi dengan segala branding sebagai pemimpin rakyat menjadi Presiden Republik Indonesia, suatu analogi dengan lakon Petruk Jadi Raja bukanlah untuk menunjuk bagaimana perilaku "orang kampung" kalau mengemban kekuasaan tertinggi, melainkan bagaimana ia yang didukung rakyat untuk mengambil alih kekuasaan akan menyelamatkan bangsa dan negara dari krisis yang seperti tiada habisnya.

Meskipun semangat Revolusi Mental cocok dirujukkan dengan lakon Babad Alas Wanamarta, ketika Jokowi masuk Istana Merdeka, tidak ada salahnya meminta dalang wayang kulit memainkan Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja) sebagai peringatan atas dukungan rakyat untuk mengambil alih kekuasaan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar