Liburan
Musyafak ; Staf Balai Litbang Agama Semarang
|
KORAN
TEMPO, 05 Agustus 2014
Selain arus mudik dan gelombang balik, gerak liburan mewarnai
Lebaran. Orang-orang berbondong menuju kawasan-kawasan wisata hingga
menyesaki jalan. Macetnya jalan menuju Puncak di Bogor, atau membeludaknya
pengunjung Ragunan selama Lebaran, adalah tamsil benderang yang mengisahkan
rekreasi justru menjadi hajat penting pada Idul Fitri yang kudus.
Lebaran merupakan fenomena kultural yang berlekatan erat dengan
peristiwa keagamaan. Sebagai ritus spiritual umat muslim, Ramadan dan Idul
Fitri di Indonesia mendapatkan bentuk kultural yang unik dan khas, mulai dari
mudik, belanja, halalbihalal, anjangsana, sampai liburan. Lebaran maujud
sebagai ritus budaya yang terkemas dengan napas dan bingkai agama. Tradisi
Lebaran merangkum pelbagai hal yang sakral sekaligus profan, yang ukhrawi dan
duniawi.
Liburan masuk dalam agenda Lebaran, sebab pada Idul Fitri orang-orang
diliburkan dari pekerjaan. Libur keagamaan adalah momentum menunda atau
mengurangi aktivitas rutin untuk merayakan hari besar agama. Ditetapkannya
Idul Fitri sebagai hari libur nasional, sebagaimana hari-hari besar agama
lainnya, di satu sisi memberi kesempatan kepada umat muslim untuk merayakan
keberhasilan berpuasa, meresapi makna "kebaruan diri yang kembali
suci", dan memperbarui hubungan diri dengan agamanya. Sisi lainnya,
libur Lebaran menghadiahkan waktu rekreasi yang cenderung berwatak senang-senang.
Walhasil, Lebaran adalah hari kemenangan sekaligus kesenangan.
Mulanya, asal-usul hari libur nyaris selalu berhubungan dengan
agama. Hari libur diberikan sebagai izin bagi seseorang untuk menjalankan
tugas agama pada hari-hari khusus yang disucikan. Itulah sebabnya sebagian
bangsa Barat menyebut hari libur dengan "holiday" (holy + day) yang
berarti hari suci. Liburan berisi pemujaan untuk merawat serta menyuburkan
iman.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat modern menjelmakan hari
libur sebagai waktu rekreatif. Modernitas mengkonstruksikan makna hari libur
sebagai masa rehat dan bersantai tak ubahnya akhir pekan. Hari libur kini
ibarat masa perlawanan terhadap hari-hari normal yang sarat kerja atau
sekolah. Di hari libur, tempat-tempat ibadah justru kalah ramai dibanding
tempat-tempat wisata atau mal.
Di Indonesia, pengakuan pemerintah terhadap suatu agama punya
konsekuensi politik untuk memberikan hari libur pada hari-hari besarnya.
Negara meliburkan hari-hari besar agama-agama sebagai ikhtiar inklusif
terhadap warganya yang multiagama. Bahkan muncul kelakar yang mengatakan,
kalau mau lebih banyak hari libur, maka yang diperbanyak adalah jumlah agama.
Masyarakat yang berlainan agama menerima hari libur sebagai titah rohani,
berkah ekonomi, atau pemanjaan tubuh.
Kenapa, misalnya, masyarakat global kebanyakan libur kerja atau
sekolah di hari Minggu? Itu adalah urusan teologis yang disepakati secara
politis, sebagaimana negara-negara yang meliburkan warganya di hari Jumat.
Minggu adalah hari kebaktian umat Kristiani, sedang Jumat hari yang
dimuliakan umat muslim untuk salat Jumat. Nyatanya, di hari yang diliburkan
itu kita tak sekadar beribadah, tapi juga bersantai atau berpiknik.
Hari libur bukan semata-mata hari yang kudus lagi. Hari libur
adalah konstruksi teologis, kultural, dan politis sekaligus. Masyarakat
multiagama dan multikultur bebas menafsir dan mengisi kegiatan hari libur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar