Minggu, 10 Agustus 2014

Pembatasan BBM dan Kemandirian

Pembatasan BBM dan Kemandirian

Purbayu Budi Santosa  ;  Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis
(FEB) Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 08 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

“Sampai hari ini hampir 85% minyak dan gas kita dikuasai oleh asing, dan investasi mereka terus naik”

UCAPAN Bung Karno ternyata tetap relevan hingga sekarang. Kita bisa melihat Amerika Serikat yang memiliki cadangan minyak (energi) paling banyak di dunia, benar-benar dapat memainkan peran yang begitu menentukan di jagat ini. Apa relevansi dan korelasi ucapan Bung Karno dengan pembatasan BBM saat ini?

Melalui Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014 tentang Pengendalian Konsumsi BBM Bersubsidi, pemerintah menetapkan empat cara sebagai langkah pengendalian. Mulai dari peniadaan solar bersubsidi di Jakarta Pusat  terhitung per 1 Agustus, serta pembatasan waktu penjualan solar bersubsidi di seluruh SBPU di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Bali mulai 4 Agustus 2014, hanya dari pukul 18.00 sampai pukul 08.00 WIB keesokan harinya.

Pembatasan tidak hanya dilakukan untuk sektor transportasi di darat, alokasi solar bersubsidi untuk lembaga penyalur nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/AMPS) pun akan dipotong hingga 20 persen dan penyalurannya lebih mengutamakan kapal nelayan dengan bobot di bawah 30 gross ton (GT).

Selanjutnya, terhitung mulai 6 Agustus 2014, penjualan premium di seluruh SPBU yang berlokasi di jalan tol ditiadakan.

Kebijakan pengendalian BBM bersubsidi tersebut, menurut Menteri ESDM Jero Wacik dimaksudkan supaya kuota BBM bersubsidi yang sudah ditetapkan dalam APBN-P sebanyak 46 juta kikoliter bisa mencukupi hingga akhir tahun. Tanpa pengendalian, kuota solar itu akan habis pada akhir November dan premium akan habis pada 19 Desember 2014.

Namun kebijakan itu sekaligus memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mampu memprediksi secara tepat konsumsi yang dibutuhkan sampai akhir tahun, dengan asumsi tanpa melakukan pengendalian BBM. Selama ini pemerintahan SBY rupanya hanya berkutat dengan tarik ulur kenaikan harga BBM versus menjaga kondisi subsidi.

Kini muncul dugaan kebijakan pengendalian konsumsi BBM pun bisa-bisa tidak efektif karena informasi mengenai hal itu mudah tersebar ke mana-mana dan gampang diakses. Hanya orang-orang yang tidak mengetahui informasi saja yang kecele. Termasuk kemunculan pasar gelap (black market), dalam arti BBM bersubsidi dapat dibeli oleh pihak-pihak tertentu, dan dijual dengan harga yang margin keuntungan ada di daerah BBM tidak bersubsidi.

Kebijakan mengenai energi di Indonesia sampai saat ini lebih tersedot untuk BBM, yang masih berkutat pada persoalan subsidi. Hal ini jauh sekali dari pemikirannya presiden pertama kita, Soekarno yang selalu mendorong Indonesia untuk menguasai energi. Andai belum bisa pun harus mandiri dalam pengelolaannya. Bung Karno berargumen bila tidak bisa mandiri maka kedaulatan energi di Indonesia sangat jauh dari cita-cita proklamasi.

Menarik Investasi

Sampai hari ini hampir 85% minyak dan gas Indonesia dikuasai oleh asing, dan investasi mereka terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Kenaikan tersebut tentunya difasilitasi oleh kebijakan pemerintah yang bertujuan menarik investasi asing, dengan menaikkan pembagian hasil produksi untuk mereka. Namun pada saat yang bersamaan, di tengah membanjirnya investasi asing untuk produksi migas, Indonesia justru telah menjadi net importer minyak bumi.

Dampaknya, subsidi menjadi masalah pelik, meskipun ada ekonom kritis yang selalu mempermasalahkan ketidakbenaran subsidi itu, seperti Kwik Kian Gie. Benar tidaknya pendapat Kwik perlu dibuktikan oleh pemerintah yang baru, apakah pengelolaan sumber daya alam (termasuk energi) kita bisa mandiri, atau tetap diatur oleh pihak asing. Bila pemerintahan yang baru mau mengikuti alur pemikirannya Bung Karno maka kemandirian pengelolaan sumber daya alam bisa tercapai. Kasihan rakyat harus menanggung biaya besar untuk membeli berbagai macam energi, gara-gara kebijakan energi kita dikontrol pihak asing.

Ke depan, untuk mengelola kekayaan alam, terutama energi, Indonesia bisa belajar dari negara lain yang kini lebih mandiri dalam pengelolaan energi. Kita bisa mencontoh Brasil misalnya, yang mengembangkan energi alternatif dari singkong, (tanaman) jarak pagar, dan tebu karena mereka menyadari BBM berbahan baku fosil makin menyusut.

 Kita sebenarnya kaya bahan baku biofuel, dan masalahnya bergantung pada kemauan politik: mau mandiri dalam energi atau tetap mengikuti pihak asing dengan segala risikonya.

Tunjukkan kita bukan bangsa dan negara yang lemah. Kita bisa berkaca pada Venezuela yang berhasil meminta ulang perjanjian minyak dengan pihak asing supaya lebih menguntungkan bangsa dan negaranya. Ke depan, hal ini menjadi pekerjaan rumah pemerintahan yang baru untuk mengkaji, mengevaluasi, dan me­re­genosiasi berbagai kontrak sumber daya alam dengan investor asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar