Pembatasan
BBM dan Kemandirian
Purbayu Budi Santosa ; Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis
(FEB) Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 08 Agustus 2014
“Sampai hari ini hampir
85% minyak dan gas kita dikuasai oleh asing, dan investasi mereka terus naik”
UCAPAN Bung Karno ternyata tetap relevan hingga sekarang. Kita
bisa melihat Amerika Serikat yang memiliki cadangan minyak (energi) paling
banyak di dunia, benar-benar dapat memainkan peran yang begitu menentukan di
jagat ini. Apa relevansi dan korelasi ucapan Bung Karno dengan pembatasan BBM
saat ini?
Melalui Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tanggal
24 Juli 2014 tentang Pengendalian Konsumsi BBM Bersubsidi, pemerintah
menetapkan empat cara sebagai langkah pengendalian. Mulai dari peniadaan
solar bersubsidi di Jakarta Pusat
terhitung per 1 Agustus, serta pembatasan waktu penjualan solar
bersubsidi di seluruh SBPU di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Bali mulai 4
Agustus 2014, hanya dari pukul 18.00 sampai pukul 08.00 WIB keesokan harinya.
Pembatasan tidak hanya dilakukan untuk sektor transportasi di
darat, alokasi solar bersubsidi untuk lembaga penyalur nelayan
(SPBB/SPBN/SPDN/AMPS) pun akan dipotong hingga 20 persen dan penyalurannya
lebih mengutamakan kapal nelayan dengan bobot di bawah 30 gross ton (GT).
Selanjutnya, terhitung mulai 6 Agustus 2014, penjualan premium
di seluruh SPBU yang berlokasi di jalan tol ditiadakan.
Kebijakan pengendalian BBM bersubsidi tersebut, menurut Menteri
ESDM Jero Wacik dimaksudkan supaya kuota BBM bersubsidi yang sudah ditetapkan
dalam APBN-P sebanyak 46 juta kikoliter bisa mencukupi hingga akhir tahun.
Tanpa pengendalian, kuota solar itu akan habis pada akhir November dan premium
akan habis pada 19 Desember 2014.
Namun kebijakan itu sekaligus memperlihatkan bahwa pemerintah
tidak mampu memprediksi secara tepat konsumsi yang dibutuhkan sampai akhir
tahun, dengan asumsi tanpa melakukan pengendalian BBM. Selama ini
pemerintahan SBY rupanya hanya berkutat dengan tarik ulur kenaikan harga BBM
versus menjaga kondisi subsidi.
Kini muncul dugaan kebijakan pengendalian konsumsi BBM pun
bisa-bisa tidak efektif karena informasi mengenai hal itu mudah tersebar ke
mana-mana dan gampang diakses. Hanya orang-orang yang tidak mengetahui
informasi saja yang kecele. Termasuk kemunculan pasar gelap (black market),
dalam arti BBM bersubsidi dapat dibeli oleh pihak-pihak tertentu, dan dijual
dengan harga yang margin keuntungan ada di daerah BBM tidak bersubsidi.
Kebijakan mengenai energi di Indonesia sampai saat ini lebih
tersedot untuk BBM, yang masih berkutat pada persoalan subsidi. Hal ini jauh
sekali dari pemikirannya presiden pertama kita, Soekarno yang selalu
mendorong Indonesia untuk menguasai energi. Andai belum bisa pun harus
mandiri dalam pengelolaannya. Bung Karno berargumen bila tidak bisa mandiri
maka kedaulatan energi di Indonesia sangat jauh dari cita-cita proklamasi.
Menarik Investasi
Sampai hari ini hampir 85% minyak dan gas Indonesia dikuasai
oleh asing, dan investasi mereka terus mengalami kenaikan dari tahun ke
tahun. Kenaikan tersebut tentunya difasilitasi oleh kebijakan pemerintah yang
bertujuan menarik investasi asing, dengan menaikkan pembagian hasil produksi
untuk mereka. Namun pada saat yang bersamaan, di tengah membanjirnya
investasi asing untuk produksi migas, Indonesia justru telah menjadi net
importer minyak bumi.
Dampaknya, subsidi menjadi masalah pelik, meskipun ada ekonom
kritis yang selalu mempermasalahkan ketidakbenaran subsidi itu, seperti Kwik
Kian Gie. Benar tidaknya pendapat Kwik perlu dibuktikan oleh pemerintah yang
baru, apakah pengelolaan sumber daya alam (termasuk energi) kita bisa
mandiri, atau tetap diatur oleh pihak asing. Bila pemerintahan yang baru mau
mengikuti alur pemikirannya Bung Karno maka kemandirian pengelolaan sumber
daya alam bisa tercapai. Kasihan rakyat harus menanggung biaya besar untuk
membeli berbagai macam energi, gara-gara kebijakan energi kita dikontrol
pihak asing.
Ke depan, untuk mengelola kekayaan alam, terutama energi,
Indonesia bisa belajar dari negara lain yang kini lebih mandiri dalam
pengelolaan energi. Kita bisa mencontoh Brasil misalnya, yang mengembangkan
energi alternatif dari singkong, (tanaman) jarak pagar, dan tebu karena
mereka menyadari BBM berbahan baku fosil makin menyusut.
Kita sebenarnya kaya
bahan baku biofuel, dan masalahnya bergantung pada kemauan politik: mau
mandiri dalam energi atau tetap mengikuti pihak asing dengan segala
risikonya.
Tunjukkan kita bukan bangsa dan negara yang lemah. Kita bisa
berkaca pada Venezuela yang berhasil meminta ulang perjanjian minyak dengan
pihak asing supaya lebih menguntungkan bangsa dan negaranya. Ke depan, hal
ini menjadi pekerjaan rumah pemerintahan yang baru untuk mengkaji,
mengevaluasi, dan meregenosiasi berbagai kontrak sumber daya alam dengan
investor asing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar