Penganggur
Transisi
Elfindri ;
Profesor Ekonomi SDM
dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas
Andalas, Padang
|
KORAN
SINDO, 20 Agustus 2014
Data
pengangguran yang diterbitkan selama lima tahun terakhir memang
menggembirakan. Pasalnya angka pengangguran terbuka turun dari 9,1% tahun
2007 atau 10,0 juta orang menjadi 6,1% tahun 2012 atau sebanyak 7,2 juta
orang. Memang kita sama-sama maklum bahwa penurunan angka pengangguran
terutama karena manfaat dari pertumbuhan ekonomi. Pengangguran yang tertinggi
adalah mereka yang berusia muda 15-24 tahun dan berpendidikan menengah (tamat
SMA/sederajat). Untuk mereka yang berpendidikan menengah tamat SMA, angka
pengangguran terakhir telah mencapai rentang 9,6% sampai 9,9%.
Tidak
ada tanda-tanda bahwa angka pengangguran tamat sekolah menengah atas vokasi
lebih rendah dibandingkan dengan tamatan SMA pendidikan umum. Secara implisit
memang pendidikan menengah pun belum memiliki daya saing. Banyak yang
menyangsikan kualitas dari penyelenggaraan pendidikan menengah mengingat
orientasi pendidikan kita belum menyiapkan mereka untuk siap pakai, atau siap
kerja. Pertanyaannya adalah dimensi apa yang tidak terbaca selama ini dalam
data pengangguran? Kenapa hal ini penting dan apa implikasinya?
Penganggur
Transisi?
Pemuda
dapat diasumsikan pada analisis ini mereka yang berusia 15-24 tahun.
Sekiranya kita lihat angka pengangguran terbuka pemuda, secara nasional tahun
2012 adalah sebesar 4,0 juta orang. Jumlah ini lebih separo dari pencari
kerja keseluruhannya. Namun ketika patokan kita dalam melihat keadaan adalah
pada mereka yang mencari pekerjaan, jelas itu ada pada usia muda.
Selain
jumlahnya besar, mereka terdidik dan pengangguran tentunya merupakan beban
sosial (social costs) yang serius.
Tampaknya ketika kita hanya mengakui mereka yang masuk ke dalam kelompok usia
angkatan kerja, jumlah pengangguran anak muda tidak seberat persoalan
pengangguran terbuka anak muda di negara-negara maju. Sebab angka
pengangguran anak muda telah mencapai di atas dua digit. Berbagai kajian
menemukan, ketika angka pengangguran anak muda tinggi, angka partisipasi
kerja penduduk usia tua mengalami peningkatan.
Akan
tetapi tunggu dulu, survei angkatan kerja memang memperlakukan mereka yang
masuk ke dalam usia kerja. Ketika kegiatan utama mereka adalah bekerja atau
mencari pekerjaan selama seminggu yang lalu masuk ke dalam angkatan kerja.
Bagaimana ketika anak muda berusia 15-24 tahun, mereka tidak bekerja, tidak
pula mencari pekerjaan? Mereka ketika ditanya juga tidak sedang sekolah atau
tidak mengurus rumah tangga. Maka opsi yang ada dalam jawaban adalah kelompok
ini adalah kelompok “lainnya”.
Masalahnya
adalah siapa mereka yang menjawab kelompok “lainnya” itu? Sebuah pertanyaan
penting mengingat dari segi jumlah, angkanya relatif cukup serius. Ketika
jumlah pengangguran pada kelompok usia 15-24 tahun adalah pada kisaran 10,1
juta orang, data mereka yang masuk usia yang sama yang berstatus “lainnya”
adalah sebanyak lebih 2 juta orang. Secara logika saja sebenarnya mereka yang
mengaku secara terang-terangan menganggur ditambah dengan mereka yang
sebenarnya masih tetap menganggur menjadi 6,1 juta orang.
Ini
menghasilkan proporsi mereka yang mesti mendapatkan penanganan yang bermakna
menjadi lebih luas dan semakin kompleks. Kelompok yang menganggur memang
tidak lagi sekolah, mereka sedang mencari pekerjaan. Sementara mereka yang
menjawab lainnya pada kelompok usia muda, diperkirakan mereka yang
sehari-harinya tidak sekolah lagi, mungkin sedang mempersiapkan diri untuk
melanjutkan pendidikan atau beraktivitas yang mereka akui tidak bekerja,
padahal mereka memerlukan pekerjaan. Kelompok inilah yang kita istilahkan
sebagai kelompok pengangguran “transisi”.
Dari
sisi penawaran supply side, mereka
yang masa transisi, selain berusia muda, tidak memiliki keterampilan yang
memadai untuk bekerja atau dengan kondisi tertentu mereka tetap bertahan
dengan kondisi seadanya, tidak berinisiatif untuk menambah keterampilan, atau
pasrah dengan keadaan yang ada. Apalagi aktivitas ekonomi sepi gara-gara
rendahnya investasi pada daerah tempat mereka tinggal. Begitu juga kelompok
transisi ini menjadi target tersendiri agar mereka semakin terbekali. Mereka
ini sekiranya tidak termasuk ke dalam target untuk mendapatkan kebijakan,
beban pasar kerja dalam waktu yang tidak terlalu lama akan semakin berat.
Tanggung
Jawab Siapa?
Pertanyaan
kita tentu ditujukan apakah mereka yang menganggur dibiarkan saja? Untuk
kelompok penganggur, jelas mereka tidak lagi terikat dalam sistem pendidikan.
Maka penganggur ini tentunya sebagian di antaranya adalah merupakan pekerjaan
rumah bagi pemerintah, terutama meningkatkan keterampilan mereka serta
menyalurkan mereka untuk dapat bekerja. Namun pada kelompok pemuda “lainnya”,
mereka tidak lagi sedang sekolah dan bukan merupakan tanggung jawab
departemen pendidikan, mengingat mereka bukan lagi pada rentang usia wajib
belajar.
Sementara
kelompok ini tidak juga merupakan definisi pencari kerja. Pemerintah bisa
lepas tangan karena tidak terdefinisi sebagai pencari kerja. Lantas siapa?
Sebenarnya telaah lebih mendalam diperlukan mengenai siapa dan kenapa mereka
masuk ke dalam kategori “lainnya”. Dalam kaitan ini setidaknya kita dapat
menetapkan lebih baik mereka masuk ke dalam kategori transisi selepas
menjalani pendidikan, kemudian sebaiknya mereka diarahkan pada penyediaan
keterampilan kerja.
Pastikanlah,
upaya untuk membekali keterampilan kerja dan membekali mereka untuk merasa
terpanggil bekerja adalah salah satu program penting pada masa yang akan
datang. Bukankah kita dapat melihat bahwa semakin besar partisipasi angkatan
kerja, semakin besar nilai tambah yang dihasilkan? Oleh karenanya, kita perlu
menyarankan, agenda peningkatan keterampilan dan kewirausahaan mesti dapat
meringankan beban tekanan pasar tenaga kerja pada masa yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar