Menimbang
Gugatan Pilpres
Hifdzil Alim ; Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM,
Ketua Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU DIY
|
SUARA
MERDEKA, 08 Agustus 2014
GUGATAN hasil Pilpres 2014 akhirnya digelar untuk kali pertama
di Mahkamah Konstitusi, pada Rabu, 6 Agustus 2014. Pasangan capres-cawapres:
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sebagai penggugat, hadir. Komisi Pemilihan
Umum selaku tergugat pun mengisi kursi ruang sidang.
Majelis hakim MK sebagai tuan rumah mempersilahkan pihak
penggugat membaca isi gugatannya. Setelah itu, sebelum masuk ke pokok
perkara, majelis memberi arahan supaya surat gugatan yang disusun Tim Pembela
Merah Putih (TPMP), sebutan bagi kelompok advokat propenggugat, diperbaiki.
Sidang lanjutan diagendakan digelar pada Jumat, 8 Agustus 2014.
Gugatan pilpres secara administratif dipicu oleh beschikking KPU. Surat keputusan Nomor
535/Kpts/KPU/Tahun 2014 menetapkan hasil perolehan suara Prabowo-Hatta 62.576.444
atau 46,85 persen suara sah nasional. Adapun Jokowi-JK mendapatkan 70.997.883
suara atau 53,15 persen. Jumlah perolehan suara itu yang dimohonkan untuk
diadili oleh MK.
Pilpres tak hanya membawa efek hukum lahirnya sebuah gugatan,
namun juga efek sosial besar. Bahkan, seperti dilansir banyak media,
pendukung calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 1 Prabowo-Hatta
sampai harus baku hantam dengan aparat keamanan di daerah. Di Jawa Timur
misalnya, pendukung Prabowo-Hatta nekat menabrakkan truk demonya ke kawat
berduri yang dipasang polisi di depan kantor KPU Jawa Timur. Keributan pun
tak terelakkan.
Tanpa bermaksud mendahului pembuktian, pertimbangan, dan putusan
hakim, ada tiga hal yang bisa ditimbang dari gugatan pilpres periode ini.
Pertama; kerumitan pembuktian kecurangan hasil pilpres. Pada dasarnya,
membuktikan adanya kecurangan dalam tiap pemilihan umum bukanlah perkara
gampang. Terstruktur, masif, dan sistemik (TMS) merupakan tiga unsur
kumulatif kecurangan pemilihan umum yang menuntut pembuktian secara seksama.
Kesulitan membuktikan unsur terstruktur, masif, dan sistemik
bisa diwakili dengan hitungan matematika. Apabila menggunakan keputusan KPU
maka ada margin suara sebanyak 8.421.389. Katakanlah tiap tempat pemungutan
suara (TPS) menampung rata-rata 400 suara, berarti 21.053 TPS yang harus
diperiksa. Majelis hakim kelihatannya akan mendahulukan pemeriksaan secara
administratif dibanding pemeriksaan faktual atas lebih dari 21 ribu TPS.
Selanjutnya, sebelum menempuh pertimbangan untuk menghitung
suara, pemeriksaan dokumen atas penyelenggaraan pemilihan umum diambil
sebagai langkah yang lebih konkret. Bukan tak mungkin jual beli kesaksian
bakal terjadi antara saksi Prabowo-Hatta dan KPU. Risiko ada jual beli
kesaksian juga akan dialami antara saksi Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK.
Sulit rasanya —dengan tetap membuka kesempatan
sebaliknya—membuktikan kecurangan pada lebih dari 21 ribu TPS dengan
menyebutkan satu per satu letak terstruktur, masif, dan sistemiknya
kecurangan. Ini bukan bentuk pesimisme, melainkan karakter pembuktian kecurangan
pemilihan umum yang memang susah.
Ambil contoh, bilang saja bentuk TMS-nya pilpres kali ini adalah
panitia penyelenggara pemilihan umum kongkalikong dengan tim sukses
Jokowi-JK sehingga menggelembungkan perolehan suaranya serta indikasi politik
uang maka tim sukses Jokowi-JK pun akan menyatakan hal serupa dalam keterangannya.
Keadaan sedemikian saya sebut sebagai zero
condition, dua pasangan calon presiden dan wakil presiden sama-sama
melakukan kecurangan.
Opsi Rekonsiliasi
Maknanya, tiap calon presiden tak dapat mengajukan klaim bahwa
mereka dicurangi dan disakiti. Kedua-duanya melakukan kecurangan. Dalam
kondisi saling mencurangi dan menyakiti, agaknya riskan mendaku adanya
kecurangan yang terstruktur, masif, dan sistemik. Via kondisi seperti ini
pula, majelis hakim MK naga-naganya tak mau ambil risiko untuk memerintahkan
pemungutan suara ulang.
Rekonsiliasi adalah hal kedua yang perlu ditimbang dari gugatan
hasil pilpres. Rujuk politik merupakan opsi yang lebih rasional demi memotong
nadi perseteruan antarkelompok. Sejujurnya, yang merasakan imbas dominan atas
pilpres bukanlah elite melainkan para
pendukung yang ada digaris paling depan dan luar.
Hubungan yang hampir hapus dalam garis horisontal di tengah
masyarakat harus kembali dipulihkan melalui rekonsiliasi elite. Pernyataan
para pemimpin menjadi obat yang mujarab untuk menyembuhkan penyakit sosial
akibat endemik pilpres.
Terakhir, kerja sama. Bukanlah barang hina ketika sang pemenang
pilpres merangkul rivalnya untuk bekerja sama dalam membangun bangsa ke
desain yang lebih baik. Ekstrak dari kehendak pergelaran pilpres adalah
mendapatkan sekumpulan putra bangsa yang dianggap sanggup mengangkat negara
dan bangsa dalam posisinya yang lebih terhormat. Sesudah selesai sengketa
pilpres, semuanya perlu sadar bahwa kita adalah sesama anak bangsa, yang
punya kewajiban setara dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Bukankah ini yang kita inginkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar