Kesenyapan
Gairah Merdeka
Yudi Latif ;
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
19 Agustus 2014
Peringatan kemerdekaan tahun ini terasa lebih senyap. Renungan
reflektif, kibaran bendera dan umbul-umbul, kerlip lampu hias, aneka lomba,
pentas seni, dan histeria panjat pinang masih tersisa. Namun, ritus tahunan
pesta patriotik kerakyatan ini seperti tertelan luberan gairah perebutan
kekuasaan yang meredupkan api semangat proklamasi.
Kesenyapan ini pantas dirisaukan. Meskipun kelihatannya sekadar
ritus biasa, kandungan maknanya tak bisa disepelekan. Dalam momen ini,
sekat-sekat kelas, etnis, dan agama lebur melahirkan horizontal comradeship
dan nasionalisme kerakyatan. Di sinilah kekuatan khas Indonesia tampak.
Peringatan kemerdekaan dirayakan sejumlah bangsa di dunia, tetapi (biasanya)
tingkat kemeriahan dan keluasan partisipasinya nyaris tak ada yang menandingi
Indonesia. Ini terjadi karena perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya
melibatkan elite lewat gelanggang politik dan diplomasi, tetapi juga
menyertakan tembang, puisi, bambu runcing, dan air mata rakyat semesta.
Konsekuensi tak terduga dari kebijakan penjajahan Jepang yang
memobilisasi dukungan rakyat hingga ke pedesaan dalam rangka Perang Asia
Timur Raya telah memberi kesempatan dalam pembentukan bangsa ini untuk
bertransformasi dari kesadaran kebangsaan elitis menuju kebangsaan kerakyatan
(volksnation). Inilah yang membuat
kebanyakan rakyat negeri ini, betapapun terus-menerus dikhianati dan
dikorbankan oleh para pemimpinnya, tetap saja mencintai bangsanya.
Upacara seperti ini pun sangat penting untuk merajut kembali
bangun retak kebangsaan. Sebuah bangsa terbentuk karena jaringan memori
kolektif yang menimbulkan bayangan imajiner tentang kerabat sebangsa. Dalam
hal ini, ingatan dan pengetahuan ke belakang merupakan jangkar penemuan jati
diri bangsa. Kenyataan dan perilaku kita hari ini sangat ditentukan oleh
pengenalan sejarah masa lampau. Adapun bayangan kesilaman dan pengetahuan
kesejarahan dibawa dan dijaga oleh upacara peringatan (commemorative ceremonies).
”Upacara peringatan,” kata Paul Connerton (1989), ”akan
benar-benar bersifat komemoratif jika berbentuk pergelaran (performative);
dan pergelaran ini tak terbayangkan tanpa konsep kebiasaan (habit); adapun
kebiasaan tak terbayangkan tanpa praktik olah tubuh (tampilan fisik), seperti
cara berbusana, dekorasi, dan cara bertingkah.” Dengan demikian,
kemeriahan pesta rakyat dalam memperingati kemerdekaan, dengan segala
pergelarannya itu, bersifat konstruktif untuk menambatkan kembali bangsa pada
jangkar jati dirinya.
Namun, segala bentuk peringatan akan memperoleh kepenuhan
maknanya jika mengandung dimensi korektif: menyelami (tradisi) masa lalu
untuk menemukan (visi) masa depan. Dalam konteks ini, upacara peringatan
merupakan ruang liminal yang memberi kita kesempatan untuk jeda dari
rutinitas demi melahirkan energi baru.
Istilah liminal
sendiri berasal dari kata limen, yang berarti ’ambang batas’ atau ’ruang antara’. Dalam studi-studi
antropologi, istilah itu dimunculkan Arnold van Gennep (1960) untuk merujuk
pada ritus-ritus transisi antara ritus-ritus perpisahan dari dunia lama dan
upacara-upacara penasbihan memasuki dunia baru. Dalam studi-studi setelah masa
kolonial, istilah ini sering kali digunakan untuk merujuk pada ruang
transkultural tempat berlangsungnya proses pergerakan dan peralihan secara
terus-menerus di antara kondisi-kondisi yang berbeda.
Upacara peringatan sebagai titik liminal ini diharapkan menjadi
momen reflektif bagi segenap bangsa; dari mana kita bermula, di mana kita
sekarang, dan hendak ke mana kita menuju, dengan menginsafi kesalahan dan
penyimpangan yang dilakukan untuk kembali ke fitrah kemuliaannya sebagai
bangsa. Selepas peringatan, diharapkan terjadi proses restorasi etos dan
etika kebangsaan dengan komitmen luhur untuk menggelorakan api semangat
proklamasi.
”Semangat proklamasi,” ujar Bung Karno, ”adalah
semangat rela berjoang, berjoang mati-matian dengan penuh idealisme. Semangat
proklamasi adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan
tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Semangat proklamasi adalah
semangat membangun negara.... Dan manakala sekarang ada tanda-tanda
kelunturan dan degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan
degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!”
Untuk menghidupkan kembali semangat proklamasi, diperlukan para
pahlawan. Mereka yang terus-menerus memproduksi pahala dengan menyemai
kebaikan bagi kemaslahatan hidup bersama. Mereka yang lebih suka berbicara
dengan ”kata kerja” demi merealisasikan tujuan bernegara (yang juga
diungkapkan dalam kata kerja): melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan melaksanakan ketertiban dunia.
Kenyataan bahwa peringatan kemerdekaan tahun ini seperti
dihambarkan oleh pergelaran pertarungan kuasa yang tidak tahu kapan berhenti
mengindikasikan adanya ketercerabutan pilihan-pilihan elitis dari realitas
aspirasi dan jati diri bangsa. Politik yang sejatinya merupakan seni mulia
untuk meraih harapan dan memelihara kemaslahatan umum bergeser menjadi seni
meraih kekuasaan dengan memanipulasi rakyat yang dapat mengorbankan
impian-impian bersama.
Peringatan kemerdekaan harus menjadi wahana untuk menguatkan
kembali komitmen kebangsaan. Segala pertengkaran harus menemukan jalan
kembali ke semangat rela berjuang, semangat persatuan, dan semangat membangun
negara demi meraih cita-cita proklamasi: merdeka, bersatu, berdaulat, adil,
dan makmur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar