69
Taufik Ikram ;
Sastrawan
|
KOMPAS,
18 Agustus 2014
TULISAN Abdul Wahab dalam pesan
pendek yang dikirimkannya ke telepon genggam saya mungkin tak perlu
dimasukkan ke dalam hati. ”Tanggal 17
Agustus ini, kemerdekaan Republik Indonesia berusia 69 tahun. Suatu gabungan
tanda pembilangan dengan cara-cara muram. Kesan penggabungan angka ini adalah
negatif,” tulis kawan saya yang tinggal di kawasan Selat Malaka sana,
nah….
Lanjut Wahab, bukankah
keberadaan angka dalam peradaban manusia tidak hanya sebagai simbol bunyi
untuk pembilangan belaka? Angka dinilai memberi pesan, bahkan dimiliki suatu
subyek, yang dikenal secara umum, baik dengan latar belakang agama tertentu
maupun sekularisme. Kesannya barangkali irasional, tetapi keberadaannya amat
dirasakan dalam peradaban.
Cukup universal adalah angka
13. Tak pada masa lalu saja, sampai masa sekarang, baik di desa maupun di
megapolitan, angka 13 senantiasa dihindari.
Tak sekali dua ditemui,
sejumlah hotel di negara termaju melewati angka 13 untuk penanda tingkatan
bangunan. Jadilah lift tanpa angka 13, meloncat dari angka 12 ke angka 14.
Ihwal angka ini, juga mewarnai
pemilihan presiden Amerika Serikat yang mengantarkan Barak Obama sebagai
presiden ke-44. Konon, sejumlah orang di sana meramal peristiwa itu menurut
deret Fibonacci yang sejak lama dikenal dengan sebutan the golden number of human life.
Ingat, kan, deretan angka ini
disusun oleh Leonardo Fibonacci (1175-1245), yang tak asing dalam pelajaran
matematika di sekolah menengah.
Dalam alam sufi, apa pun latar
belakang kepercayaannya, ada angka-angka khusus yang menjadi sarana dalam
menyatukan diri dengan Mahapencipta. Angka 19, misalnya, dikenal sebagai
angka Allah.
Selain itu, banyak sekali
telaah mengenai numerik Al Quran, misalnya bagaimana jumlah kata yang
bermakna hari dalam kitab suci itu, sama banyaknya dengan jumlah hari dalam
setahun.
Jungkir balik
Menurut Wahab, angka 69 pada
usia kemerdekaan RI pada awalnya terdiri atas angka yang bermuatan datar.
Hanya pembentukan gabungan angka itu setidak-tidaknya melalui dua proses yang
muram.
Pertama, pembentukan itu
terjadi dengan membalikkan tulisan satu angka, terlepas dari mana tindakan
itu dilakukan—apakah dari angka di depan (6) atau dari belakang (9). Kedua,
kalau dideretkan antara angka 6 dan 9, terdapat dua angka dengan saran
pengertian keberuntungan, yakni 7 dan 8, yang dalam pembentukan gabungan
angka 69 ternyata dilewatkan.
”Apakah dengan kenyataan gabungan angka 6 dan 9 itu, dapat
mengesankan bagaimana RI pada usia 69 tahun memasuki masa suram juga,
meninggalkan keberuntungan bahkan menghadapi keadaan jungkir balik?” tanya Wahab seraya menambahkan beberapa contoh kondisi Pilpres
2014 dengan berbagai keburukan, seperti kampanye hitam dan fitnah-memfitnah
yang jauh lebih parah dibandingkan pilpres sebelumnya.
Lalu proses pilpres sampai ke
MK dan berbagai hal lain termasuk pansus DPR, bahkan kemungkinan pengerahan
kekuatan rakyat. Ini disambut pula oleh kehebohan
Negara Islam di Irak dan Suriah
yang konon telah membaiat ratusan warga Indonesia di sejumlah daerah tanpa
diketahui sebelum akhir Juli 2014 atau telah terjadi sekian lama.
Kemiskinan dan keamanan
Tak dapat pula dilupakan
tentang bagaimana ketika menjumlahkan angka 6 dan 9 yang menjadi 15, sama
dengan usia pemilu dalam era reformasi (1999-2014).
Angka 15 ini (2015) juga sama
dengan angka tahun yang disebut Dirut Komite Perdamaian Dunia (The World Peace Committee) Djuyoto
Suntani sebagai tahun pecahnya Indonesia menjadi 17 negara bagian, melalui
bukunya yang bertajuk Tahun 2015 Indonesia Pecah (2007).
Terlepas dari prediksi di atas,
kenyataannya, negara memang belum mampu memakmurkan warga sehingga sekitar
120 juta masyarakat masih tergolong miskin dengan ukuran penghasilan di bawah
dua dollar AS per hari per orang.
Di sisi lain, perlindungan
keamanan warga pun terkesan minim. Ini terlihat dari penganggaran alat utama
sistem pertahanan Indonesia yang di bawah 1 persen dari produk domestik bruto
(PDB) per tahun. Padahal, anggaran serupa di AS, Uni Eropa, dan Jepang sudah
mencapai 7 persen dari PDB setiap tahun.
Belum lagi ketidakadilan
keuangan pusat-daerah. Untuk mengetahui produksi minyak saja, daerah
penghasil tidak dapat mengetahuinya secara langsung. Ini ditambah dengan
ketiadaan koordinasi bagi hasil kekayaan alam itu antara pusat dan daerah
sebagaimana dikemukakan Gubernur Riau Annas Maamun (Kompas, 28/6).
”Tentu, kita semua tidak menginginkan berbagai keburukan terjadi
di negeri ini. Menggambarkan kemuraman dengan pernik angka-angka di atas bisa
saja sebagai suatu langkah kecil dari usaha menolak keburukan dimaksud.
Dengan cara mengetahui kemungkinan-kemungkinan buruk suatu subyek bukankah
memudahkan kita mengantisipasi segala yang tidak diinginkan? Semoga…,” tulis Wahab lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar