Selasa, 19 Agustus 2014

Pentingnya Sejarah Tutur

                                         Pentingnya Sejarah Tutur

Ady Erlianto Setyawan  ;   Komunitas Roode Brug Soerabaia
JAWA POS, 19 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

JIKA kita berbicara mengenai sejarah era perang kemerdekaan, generasi muda yang aktif saat ini adalah generasi ketiga. Jumlah generasi pertama yang terlibat langsung dalam perang tersebut atau saksi sebuah peristiwa semakin lama semakin sedikit. Sialnya, yang berkaitan dengan hal itu, orang kita tidak memiliki budaya menulis. Namun, budaya tutur atau bercerita masih kita dapatkan dari kakek atau nenek kita mengenai susah senangnya hidup pada zaman tersebut.

Sekaranglah saatnya kita sebagai generasi ketiga yang didukung bermacam perkembangan teknologi segera menyimpan kisah-kisah mereka. Dengan perangkat handphone yang umum dimiliki saja, kita sudah bisa merekam, baik dalam bentuk suara maupun video. Apa sih pentingnya mendokumentasikan kisah mereka?

Februari 2014, saya berangkat menuju Pamekasan dengan sahabat saya, Marjolein van Pagee dari Belanda. Berbekal kisah seorang veteran Belanda tentang pertempuran di Alun-Alun Pamekasan yang berujung pada pembakaran tubuh para pejuang 1947. Saat kami sampai di Pamekasan, di lokasi kejadian, tidak dapat ditemui monumen penanda apa pun yang terlihat mata. Akhirnya, di areal parkir sepeda motor masjid, kami menemukan sebuah tulisan yang tidak terlalu terlihat dengan ketinggian sekitar 50 cm. Penanda lain adalah sebuah masjid besar di samping alun-alun dengan nama Masjid Syuhada. Namun, di antara sekian banyak orang yang kami temui di kawasan alun-alun tersebut, tidak seorang pun tahu ada peristiwa apa pada 1947.

Setelah mewawancarai penduduk yang berusia lebih dari 80 tahun, barulah kami mendapat sedikit demi sedikit gambaran tentang peristiwa tersebut. Ternyata, pada 16 Agustus 1947, seluruh elemen perjuangan Pamekasan, mulai Laskar Sabilillah, Hisbullah, dan TNI, bersepakat melakukan serangan mendadak dan besar-besaran. Ribuan pejuang turun gunung dan menyerang pusat kota pukul 03.00 dini hari.

Seperti halnya Serangan Umum di Jogjakarta, Belanda mundur meninggalkan Pamekasan selama enam jam. Ketika mereka kembali, diperkirakan sekitar 500 jenazah pejuang dikumpulkan di depan masjid dan dibakar, kemudian dikuburkan dalam satu lubang di lokasi yang sama. Jumlah korban maupun kekuatan penyerang masih spekulatif. Sama-sama serangan dadakan, sama-sama membuat Belanda mundur meninggalkan kota selama enam jam, sama-sama jatuh korban yang tidak sedikit. Namun, mengapa gaung Serangan Umum Jogjakarta lebih dikenang orang daripada Pamekasan?

Hal serupa saya temui di Jawa Barat, di sebuah desa bernama Legok. Pada 1949, desa tersebut dibombardir Belanda lewat serangan udara. Ketika melakukan wawancara, tidak ada seorang pun dari generasi kedua apalagi generasi ketiga yang pernah mendengar kejadian tersebut. Ketika berhasil menemui penduduk berusia lebih dari 80 tahun, mulailah kisah itu saya dapatkan. Bagaimana semua bermula, dampak yang ditimbulkan, dan keterangan lain. Bahkan, seorang penduduk masih menyimpan bom yang dijatuhkan Belanda dari pesawat, namun gagal meledak. Bom tersebut disimpan sebagai hiasan taman oleh beliau, dicat warna-warni.

Di Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur, pernah ada insiden yang berujung pembantaian warga desa. Rumah-rumah dibakar dan penduduk dieksekusi. Bahkan, di Desa Plimping ada makam masal. Sebenarnya, masih banyak lagi yang tidak mungkin saya tuliskan satu per satu. Namun, semua bermuara pada satu hal. Yaitu, tidak sampainya informasi sejarah dari generasi pertama ke generasi ketiga.

Tidak adanya budaya menulis saat peristiwa tersebut terjadi mungkin bisa sedikit dimaklumi. Sebab, kehidupan pada masa itu serbasulit dan angka buta aksara masih cukup tinggi. Tapi, untuk kita generasi ketiga, apakah masih ada alasan untuk tidak melakukan pencatatan atau pendokumentasian?

Beberapa orang berpendapat, bangsa kita adalah bangsa yang tidak memiliki kepedulian. Saya pribadi kurang sependapat dengan hal itu, meski mengalami sendiri di bermacam tempat yang saya kunjungi banyak pemuda yang benar-benar buta akan sejarah lokal kawasan tempat tinggal mereka sendiri. Permasalahan mereka bukanlah tidak peduli, namun lebih pada tidak mengetahui.

Hal itu terbukti ketika saya mewawancarai para orang tua mereka. Sebagian di antara mereka pun ikut duduk mendengarkan dan sesekali bertanya detail kejadian dengan antusias. Jika generasi ketiga itu sudah tahu detail sejarah namun tetap tidak melakukan apa pun, sebutan tidak peduli baru layak mereka sandang.

Dari bermacam kejadian tersebut, baik Madura, Jawa Barat, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur, semua berujung pada banyaknya korban yang jatuh di pihak kita, para leluhur kita. Baik tentara, laskar, maupun benar-benar warga sipil. Ketika mereka ditanya soal keberadaan TNI dan mereka memilih bungkam hingga berujung hilangnya nyawa, itu adalah pilihan yang harus sangat kita hormati. Setiap pengorbanan mereka layak kita kenang.

Bagaimana dengan validitas data sebuah wawancara? Kita memang tidak bisa 100 persen memercayai bahwa hasil wawancara merupakan sebuah fakta sejarah. Kita pasti akan berbenturan dengan sifat keakuan narasumber, dengan daya ingat yang makin menurun seiring bertambahnya usia dan bermacam hal lain. Namun, hal itu bisa kita atasi dengan mengambil sampel data wawancara sebanyak mungkin dan saling membandingkan hasil wawancara.

Cara efektif lain, berkaitan dengan sebuah insiden di suatu tempat, kota maupun desa pasti memiliki catatan. Siapa pemilik arsip catatan tersebut? Jawabannya adalah pasukan Belanda. Perang tersebut telah berlalu lebih dari 50 tahun. Kini sebagian arsip sudah bisa diakses. Hampir semua orang dari generasi ketiga ini ibarat memiliki KTP. Hampir semua orang memiliki akun jejaring sosial. Daripada memasang status-status patah hati, alangkah baiknya menjalin pertemanan dengan kawan-kawan generasi muda Belanda. Saling bertukar data dan informasi untuk kemudian berlanjut membuat sebuah buku bersama.

Jika generasi ketiga ini tidak segera mengangkat pena, apakah generasi muda di Indonesia akan rela nilai-nilai kejuangan leluhurnya hilang ditelan zaman? Mereka tidak akan selamanya menemani kita. Dalam waktu lima tahun ke depan, bisa jadi sudah tidak akan ada generasi pertama yang bisa kita temui. Mari kita catat, mari kita dokumentasikan. Seperti kata pepatah kuno, scripta manent verba volant, apa yang tercatat akan abadi dan yang terucap akan hilang terembus angin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar