Mengintegrasikan
HAM dan Internet
Wahyudi Djafar ;
Peneliti dan Pengacara HAM
pada Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
|
KOMPAS,
21 Agustus 2014
PERANG media sosial begitu semarak selama pelaksanaan Pemilu
Presiden 2014. Setiap kandidat mencoba memanfaatkan ruang baru ini untuk
seoptimal mungkin memengaruhi pemilih. Bukan hanya bahasa-bahasa positif,
sering serangan negatif juga dilancarkan terhadap lawan dengan menggunakan
media ini.
Besarnya penggunaan media sosial dalam Pemilu Presiden 2014
sejalan makin meningkatnya angka penetrasi pengguna internet di Indonesia.
Merujuk data Badan Pusat Statistik dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia, sampai akhir tahun 2013 tak kurang dari 71,19 juta penduduk
Indonesia telah memanfaatkan teknologi internet. Semakin internet mudah
diakses, dan pengguna bertambah, tentu melahirkan banyak harapan sekaligus
tantangan.
Dalam Resolusi 20/8, Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengatakan, internet telah menjadi alat penting dalam
pembangunan dan menjalankan HAM. Lebih detail dikemukakan Pelapor Khusus PBB
untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank La Rue (2011), internet
telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai hak,
memberantas ketidakadilan, serta mempercepat pembangunan dan kemajuan
manusia. Oleh karena itu, memastikan akses universal terhadap internet harus
jadi prioritas bagi semua negara.
Kendala infrastruktur jadi tantangan cukup berat bagi Indonesia
dalam menaikkan jumlah penetrasi pengguna internet, termasuk pemerataan
aksesnya. Sampai hari ini pengguna internet masih terkonsentrasi di kota-kota
besar di Jawa. Akibatnya, kesenjangan digital tak terhindarkan antara Jawa
dan luar Jawa. Butuh strategi besar serta peta jalan yang terukur untuk
segera menuntaskan masalah ini supaya internet bisa dinikmati secara merata.
Selain masalah infrastruktur, minimnya kebijakan dalam
pemanfaatan internet juga tantangan cukup besar hari ini. Konstitusi kita
telah memberikan sejumlah garansi dalam pemanfaatan teknologi (Pasal 28C Ayat
1), demi pengembangan kualitas hidup. Oleh karena itu, negara semestinya
tanggap, dengan melahirkan kebijakan terkait, guna mengimplementasikan mandat
konstitusional tersebut.
Pada level perundang-undangan, kebijakan yang menjadi acuan
utama dalam pemanfaatan internet di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Meski pemerintah
cukup optimistis dengan keberadaan UU ITE, yang dianggap mampu mengatur
seluruh lalu lintas pemanfaatan internet, tetapi beberapa kalangan menilai UU
ini mengandung sejumlah kelemahan.
Salah satu kelemahan terbesar adalah belum terakomodasinya
pengaturan mengenai konten internet secara baik. Situasi ini berakibat
terjadi banyak kekosongan hukum sehingga acap tindakan yang diambil
pemerintah, khususnya terkait pengawasan konten internet, dituduh semena-mena
oleh masyarakat.
HAM bagian integral
Dewan HAM PBB menegaskan perlindungan hak yang dimiliki setiap
orang saat offline juga melekat
saat mereka online. Perlindungan ini khususnya terkait hak atas kebebasan
berekspresi, yang berlaku tanpa melihat batasan atau sarana media yang
dipilih. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 19 Deklarasi Universal HAM dan
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi
Indonesia melalui UU No 12/2005.
Penegasan itu memiliki arti, semua prinsip dan prosedur dalam
perlindungan hak asasi, termasuk kaidah pembatasannya, juga melekat saat
negara hendak melahirkan kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan internet.
Misalnya ketika negara akan melakukan pembatasan akses internet dalam bentuk
pemblokiran atau penapisan situs, semua kaidah pembatasan harus jadi acuan.
Pembatasan diatur dengan UU, untuk tujuan sah, ada kebutuhan mendesak,
dilakukan secara proporsional, dalam suatu masyarakat demokratis, dan
disertai alasan seperti: ketertiban umum, keamanan nasional, moral publik,
kesehatan publik, atau dalam rangka melindungi hak serta reputasi orang lain.
Dengan demikian, bukan berarti pemanfaatan internet tak dapat
diawasi atau dibatasi. Namun, pembatasannya harus sesuai prinsip dan prosedur
pembatasan. Apabila menyimpang dari itu, pembatasan yang dilakukan dapat
dikatakan sewenang-wenang dan melanggar hukum.
Internet tidaklah dibangun sebagai sebuah ”zona bebas hukum”.
Pengaturan tetap dibolehkan, khususnya dalam rangka melindungi pengguna atau
masyarakat pada umumnya. Namun, dalam pengaturannya mesti memperhatikan sifat
unik internet, yakni interkoneksi global, manajemen yang terdistribusi,
dikoordinasikan dan dioperasikan swasta, serta ditujukan untuk pertukaran
informasi dan berbagi pengetahuan (Brousseau
dan Marzouki, 2012: 368). Karakteristik itu menunjukkan, sumber daya internet
tidak secara mutlak berada di negara sehingga negara tidak pula bisa secara
absolut mengatur internet.
Butuh pengaturan yang komprehensif, baik substansi maupun
prosesnya. Menyangkut substansi berarti kemampuan untuk secara holistik
mengintegrasikan sejumlah prinsip hak asasi dalam pengaturan internet
sehingga internet benar-benar berperan dalam pembangunan dan kemajuan
manusia. Sementara dari sisi proses, pelibatan seluas mungkin para pemangku
kepentingan dalam pemanfaatan internet. Dengan pendekatan demikian, tentu
akan tercipta kebijakan pemanfaatan internet, dalam wujud tata kelola
internet yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, serta
perlindungan hak asasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar