Selasa, 19 Agustus 2014

69

                                                                           69

Taufik Ikram  ;   Sastrawan
KOMPAS, 18 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

TULISAN Abdul Wahab dalam pesan pendek yang dikirimkannya ke telepon genggam saya mungkin tak perlu dimasukkan ke dalam hati. ”Tanggal 17 Agustus ini, kemerdekaan Republik Indonesia berusia 69 tahun. Suatu gabungan tanda pembilangan dengan cara-cara muram. Kesan penggabungan angka ini adalah negatif,” tulis kawan saya yang tinggal di kawasan Selat Malaka sana, nah….

Lanjut Wahab, bukankah keberadaan angka dalam peradaban manusia tidak hanya sebagai simbol bunyi untuk pembilangan belaka? Angka dinilai memberi pesan, bahkan dimiliki suatu subyek, yang dikenal secara umum, baik dengan latar belakang agama tertentu maupun sekularisme. Kesannya barangkali irasional, tetapi keberadaannya amat dirasakan dalam peradaban.

Cukup universal adalah angka 13. Tak pada masa lalu saja, sampai masa sekarang, baik di desa maupun di megapolitan, angka 13 senantiasa dihindari.
Tak sekali dua ditemui, sejumlah hotel di negara termaju melewati angka 13 untuk penanda tingkatan bangunan. Jadilah lift tanpa angka 13, meloncat dari angka 12 ke angka 14.

Ihwal angka ini, juga mewarnai pemilihan presiden Amerika Serikat yang mengantarkan Barak Obama sebagai presiden ke-44. Konon, sejumlah orang di sana meramal peristiwa itu menurut deret Fibonacci yang sejak lama dikenal dengan sebutan the golden number of human life.

Ingat, kan, deretan angka ini disusun oleh Leonardo Fibonacci (1175-1245), yang tak asing dalam pelajaran matematika di sekolah menengah.

Dalam alam sufi, apa pun latar belakang kepercayaannya, ada angka-angka khusus yang menjadi sarana dalam menyatukan diri dengan Mahapencipta. Angka 19, misalnya, dikenal sebagai angka Allah.

Selain itu, banyak sekali telaah mengenai numerik Al Quran, misalnya bagaimana jumlah kata yang bermakna hari dalam kitab suci itu, sama banyaknya dengan jumlah hari dalam setahun.

Jungkir balik

Menurut Wahab, angka 69 pada usia kemerdekaan RI pada awalnya terdiri atas angka yang bermuatan datar. Hanya pembentukan gabungan angka itu setidak-tidaknya melalui dua proses yang muram.

Pertama, pembentukan itu terjadi dengan membalikkan tulisan satu angka, terlepas dari mana tindakan itu dilakukan—apakah dari angka di depan (6) atau dari belakang (9). Kedua, kalau dideretkan antara angka 6 dan 9, terdapat dua angka dengan saran pengertian keberuntungan, yakni 7 dan 8, yang dalam pembentukan gabungan angka 69 ternyata dilewatkan.

”Apakah dengan kenyataan gabungan angka 6 dan 9 itu, dapat mengesankan bagaimana RI pada usia 69 tahun memasuki masa suram juga, meninggalkan keberuntungan bahkan menghadapi keadaan jungkir balik?” tanya Wahab seraya menambahkan beberapa contoh kondisi Pilpres 2014 dengan berbagai keburukan, seperti kampanye hitam dan fitnah-memfitnah yang jauh lebih parah dibandingkan pilpres sebelumnya.

Lalu proses pilpres sampai ke MK dan berbagai hal lain termasuk pansus DPR, bahkan kemungkinan pengerahan kekuatan rakyat. Ini disambut pula oleh kehebohan

Negara Islam di Irak dan Suriah yang konon telah membaiat ratusan warga Indonesia di sejumlah daerah tanpa diketahui sebelum akhir Juli 2014 atau telah terjadi sekian lama.

Kemiskinan dan keamanan

Tak dapat pula dilupakan tentang bagaimana ketika menjumlahkan angka 6 dan 9 yang menjadi 15, sama dengan usia pemilu dalam era reformasi (1999-2014).
Angka 15 ini (2015) juga sama dengan angka tahun yang disebut Dirut Komite Perdamaian Dunia (The World Peace Committee) Djuyoto Suntani sebagai tahun pecahnya Indonesia menjadi 17 negara bagian, melalui bukunya yang bertajuk Tahun 2015 Indonesia Pecah (2007).

Terlepas dari prediksi di atas, kenyataannya, negara memang belum mampu memakmurkan warga sehingga sekitar 120 juta masyarakat masih tergolong miskin dengan ukuran penghasilan di bawah dua dollar AS per hari per orang.
Di sisi lain, perlindungan keamanan warga pun terkesan minim. Ini terlihat dari penganggaran alat utama sistem pertahanan Indonesia yang di bawah 1 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Padahal, anggaran serupa di AS, Uni Eropa, dan Jepang sudah mencapai 7 persen dari PDB setiap tahun.

Belum lagi ketidakadilan keuangan pusat-daerah. Untuk mengetahui produksi minyak saja, daerah penghasil tidak dapat mengetahuinya secara langsung. Ini ditambah dengan ketiadaan koordinasi bagi hasil kekayaan alam itu antara pusat dan daerah sebagaimana dikemukakan Gubernur Riau Annas Maamun (Kompas, 28/6).

”Tentu, kita semua tidak menginginkan berbagai keburukan terjadi di negeri ini. Menggambarkan kemuraman dengan pernik angka-angka di atas bisa saja sebagai suatu langkah kecil dari usaha menolak keburukan dimaksud. Dengan cara mengetahui kemungkinan-kemungkinan buruk suatu subyek bukankah memudahkan kita mengantisipasi segala yang tidak diinginkan? Semoga…,” tulis Wahab lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar