Minggu, 10 Agustus 2014

NU dan Takdir Jokowi

NU dan Takdir Jokowi

Akhmad Saefudin  ;  Staf Humas Ma’had Ath-Thohiriyyah Purwokerto
SUARA MERDEKA, 07 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

DALAM Pilpres 2014 sejumlah tokoh dan cendekiawan (baca: ulama) di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) terbelah menjadi dua. Ada kubu yang mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), dan ada kelompok yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Pilpres telah berlalu dan KPU telah mengumumkan hasilnya. Sebagai warga nahdliyin, penulis meyakini di balik penetapan Jokowi sebagai presiden terpilih ada invisible hand (iradat Allah). Dengan kata lain, ia memang ditakdirkan sebagai presiden.

Selama ini istilah takdir kerap dimaknai secara sempit. Dalam pandangan Islam moderat, secara garis besar takdir dibedakan atas mubram dan mu’allaq. Ketentuan Allah yang bersifat final adalah kategori takdir mubram, seperti matahari terbit dari timur, benda jatuh ke bumi (gravitasi), anak lahir dari rahim ibu, ayam bertelur, kambing beranak, dan sebagainya.

Ada pula ketentuan Allah yang ditetapkan atas usaha atau ikhtiar manusia, dan takdir dalam konteks ini disebut takdir muíallaq. Artinya, takdir itu tidak turun begitu saja melainkan melalui proses ikhtiar lahir dan batin. Keterpilihan pasangan Jokowi-JK termasuk dalam kategori ini.

Pembahasan mengenai takdir mu’allaq lebih relevan dibahas setelah suatu kejadian berlangsung. Takdir kemenangan Jokowi-JK dapat dirunut dari dua sisi. Pertama; ada pendahuluan ikhtiar yang bersifat lahiriah. Kedua; ada pendahuluan dan penyertaan ikhtiar yang bersifat batiniah. Aktivitas lahiriah dimulai dari penetapan Jokowi sebagai capres oleh PDIP, pendaftaran ke KPU oleh partai pengusung, pembentukan tim sukses, tim sukarelawan, hingga kegiatan kampanye. Begitu pun kampanye hitam untuk menggembosi Jokowi-JK. Penerbitan Obor Rakyat misalnya, termasuk ikhtiar lahiriah yang turut mengantarkan takdir Jokowi memenangi pilpres.

Tak lama setelah Jokowi-JK ditetapkan sebagai capres-cawapres, sejumlah tokoh dan ulama NU berkumpul di Jakarta. ”Dalam kesempatan itu KH Hasyim Muzadi menyampaikan maklumat, 9 alasan NU memilih Jokowi-JK,” kata KH M Thoha Alawy. Pengasuh Ponpes  Ath-Thohiriyyah Purwokerto ini hadir dalam pertemuan mewakili anasir NU Banyumas.

Kepada Thoha penulis berkomentar maklumat Hasyim Muzadi terlalu panjang. Sebetulnya ada alasan yang lebih ringkas dan meyakinkan warga NU. Penulis kemudian mengusulkan lewat Kiai Thoha bahwa, argumentasi memilih Jokowi sebetulnya cukup satu: Jokowi menerima mandat dan secara spontan mengucap kalimat basmalah.

Bismillahirrahmanirrahim, saya siap menerima mandat,” ujar Jokowi di rumah Si Pitung Marunda. Tak lama setelah mengucapkan kalimat itu, ia mencium sang Merah Putih. Publik juga melihat pada saat mendeklarasikan diri di hadapan masyarakat, Jokowi tak didampingi seorang pun petinggi partai (Tempo.co, 14/3/14).

Kalimat basmalah waktu itu muncul secara spontan dari muslim bernama Jokowi. Dokumentasi ini dapat dilihat di berbagai situs internet. Basmalah sejatinya kalimat sederhana. Namun hanya calon pemimpin yang dipilih Allah yang mampu melafalkannya pada momen yang tepat. Ucapan basmalah merupakan refleksi ikhtiar batiniah; komunikasi seorang hamba dengan Sang Khalik. Bagi setiap muslim, ikhtiar spiritual merupakan hal prinsipil dan utama.

Kedua; pada saat debat capres, publik melihat dari balik saku Jokowi tersembul kertas putih. Saat dikonfirmasi wartawan, ia menyampaikan itu contekan doa dari ibundanya. Isi doa yang bersumber dari Alquran itu rupanya kurang menarik bagi wartawan untuk mengoreknya.

Ikhtiar Spiritual

Ketiga; saat debat capres  putaran terakhir Jokowi mengakhirinya dengan membaca robbana atina fiddun-ya khasanah, wafil akhiroti khasanah, waqina ëazaabannar. Tiga rangkaian ikhtiar spiritual itu pun bukanlah hal baru bagi muslim. Kombinasi ikhtiar lahiriah dan batiniah secara simultan terbukti mengantarkan sukses Jokowi.

Kampanye capres-cawapres tempo hari juga diwarnai pekik takbir. Penulis belum menemukan rujukan soal memekikkan takbir dalam kampanye. Hukum bacaan takbir ada yang wajib (dalam shalat; azan dan iqamah), sunah (usai membaca Surat Adh-Dhuha dan surat-surat berikutnya), wirid-zikir setelah salat (33 kali), atau kumandang takbir Idul Fitri dan Idul Adha. Selain dalam kondisi bahagia, dianjurkan membaca takbir dalam kondisi darurat. ”Jika kalian melihat kebakaran, hendaklah bertakbir; sungguh takbir itu dapat memadam apinya” (HR Ibnu Asakir).

Pascapengumuman KPU atas kemenangan Jokowi, Ketua PBNU mengajak warga nahdliyin kembali bersatu. Terbelahnya elite NU pada hajatan Pilpres 2014 mengingatkan kita pada sahabat Rasul saw bernama Ibnu Masíud. Ia bertubuh pendek kerempeng, tak seperti orang Arab pada umumnya. Kedua betisnya kecil sehingga jadi bahan olok-olok saat memanjat pohon arak untuk keperluan siwak (sikat gigi) Rasulullah.

Di kemudian hari bekas penggembala kambing itu dikenal sebagai penghafal dan sekaligus qari Alquran yang bersuara merdu. Dialah yang pertama membacakan ayat-ayat Alquran di hadapan kaum Quraisy. Dalam berbagai pertempuran jihad semasa Rasulullah ataupun Khalifah Abu Bakar, Ibnu Masíud tak pernah ketinggalan. Sejumlah ulama dan intelektual NU yang meragukan Jokowi, sekarang mengakui keunggulannya setelah ditetapkan sebagai presiden terpilih. Kini, warga nahdliyin pun mengakui dan meyakini takdir Jokowi: presiden untuk 5 tahun ke depan, kendati digugat ke MK sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar