Minggu, 10 Agustus 2014

Menimbang Gugatan Pilpres

Menimbang Gugatan Pilpres

Hifdzil Alim  ;  Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM,
Ketua Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU DIY
SUARA MERDEKA, 08 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

GUGATAN hasil Pilpres 2014 akhirnya digelar untuk kali pertama di Mahkamah Konstitusi, pada Rabu, 6 Agustus 2014. Pasangan capres-cawapres: Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sebagai penggugat, hadir. Komisi Pemilihan Umum selaku tergugat pun mengisi kursi ruang sidang.

Majelis hakim MK sebagai tuan rumah mempersilahkan pihak penggugat membaca isi gugatannya. Setelah itu, sebelum masuk ke pokok perkara, majelis memberi arahan supaya surat gugatan yang disusun Tim Pembela Merah Putih (TPMP), sebutan bagi kelompok advokat propenggugat, diperbaiki. Sidang lanjutan diagendakan digelar pada Jumat, 8 Agus­tus 2014.

Gugatan pilpres secara administratif dipicu oleh beschikking KPU. Surat keputusan Nomor 535/Kpts/KPU/Tahun 2014 menetapkan hasil perolehan suara Pra­bowo-Hatta 62.576.444 atau 46,85 persen suara sah nasional. Adapun Jokowi-JK mendapatkan 70.997.883 suara atau 53,15 persen. Jumlah perolehan suara itu yang dimohonkan untuk diadili oleh MK.

Pilpres tak hanya membawa efek hukum lahirnya sebuah gugatan, namun juga efek sosial besar. Bahkan, seperti dilansir banyak media, pendukung calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 1 Prabowo-Hatta sampai harus baku hantam dengan aparat keamanan di daerah. Di Jawa Timur misalnya, pendukung Prabowo-Hatta nekat menabrakkan truk demonya ke kawat berduri yang dipasang polisi di depan kantor KPU Jawa Timur. Keributan pun tak terelakkan.

Tanpa bermaksud mendahului pembuktian, pertimbangan, dan putusan hakim, ada tiga hal yang bisa ditimbang dari gugatan pilpres periode ini. Pertama; kerumitan pembuktian kecurangan hasil pilpres. Pada dasarnya, membuktikan adanya kecurangan dalam tiap pemilihan umum bukanlah perkara gampang. Terstruktur, masif, dan sistemik (TMS) merupakan tiga unsur kumulatif kecurangan pemilihan umum yang menuntut pembuktian secara seksama.

Kesulitan membuktikan unsur terstruktur, masif, dan sistemik bisa diwakili dengan hitungan matematika. Apabila menggunakan keputusan KPU maka ada margin suara sebanyak 8.421.389. Katakanlah tiap tempat pemungutan suara (TPS) menampung rata-rata 400 suara, berarti 21.053 TPS yang harus diperiksa. Majelis hakim kelihatannya akan mendahulukan pemeriksaan secara administratif dibanding pemeriksaan faktual atas lebih dari 21 ribu TPS.

Selanjutnya, sebelum menempuh pertimbangan untuk menghitung suara, pemeriksaan dokumen atas penyelenggaraan pemilihan umum diambil sebagai langkah yang lebih konkret. Bukan tak mungkin jual beli kesaksian bakal terjadi antara saksi Prabowo-Hatta dan KPU. Risiko ada jual beli kesaksian juga akan dialami antara saksi Pra­bo­wo-Hatta dan Jokowi-JK.

Sulit rasanya —dengan tetap membuka kesempatan sebaliknya—membuktikan kecurangan pada lebih dari 21 ribu TPS dengan menyebutkan satu per satu letak terstruktur, masif, dan sistemiknya kecurangan. Ini bukan bentuk pesimisme, melainkan karakter pembuktian kecurangan pemilihan umum yang memang susah.

Ambil contoh, bilang saja bentuk TMS-nya pilpres kali ini adalah panitia penyelenggara pe­milihan umum kong­kalikong dengan tim sukses Jokowi-JK sehingga menggelembungkan perolehan suaranya serta indikasi politik uang maka tim sukses Jokowi-JK pun akan menyatakan hal serupa dalam keterangannya. Keadaan sedemikian saya sebut sebagai zero condition, dua pasangan calon presiden dan wakil presiden sama-sama melakukan kecurangan.

Opsi Rekonsiliasi

Maknanya, tiap calon presiden tak dapat mengajukan klaim bahwa mereka dicurangi dan disakiti. Kedua-duanya melakukan kecurangan. Dalam kondisi saling mencurangi dan menyakiti, agaknya riskan mendaku adanya kecurangan yang terstruktur, masif, dan sistemik. Via kondisi seperti ini pula, majelis hakim MK naga-naganya tak mau ambil risiko untuk memerintahkan pemungutan suara ulang.

Rekonsiliasi adalah hal kedua yang perlu ditimbang dari gugatan hasil pilpres. Rujuk politik merupakan opsi yang lebih rasional demi memotong nadi perseteruan antarkelompok. Sejujurnya, yang merasakan imbas dominan atas pilpres bukanlah elite melainkan  para pendukung yang ada digaris paling depan dan luar.

Hubungan yang hampir hapus dalam garis horisontal di tengah masyarakat harus kembali dipulihkan melalui rekonsiliasi elite. Pernyataan para pemimpin menjadi obat yang mujarab untuk menyembuhkan penyakit sosial akibat endemik pilpres.

Terakhir, kerja sama. Bukanlah barang hina ketika sang pemenang pilpres merangkul rivalnya untuk bekerja sama dalam membangun bangsa ke desain yang lebih baik. Ekstrak dari kehendak pergelaran pilpres adalah mendapatkan sekumpulan putra bangsa yang dianggap sanggup mengangkat negara dan bangsa dalam posisinya yang lebih terhormat. Sesudah selesai sengketa pilpres, semuanya perlu sadar bahwa kita adalah sesama anak bangsa, yang punya kewajiban setara dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bukankah ini yang kita inginkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar