Kamis, 21 Agustus 2014

Pemimpin Berdaulat

                                                 Pemimpin Berdaulat

Ferdy Hasiman  ;   Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta
KOMPAS, 20 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

”Yang berdaulat adalah dia yang mengambil keputusan pada saat gawat darurat”.

KONDISI gawat darurat yang digambarkan teolog politik Jerman, Carl Smith, di atas bukan keadaan biasa, melainkan situasi ketika republik sudah digiring ke luar rel UUD 1945. Sudah 69 tahun Indonesia merdeka, tetapi belum berdaulat secara ekonomi. Kondisi bangsa ini bak juggernaut alias truk besar yang melaju tanpa kendali.

Indonesia tidak lagi dikendalikan pemerintah, tetapi dikendalikan pihak asing. Korporasi asing menguasai 70 persen penguasaan minyak dan gas pertambangan batubara, bauksit, nikel, dan timah mencapai 75 persen, serta tembaga dan emas 85 persen.

Artinya, naik-turunnya lifting migas bergantung pada budi baik pihak asing yang mengontrol sektor hulu migas. Maju mundurnya hilirisasi pertambangan tergantung dari kesediaan Freeport (Grasbarg) dan Newmont, memasok bahan baku. Namun, Freeport dan Newmont sampai saat ini enggan membangun smelter dengan tameng tak ekonomis.

Dua perusahaan ini hanya ingin membangun smelter melalui pihak ketiga. Harapan agar pemimpin tegas terhadap korporasi asing hanya utopia. Presiden belum mampu menaikkan pajak dan royalti kepada korporasi tambang yang sudah menangguk untung besar. Presiden juga tak tegas memerintahkan korporasi asing membangun smelter dalam negeri meskipun sudah ada regulasinya.

Risikonya, cadangan pertambangan kita tergerus. Indonesia hanya memiliki cadangan batubara 20 miliar ton atau hanya 2,63 persen cadangan dunia.
Sementara ekspor batubara kita setiap tahun mencapai 309 juta ton. Cadangan terbukti nikel tersisa 1,028 miliar ton, tembaga 3,044 miliar ton, bijih besi 173,810 juta ton, dan bauksit 302,316 juta ton. (Badan Geologi, 2012).

Untuk menyelamatkan SDA dari jarahan korporasi asing, Indonesia memerlukan pemimpin berdaulat.

Bukan retorika

Pemimpin negeri ini ke depan harus bersih dan berani. Haram bagi pemimpin masuk ke panggung politik hanya untuk memperkaya diri. Filsuf Jerman, Hannah Arendt, mengatakan, urusan ekonomi masuk dalam kategori ”yang privat”, urusan pribadi.

Adapun ”yang politis” adalah ruang publik, ruang tempat kepentingan rakyat dibicarakan. Dalam ruang politis tak ada yang mendapat privilege khusus dari pemerintah. Mencampuradukkan urusan privat ke ruang publik menimbulkan kolonisasi ruang publik dan merusak seluruh tatanan politik yang telah terbangun.

Kekuasaan kemudian menjadi tidak transparan sehingga sulit mengusut kompromi politik dan dealgelap elite-elite bisnis-politik. Demokrasi, yang sedianya menjadi urusan publik, berubah menjadi urusan privat dan tempat bersembunyi mafia bisnis-politik. Risiko terjadinya conflict of interest dalam mengeksekusi kebijakan publik sangat besar.

Padahal, pemimpin adalah aktor demokrasi yang menyupervisi, menetapkan aturan main bagi dunia usaha, dan bertanggung jawab atas mati-hidup jutaan rakyat Indonesia.

Itulah cikal bakal pemimpin berdaulat, pemimpin yang tidak memiliki interest bisnis dan ambisi pribadi. Ia tulus, jujur, dan benar-benar hadir untuk melayani rakyat. Pemimpin berdaulat memiliki nyali bernegosiasi seputar nasib rakyat berhadapan dengan raksasa korporasi.

Di saat dunia mengagungkan investasi raksasa, seperti pertambangan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, ia mampu menerapkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil, seperti menggerakkan sektor riil. Politik indifference juga sebagai strategi menyelamatkan SDA dari jarahan korporasi.

Negara yang hanya mengandalkan pertambangan untuk menggenjot pendapatan akan memerosotkan pertumbuhan sektor non-pertambangan (pertanian dan kelautan) yang menjadi tulang punggung rakyat. Pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen menjadi tak berkualitas karena ditopang industri ekstraktif, seperti tambang.

Jurang kesenjangan antardaerah menganga karena pemimpin sibuk mengurus tambang, tetapi absen membangun infrastruktur publik dan sektor kecil-menengah.

Padahal, model ekonomi pertumbuhan mengandaikan sumber daya alam yang tak terbatas, yang dikuras sampai tuntas dan mendorong penghancuran lingkungan tanpa mengenal keberlanjutan (sustainability).

Yang mencemaskan, banyak korporasi tambang asing menanamkan modal di Indonesia karena di negara asalnya tak diizinkan merusak lingkungan. Di Indonesia, mereka mudah membayar pejabat agar menambang di hutan lindung.

Konstitusi

Pemimpin baru harus benar-benar visioner dan berpegang teguh pada UUD 1945 untuk membangun perekonomian. Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan, perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Maka, pembangunan ekonomi termasuk pemanfaatan SDA adalah untuk kepentingan jangka panjang.

Pemimpin baru bijak menggunakan kekayaan alam, fokus amankan energi, penataan teknologi pertanian, air minum, dan keseimbangan lingkungan.
Pemimpin baru harus memiliki visi tentang masa depan pertambangan. Di masa depan, bahan tambang harus diolah di dalam negeri agar ada multiplier effect pembangunan. Indonesia harus menuju industrialisasi dan berhenti sebagai bangsa parasit yang menggantungkan industrinya pada pasokan bahan baku dari luar.

Dengan nikel dan bijih besi yang melimpah, saatnya pabrik kelas dunia dibangun agar industri otomotif tidak perlu mengimpor bahan baku dari luar.
Pemimpin baru harus mampu mereformasi hukum, mereformasi birokrasi, dan menggalakkan transparansi dan mendistribusikan hasil kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat.

Akhirnya, presiden terpilih kita harus mampu menyelamatkan republik dari kehancuran dan politik penjarahan korporasi. Jangan sia-siakan kesempatan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar