Pemimpin
Berdaulat
Ferdy Hasiman ;
Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta
|
KOMPAS,
20 Agustus 2014
”Yang berdaulat adalah dia yang mengambil keputusan pada saat
gawat darurat”.
KONDISI gawat darurat yang
digambarkan teolog politik Jerman, Carl Smith, di atas bukan keadaan biasa,
melainkan situasi ketika republik sudah digiring ke luar rel UUD 1945. Sudah
69 tahun Indonesia merdeka, tetapi belum berdaulat secara ekonomi. Kondisi bangsa
ini bak juggernaut alias truk besar yang melaju tanpa kendali.
Indonesia tidak lagi
dikendalikan pemerintah, tetapi dikendalikan pihak asing. Korporasi asing
menguasai 70 persen penguasaan minyak dan gas pertambangan batubara, bauksit,
nikel, dan timah mencapai 75 persen, serta tembaga dan emas 85 persen.
Artinya, naik-turunnya lifting
migas bergantung pada budi baik pihak asing yang mengontrol sektor hulu
migas. Maju mundurnya hilirisasi pertambangan tergantung dari kesediaan
Freeport (Grasbarg) dan Newmont, memasok bahan baku. Namun, Freeport dan
Newmont sampai saat ini enggan membangun smelter dengan tameng tak ekonomis.
Dua perusahaan ini hanya ingin
membangun smelter melalui pihak ketiga. Harapan agar pemimpin tegas terhadap
korporasi asing hanya utopia. Presiden belum mampu menaikkan pajak dan
royalti kepada korporasi tambang yang sudah menangguk untung besar. Presiden
juga tak tegas memerintahkan korporasi asing membangun smelter dalam negeri
meskipun sudah ada regulasinya.
Risikonya, cadangan pertambangan
kita tergerus. Indonesia hanya memiliki cadangan batubara 20 miliar ton atau
hanya 2,63 persen cadangan dunia.
Sementara ekspor batubara kita
setiap tahun mencapai 309 juta ton. Cadangan terbukti nikel tersisa 1,028
miliar ton, tembaga 3,044 miliar ton, bijih besi 173,810 juta ton, dan
bauksit 302,316 juta ton. (Badan Geologi, 2012).
Untuk menyelamatkan SDA dari
jarahan korporasi asing, Indonesia memerlukan pemimpin berdaulat.
Bukan retorika
Pemimpin negeri ini ke depan
harus bersih dan berani. Haram bagi pemimpin masuk ke panggung politik hanya
untuk memperkaya diri. Filsuf Jerman, Hannah Arendt, mengatakan, urusan
ekonomi masuk dalam kategori ”yang privat”, urusan pribadi.
Adapun ”yang politis” adalah
ruang publik, ruang tempat kepentingan rakyat dibicarakan. Dalam ruang
politis tak ada yang mendapat privilege khusus dari pemerintah.
Mencampuradukkan urusan privat ke ruang publik menimbulkan kolonisasi ruang
publik dan merusak seluruh tatanan politik yang telah terbangun.
Kekuasaan kemudian menjadi
tidak transparan sehingga sulit mengusut kompromi politik dan dealgelap
elite-elite bisnis-politik. Demokrasi, yang sedianya menjadi urusan publik,
berubah menjadi urusan privat dan tempat bersembunyi mafia bisnis-politik.
Risiko terjadinya conflict of interest
dalam mengeksekusi kebijakan publik sangat besar.
Padahal, pemimpin adalah aktor
demokrasi yang menyupervisi, menetapkan aturan main bagi dunia usaha, dan
bertanggung jawab atas mati-hidup jutaan rakyat Indonesia.
Itulah cikal bakal pemimpin
berdaulat, pemimpin yang tidak memiliki interest bisnis dan ambisi pribadi.
Ia tulus, jujur, dan benar-benar hadir untuk melayani rakyat. Pemimpin
berdaulat memiliki nyali bernegosiasi seputar nasib rakyat berhadapan dengan
raksasa korporasi.
Di saat dunia mengagungkan
investasi raksasa, seperti pertambangan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi,
ia mampu menerapkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil, seperti
menggerakkan sektor riil. Politik indifference juga sebagai strategi
menyelamatkan SDA dari jarahan korporasi.
Negara yang hanya mengandalkan
pertambangan untuk menggenjot pendapatan akan memerosotkan pertumbuhan sektor
non-pertambangan (pertanian dan kelautan) yang menjadi tulang punggung
rakyat. Pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen menjadi tak berkualitas karena
ditopang industri ekstraktif, seperti tambang.
Jurang kesenjangan antardaerah
menganga karena pemimpin sibuk mengurus tambang, tetapi absen membangun
infrastruktur publik dan sektor kecil-menengah.
Padahal, model ekonomi
pertumbuhan mengandaikan sumber daya alam yang tak terbatas, yang dikuras
sampai tuntas dan mendorong penghancuran lingkungan tanpa mengenal
keberlanjutan (sustainability).
Yang mencemaskan, banyak
korporasi tambang asing menanamkan modal di Indonesia karena di negara
asalnya tak diizinkan merusak lingkungan. Di Indonesia, mereka mudah membayar
pejabat agar menambang di hutan lindung.
Konstitusi
Pemimpin baru harus benar-benar
visioner dan berpegang teguh pada UUD 1945 untuk membangun perekonomian.
Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan, perekonomian nasional diselenggarakan
berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Maka,
pembangunan ekonomi termasuk pemanfaatan SDA adalah untuk kepentingan jangka
panjang.
Pemimpin baru bijak menggunakan
kekayaan alam, fokus amankan energi, penataan teknologi pertanian, air minum,
dan keseimbangan lingkungan.
Pemimpin baru harus memiliki
visi tentang masa depan pertambangan. Di masa depan, bahan tambang harus
diolah di dalam negeri agar ada multiplier effect pembangunan. Indonesia
harus menuju industrialisasi dan berhenti sebagai bangsa parasit yang
menggantungkan industrinya pada pasokan bahan baku dari luar.
Dengan nikel dan bijih besi
yang melimpah, saatnya pabrik kelas dunia dibangun agar industri otomotif
tidak perlu mengimpor bahan baku dari luar.
Pemimpin baru harus mampu
mereformasi hukum, mereformasi birokrasi, dan menggalakkan transparansi dan
mendistribusikan hasil kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat.
Akhirnya, presiden terpilih
kita harus mampu menyelamatkan republik dari kehancuran dan politik
penjarahan korporasi. Jangan sia-siakan kesempatan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar