Pendidikan
Tinggi Bermakna
Fathur Rokhman ;
Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes)
|
SUARA
MERDEKA, 18 Agustus 2014
TIDAK lama lagi, tahun ajaran baru di perguruan tinggi dimulai.
Ratusan ribu anak muda di pelosok Tanah Air mengubah status sosial mereka,
dari siswa menjadi mahasiswa. Dari perspektif sosiologis, perubahan status
tersebut bukan sesuatu yang sepele. Ada tanggung jawab dan harapan besar di
balik perubahan itu.
Bagi mahasiswa, secara personal perubahan status berkonsekuensi
terhadap tantangan sosial yang bakal dihadapi. Mereka telah menjadi bagian
dari sedikit kaum terpelajar. Maka, selain mendapatkan pengetahuan, mereka
berkewajiban mengamalkannya. Tanggung jawab itu menuntut mahasiswa bersikap
lebih dewasa, penuh insiatif, dan makin mandiri. Bagi perguruan tinggi,
kehadiran mahasiswa baru merupakan tantangan besar. Bukan sekadar rutinitas
menerima, melainkan juga mengembangkan potensi mereka, sebagai aktivitas yang
berdimensi spiritual.
Maka, wajar perguruan tinggi harus berbenah. Terlebih tantangan
mahasiswa selalu berubah dari masa ke masa sehingga memerlukan
treatmentpedagogis yang juga berbeda. Pendidikan, sebagaimana dikatakan M Nuh
(2014), merupakan aktivitas yang irreversible. Dampak yang diterima seseorang
selama menempuh pendidikan bersifat akumulatif dan tak dapat diulangi.
Kesalahan pada satu jenjang pendidikan berpengaruh terhadap kehidupan
seseorang sepanjang hayat.
Karena itu, pendidikan tak dapat dijadikan eksperimen.
Pendidikan tinggi punya kekhasan dibanding pendidikan dasar dan menengah.
Pada tingkat itu, pengetahuan menjadi objek dialog. Hubungan manusia dengan
pengetahuan berlangsung dinamis dan dialektis. Kebenaran pengetahuan tidak
dirangkai melalui fakta-fakta serbapasti, tapi oleh keraguan dan pertanyaan
yang terusmenerus diutarakan.
Al-Syaibani (1979) berpendapat, masyarakat adalah komunitas yang
terus bergerak. Struktur, susun lapis, sistem nilai, cara hidup, dan tradisi
mereka terus berubah. Perubahan itu tidak berlangsung mendadak dan secara
kebetulan namun perlahan-lahan mengikuti disiplin tertentu. Salah satu
kewaspadaan yang perlu dimiliki manusia terpelajar adalah mengetahui pola
perubahan itu.
Pengetahuan yang memadai membuat seseorang dapat mengambil sikap
kecendekiaan yang tepat. Seperti pendidikan di tingkat sebelumnya, pendidikan
tinggi di Tanah Air dikembangkan dengan semangat antroposentrisme. Pendidikan
diciptakan manusia untuk kepentingan manusia. Pandangan ini berkembang dari
asumsi bahwa manusia merupakan pemimpin di bumi sekaligus makhluk paling
mulia.
Tiga Ikhtiar
Pandangan ini tidak keliru. Dibanding makhluk lain di bumi,
manusia lebih mulia karena memiliki akal dan budi. Namun, sikap fanatik
terhadap hal ini mengakibatkan eksploitasi berlebihan terhadap alam. Manusia
merasa berhak memanfaatkan apa pun yang ada di bumi, meski dengan cara tidak
santun.
Padahal, pendidikan tinggi tidak mendidik manusia menjadi
seperti itu. Pendidikan tinggi, sebagai lembaga transformasi sosial, justru
harus memberi pencerahan menuju kehidupan bersama yang berkeadilan. Lembaga
pendidikan punya andil besar membentuk pribadi manusia. Maka, diperlukan
terobosan berpikir agar pendidikan berorientasi pada kesejahteraan sesama
makhluk.
Itulah pendidikan tinggi yang bermakna. Dalam rumusan sederhana,
pendidikan bermakna adalah pendidikan komprehensif yang berdampak positif
terhadap kehidupan pembelajar dan lingkungan sekitarnya, serta berorientasi
pada keterciptaan hubungan timbal balik yang harmonis
Pendidikan bermakna mengidamkan pembelajar mencapai kematangan
sikap sebagai cendekia, bukan sekadar cerdas dan intelek. Meminjam
terminologi komputer, cerdas merupakan spesifikasi hardware yang memungkinkan
pikiran bekerja mengolah informasi, sedangkan intelektualitas merupakan
software-nya.
Adapun kecendekiaan merupakan produk, baik berupa sikap maupun
kebijaksanaan, yang dihasilkan bila software telah ter-install pada
hardwareyang tepat. Bagaimana kecendekiaan dapat dihadirkan melalui
pendidikan tinggi? Pertama; pendidikan tinggi harus tetap membumi pada
masyarakat, baik masyarakat lokal maupun global.
Betapa pun gigantis visinya, pendidikan tinggi tidak boleh
terpisah jurang dengan realitas sosial. Syarat ini mutlak harus dipenuhi
supaya pendidikan tinggi tidak kehilangan peran sosiologisnya. Kedua; dialog
antarbidang harus terus dijaga. Ikhtiar ini penting untuk ditempuh agar
pendidikan tinggi yang spesialistik tidak tumbuh dalam semangat
eksklusivitas.
Sebaliknya, dengan memelihara dialog antarbidang, pendidikan
tinggi menjadi puzzle keilmuan yang
saling berkait. Di beberapa perguruan tinggi semangat ini telah ditunjukkan
dengan dibukanya kuliah lintas bidang. Ketiga; menjadikan riset sebagai obor
bagi pikiran kritis. Semangat riset adalah pencarian kembali hal-hal yang
telah dinyatakan benar dan mapan. Pada situasi tertentu, riset merupakan
sarana perlawanan terhadap pengetahuan dominan. Dengan demikian, sejatinya
riset adalah serangan terhadap struktur, kekuasaan, dan pengetahuan yang pro-status quo.
Dalam masyarakat mutakhir Indonesia, pendidikan kian diharapkan
menjadi pencerahan bersama. Bagi masyarakat lemah, pendidikan dapat
menguatkan. Bagi masyarakat miskin, pendidikan dapat menyejahterakan. Bagi
intelektual, pendidikan dapat menjadi sarana pengabdian tiada akhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar