Selasa, 19 Agustus 2014

Pendidikan Tinggi Bermakna

                                    Pendidikan Tinggi Bermakna

Fathur Rokhman  ;   Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA, 18 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

TIDAK lama lagi, tahun ajaran baru di perguruan tinggi dimulai. Ratusan ribu anak muda di pelosok Tanah Air mengubah status sosial mereka, dari siswa menjadi mahasiswa. Dari perspektif sosiologis, perubahan status tersebut bukan sesuatu yang sepele. Ada tanggung jawab dan harapan besar di balik perubahan itu.

Bagi mahasiswa, secara personal perubahan status berkonsekuensi terhadap tantangan sosial yang bakal dihadapi. Mereka telah menjadi bagian dari sedikit kaum terpelajar. Maka, selain mendapatkan pengetahuan, mereka berkewajiban mengamalkannya. Tanggung jawab itu menuntut mahasiswa bersikap lebih dewasa, penuh insiatif, dan makin mandiri. Bagi perguruan tinggi, kehadiran mahasiswa baru merupakan tantangan besar. Bukan sekadar rutinitas menerima, melainkan juga mengembangkan potensi mereka, sebagai aktivitas yang berdimensi spiritual.

Maka, wajar perguruan tinggi harus berbenah. Terlebih tantangan mahasiswa selalu berubah dari masa ke masa sehingga memerlukan treatmentpedagogis yang juga berbeda. Pendidikan, sebagaimana dikatakan M Nuh (2014), merupakan aktivitas yang irreversible. Dampak yang diterima seseorang selama menempuh pendidikan bersifat akumulatif dan tak dapat diulangi. Kesalahan pada satu jenjang pendidikan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang sepanjang hayat.

Karena itu, pendidikan tak dapat dijadikan eksperimen. Pendidikan tinggi punya kekhasan dibanding pendidikan dasar dan menengah. Pada tingkat itu, pengetahuan menjadi objek dialog. Hubungan manusia dengan pengetahuan berlangsung dinamis dan dialektis. Kebenaran pengetahuan tidak dirangkai melalui fakta-fakta serbapasti, tapi oleh keraguan dan pertanyaan yang terusmenerus diutarakan.

Al-Syaibani (1979) berpendapat, masyarakat adalah komunitas yang terus bergerak. Struktur, susun lapis, sistem nilai, cara hidup, dan tradisi mereka terus berubah. Perubahan itu tidak berlangsung mendadak dan secara kebetulan namun perlahan-lahan mengikuti disiplin tertentu. Salah satu kewaspadaan yang perlu dimiliki manusia terpelajar adalah mengetahui pola perubahan itu.

Pengetahuan yang memadai membuat seseorang dapat mengambil sikap kecendekiaan yang tepat. Seperti pendidikan di tingkat sebelumnya, pendidikan tinggi di Tanah Air dikembangkan dengan semangat antroposentrisme. Pendidikan diciptakan manusia untuk kepentingan manusia. Pandangan ini berkembang dari asumsi bahwa manusia merupakan pemimpin di bumi sekaligus makhluk paling mulia.

Tiga Ikhtiar

Pandangan ini tidak keliru. Dibanding makhluk lain di bumi, manusia lebih mulia karena memiliki akal dan budi. Namun, sikap fanatik terhadap hal ini mengakibatkan eksploitasi berlebihan terhadap alam. Manusia merasa berhak memanfaatkan apa pun yang ada di bumi, meski dengan cara tidak santun.

Padahal, pendidikan tinggi tidak mendidik manusia menjadi seperti itu. Pendidikan tinggi, sebagai lembaga transformasi sosial, justru harus memberi pencerahan menuju kehidupan bersama yang berkeadilan. Lembaga pendidikan punya andil besar membentuk pribadi manusia. Maka, diperlukan terobosan berpikir agar pendidikan berorientasi pada kesejahteraan sesama makhluk.

Itulah pendidikan tinggi yang bermakna. Dalam rumusan sederhana, pendidikan bermakna adalah pendidikan komprehensif yang berdampak positif terhadap kehidupan pembelajar dan lingkungan sekitarnya, serta berorientasi pada keterciptaan hubungan timbal balik yang harmonis

Pendidikan bermakna mengidamkan pembelajar mencapai kematangan sikap sebagai cendekia, bukan sekadar cerdas dan intelek. Meminjam terminologi komputer, cerdas merupakan spesifikasi hardware yang memungkinkan pikiran bekerja mengolah informasi, sedangkan intelektualitas merupakan software-nya.

Adapun kecendekiaan merupakan produk, baik berupa sikap maupun kebijaksanaan, yang dihasilkan bila software telah ter-install pada hardwareyang tepat. Bagaimana kecendekiaan dapat dihadirkan melalui pendidikan tinggi? Pertama; pendidikan tinggi harus tetap membumi pada masyarakat, baik masyarakat lokal maupun global.

Betapa pun gigantis visinya, pendidikan tinggi tidak boleh terpisah jurang dengan realitas sosial. Syarat ini mutlak harus dipenuhi supaya pendidikan tinggi tidak kehilangan peran sosiologisnya. Kedua; dialog antarbidang harus terus dijaga. Ikhtiar ini penting untuk ditempuh agar pendidikan tinggi yang spesialistik tidak tumbuh dalam semangat eksklusivitas.

Sebaliknya, dengan memelihara dialog antarbidang, pendidikan tinggi menjadi puzzle keilmuan yang saling berkait. Di beberapa perguruan tinggi semangat ini telah ditunjukkan dengan dibukanya kuliah lintas bidang. Ketiga; menjadikan riset sebagai obor bagi pikiran kritis. Semangat riset adalah pencarian kembali hal-hal yang telah dinyatakan benar dan mapan. Pada situasi tertentu, riset merupakan sarana perlawanan terhadap pengetahuan dominan. Dengan demikian, sejatinya riset adalah serangan terhadap struktur, kekuasaan, dan pengetahuan yang pro-status quo.

Dalam masyarakat mutakhir Indonesia, pendidikan kian diharapkan menjadi pencerahan bersama. Bagi masyarakat lemah, pendidikan dapat menguatkan. Bagi masyarakat miskin, pendidikan dapat menyejahterakan. Bagi intelektual, pendidikan dapat menjadi sarana pengabdian tiada akhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar