ISIS
dan Tantangan Keutuhan Bangsa
RN Bayu Aji ;
Dosen Luar Biasa PPKN Universitas Airlangga dan Ilmu Sosial
Budaya Dasar di Universitas Ciputra Surabaya
|
KORAN
SINDO, 20 Agustus 2014
Terdapat
dua isu yang menarik untuk dicermati pada bulan Agustus ini, yakni ramainya
isu Islamic State of Iraq and Syiria
(ISIS) dan peringatan 69 tahun kemerdekaan Indonesia.
Dua
isu ini sangat berkaitan dengan refleksi sebuah eksistensi Indonesia sebagai
bangsa dan negara ke depan. Beredarnya tayangan video deklarasi warga negara
Indonesia mendukung ISIS membuat Presiden SBY menginstruksikan Tifatul
Sembiring selaku Menkominfo agar tayangan tersebut diblokir sehingga tidak
beredar secara luas di Indonesia melalui dunia maya. Hal ini bukan tanpa
alasan karena fenomena gerakan penyebaran ISIS begitu cepat di Indonesia
seperti cendawan di musim hujan.
Bahkan
beberapa kelompok terutama di Bima, Malang, Lamogan, Poso, Solo, serta
Tangerang Selatan menyatakan diri berbaiat kepada Abu Bakar Al-Baghdadi,
pimpinan ISIS yang berkuasa nun jauh di Iraq. Bendera ISIS pun berkibar di
daerah tersebut sebagai bentuk formal dukungan terhadap eksistensi ISIS.
Nasionalisme
di Era Modern
Perjalanan
panjang sejarah Indonesia tidak pernah lepas dari isu dan wacana penerapan
syariat Islam dan pembentukan negara Islam. Mulai dari penyusunan dasar
negara Indonesia yakni Pancasila, sidang konstituante tahun 1950-an,
amendemen UUD 1945 di MPR periode 1999-2002, isu penerapan syariat Islam dan
pembentukan negara Islam selalu (di)muncul(kan) kembali.
Sebuah
negara di era modern seperti yang dikatakan oleh Ben Anderson dalam Imagined Communities: Reflections on the
Origin and Spread of Nationalism menunjukkan bahwa dalam persatuan sebuah
“komunitas-komunitas terbayang” diperlukan perekat hubungan antarmasyarakat
dalam satu ikatan kultural dan juga politis. Determinasi ideologi, produksi
sejarah resmi beserta perayaan tokoh pahlawan, sistem pendidikan, dan peranan
media massa sebagai sumber informasi menjadi alat budaya penting untuk
menyebarkan rasa nasionalisme modern sebuah “komunitas-komunitas terbayang”
tersebut.
Komponen
ideologis dan estetika itu dapat tersedia pula dengan berkembangnya budaya
populer, meskipun tidak bersifat mutlak dan bukan satu-satunya jalan.
Konsekuensi logis dalam pembentukan nasion dan nasionalisme tersebut
mengindikasikan bahwa kesamaan etnis, budaya, bahasa tidak dengan sendirinya
mendasari pembentukan sebuah nasion atau bangsa.
Begitu
sebaliknya, perbedaan etnis, budaya, dan bahasa tidak selalu menghalangi
pembentukan sebuah bangsa karena di era modern ini ikatan dalam sebuah bangsa
memiliki sifat yang cair sehingga bisa ditembus dan dipertukarkan sejauh mana
imaji bangsa dan negara mana yang lebih kuat dibayangkan. Latar belakang
nasion dan nasionalisme yang terbentuk di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari adanya kolonialisasi yang dilakukan oleh Belanda. Pada era kolonial,
perlawanan terhadap dominasi dalam bidang politik, kebudayaan dan juga
ekonomi dilakukan oleh founding fathers dan para elite pergerakan nasional.
Apabila
dikaitkan dengan kolonialisme, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana
kelanjutan nasionalisme di saat sebuah negara telah memperoleh kemerdekaan
dan tidak terjajah lagi? Apakah kesadaran nasional dan nasionalisme juga akan
selesai dengan sendirinya? Slamet Muljana menyatakan bahwa manifestasi
nasionalisme tidak hanya ada dalam tataran perlawanan terhadap kolonialisme.
Apabila kesadaran itu bergantung pada kolonialisme, maka nasionalisme akan berhenti
setelah kolonialisme berakhir.
Realitas
historis menunjukkan rasa nasionalisme tetap ada, meski kolonialisme telah
berakhir. Bahkan rasa nasionalisme bisa tumbuh tanpa adanya kolonialisme.
Dalam konteks Indonesia, kesadaran ini merupakan bentuk dari nasionalisme
bebas yang artinya tanpa ada tekanan dari kolonialisme.
Pada
hakikatnya, nasionalisme ini termanifestasikan dalam pengabdian terhadap
bangsa dan negara tanpa adanya pembatasan waktu. Setelah negara-negara
merdeka dan terbebas dari kolonialisme, nasionalisme masih tetap berfungsi
dalam rangka nationbuilding serta menjadi proses kebudayaan nasional,
pembentuk kepribadian identitas nasional, dan pembentuk kesadaran nasional
yang perlu dibudayakan.
Reaktualisasi
Ideologi Pancasila
Bangsa
Indonesia pada dasarnya terbentuk dengan mengatasi segala macam perbedaan kultural,
suku, dan agama. Artinya, bangsadannegara Indonesia dibangun atas dasar nilai
plural dan perbedaan multikultural yang telah ada dan eksis jauh sebelum
ditemu-ciptakannya Indonesia oleh para founding
father.
Ben
Anderson pun menyebut bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling artifisial
di seluruh dunia karena berhasil mengatasi segala perbedaan tersebut menjadi
sebuah komunitas yang dibayangkan kuat sebagai bangsa Indonesia. Pluralitas
dan perbedaan multikultural tersebut berhasil direkatkan oleh founding fathers Indonesia melalui
kesamaan visi dan tujuan untuk hidup bersama melalui ideologi Pancasila yang
kemudian secara sah dijadikan sebagai dasar negara oleh PPKI pada 18 Agustus
1945.
Apabila
kesamaan visi dan tujuan tersebut tidak dirawat secara holistik dan
terusmenerus, bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan tercerai-berai dengan
masuknya ideologi dari luar yang sifatnya radikal dan dapat memutus imaji
keindonesiaan. Indonesia dan Yugoslavia pernah diprediksi oleh pakar
nasionalisme pecah menjadi negara-bangsa kecil-kecil. Indonesia diprediksi
pecah menjadi lima negara yakni, negara Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi
dan Indonesia Timur (NTT sampai Papua).
Prediksi
terhadap Yugoslavia terbukti, namun di Indonesia belum terjadi atau bahkan
tidak akan terjadi karena Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa
masih ampuh menjadi perekat Indonesia dalam kerangka NKRI. Karena itu,
reaktualisasi nilai-nilai ideologi Pancasila menjadi mutlak dibutuhkan oleh
bangsa Indonesia melalui ranah pendidikan yang terus-menerus dan
berkelanjutan.
Proses
pendidikan itu tentunya dengan praktik nyata antara pendidik dan peserta
didik yang tidak lagi mengawang-awang seperti era Orde Baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar