Berbuka
Puasa di Kota Vatikan
Hermawan Kartajaya ;
Founder and CEO MarkPlus,
Inc.
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Agustus 2014
SEBENARNYA sudah
beberapa kali saya mengadakan kunjungan ke Roma, tetapi selalu gagal
mengunjungi Museum Vatikan karena antreannya sangat panjang. Benar saja,
begitu mendekati lokasi terlihat antrean turis berkilo-kilo untuk masuk ke
museum. Untungnya berkat bantuan KBRI, saya dapat menghilangkan rasa
penasaran pada museum yang satu ini.
Wamen Parekraf, Sapta
Nirwandar, bersedia mengenalkan Budiarman Bahar, Dubes RI di Vatikan. Memang
sebelum berangkat ke Vatikan, saya telah mendengar bahwa saat itu Museum
Vatikan sedang mengadakan Temporary
Exhibition Indonesia selama setahun penuh. Cerita ini membuat saya
semakin tertarik untuk menyambangi museum yang dikunjungi lebih dari lima
juta orang per tahun ini.
Setelah melihat
sendiri, saya sungguh terkagum betapa apiknya kebinekaan Indonesia tampak di
museum. Ada begitu banyak artefak dari Indonesia yang ditampilkan di sana.
Mulai dari Relief Candi Borobudur sampai dengan Alquran terkecil di dunia.
Museum Vatikan memang memiliki lebih dari seribu benda yang dibawa para
misionaris yang pernah berkarya di Indonesia. Ditambah lagi dengan berbagai
pemberian khusus dari berbagai Paus dari dulu sampai dengan saat ini.
Lokasi Pameran
Indonesia ini juga sangat strategis karena berada dekat dengan pintu masuk ke
museum. Tur museum ini yang termasuk paling bagus di dunia itu memang sangat
panjang dan melelahkan. Untuk melewati semua lorong yang dipenuhi benda seni
autentik, pengun jung menghabiskan waktu sekitar dua jam sampai pada akhirnya
mencapai Kapel Sistina. Tempat para kardinal memilih Paus baru. Baru
pengunjung diajak untuk menikmati suasana Basilika Santo Petrus.
Karena itulah lokasi
pameran Indonesia sangat baik karena pengunjung masih segar ketika masuk ke
museum. Hebatnya, setelah pamer an berakhir nanti, Indonesia akan mendapatkan
paviliun terbesar permanen di situ. Ini semua terjadi karena jerih payah
Dubes Budiarman yang muslim di Vatikan yang pusat agama Katolik.
Ide awalnya bermula
ketika ia melihat pameran sejenis untuk Aborigin Australia. Pak Budiarman
menyadari adanya potensi besar yang dapat dimanfaatkan. Kemudian, ia pun
melakukan berbagai lobi agar dapat mengadakan pameran untuk mempromosikan
Indonesia. Usaha ini pun didukung penuh oleh Pak Sapta Nirwandar.
Terlebih lagi setelah
dua tahun yang lalu, Pak Budiarman mengatakan bahwa Pak Sapta telah
berkontribusi besar dalam upaya restorasi Relief Candi Borobudur yang
akhirnya dipajang di museum tersebut.
Antusiasme Pak
Budiarman saat berbincang lebih jauh lagi di sela-sela berbuka puasa di
sebuah restoran Italia dekat Gereja Pantheon. Padahal, hari itu jam buka
puasa baru dimulai pada pukul 20.40 waktu setempat. Memang pada saat itu
puasa sangat panjang di Vatikan karena sedang musim panas.
Pak Budiarman dapat
menceritakan begitu detail seluk beluk Vatikan sampai ke detail kecilnya.
Sebelumnya dia sendiri tidak menyangka akan ditugaskan di Vatikan setelah
selesai menjadi Konjen Melbourne. Ketika semua dubes lain bicara mengenai
pemasaran Indonesia untuk TTI (tourism,
trade, and investment), Pak Budiarman tidak ingin kehabisan ide.
Kejelian Pak Budiarman
dalam menyadari bahwa pada saat ini Vatikan sedang gencar-gencarnya menggalakkan
Interfaith Dialogue. Peluang inilah
yang dimanfaatkan dengan baik. Karena kita tahu sen diri, kondisi masyarakat
Indonesia yang mayoritasnya muslim, tetapi memiliki dasar negara Pancasila.
Karena itu, tidak hanya pameran ini saja.
Beberapa waktu ke
depan akan diadakan Festival Film yang berfokus Indonesia sehingga dapat
menampilkan 17 film Indonesia. Salah satunya ialah Soekarno yang diproduseri
oleh Erick Tohir, pemilik tim sepak bola Inter Milan. Ternyata nama Erick
sangat terkenal di sana sampai-sampai penyelenggara Fes tival sangat ingin
bertemu.
Tidak hanya itu nama
Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat juga sangat dikenal di Vatikan. Karena
inilah, Dubes Budiarman dapat menjembatani kerja sama antara UIN Syarif
Hidayatullah dan Universitas Urbiana milik Kepausan.
Namun, ini semua tentu
dipengaruhi oleh kepemimpinan Paus Fran siskus yang horizontal, inklusif, dan
sosial. Padahal, Vatikan memiliki tradisi yang sangat kental dengan vertikal,
eksklusif, dan individual.
Horizontal, inklusif, dan sosial
Memang Paus Fransiskus
dikenal juga sebagai sosok pemimpin yang dikagumi begitu banyak masyarakat.
Termasuk Pak Budiarman. Paus yang satu ini tidak mau tinggal di Istana,
tetapi justru di apartemen bi asa. Paus Fransiskus juga dikenal sebagai
pemimpin yang sangat merakyat.Masyarakat cukup sering menemukan Paus berada
di luar Basilika tanpa pengawalan, tanpa mobil antipeluru, bahkan mencium
kaki orang muslim di acara Paskah dua tahun terakhir.
Saya semakin terkesan
ketika ia berpendapat bahwa Tuhan tidak hanya milik orang Katolik, belum lagi
langkahnya dalam memberan tas mafia Bank Vatikan, memecat beberapa Uskup, dan
Pastor yang tidak bermoral. Belum lagi pendapat bahwa beliau tidak begitu
mudah mengatakan bahwa orang gay dan lesbian tidak masuk surga.
Sebagai Dubes RI, Pak
Budiarman pun menganggap Paus tidak hanya sebagai pemimpin agama, tetapi juga
pemimpin dunia. Tindakan yang benar-benar luar biasa lainnya baru saja kita
dengar pada 8 Juni yang lalu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, ayat
Alquran diperdengarkan di Vatikan. Pada kesempatan tersebut, Paus Fransiskus
mengajak para tokoh agama yang sering berkonflik untuk berdoa bersama demi
perdamaian dunia.
Maka tidak heran
bukan, Paus Fransiskus dinobatkan sebagai Person
of The Year pada tahun 2013 yang lalu. Sosoknya begitu jauh dari sosok
pemimpin yang memiliki otoritas besar.
Saya mendengar cerita
Pak Sapta ketika beliau memiliki kesempatan untuk berbincang langsung dengan
Paus. Kesempatan ini begitu langka. Karena untuk bertemu dengan Paus,
biasanya tamu harus membuat janji beberapa waktu sebelumnya dan harus
tergabung dalam rombongan besar. Namun, Pak Sapta justru berkesempatan untuk
bertemu langsung secara pribadi.
Pak Sapta yang seorang
muslim membawa beberapa rosario titipan beberapa rekanannya untuk diberkati.
Ketika bertemu, Paus pun tidak hanya memberkati rosario, tetapi menyempatkan
diri berbincang sedikit. Pak Sapta pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini
untuk mencoba mengundang Paus ke Indonesia. Apa jawaban dari Paus? “Insya Allah. Please pray for me….”
Jawaban yang sangat tidak terduga dari seorang pemimpin tertinggi Katolik.
Membuat dunia lebih baik lagi
Hal ini tentu sejalan
dengan Marketing 3.0 yang didasari oleh values
bukan berdasarkan produk atau keinginan ‘konsumen’ saja. Relevansinya
kegelisahan masyarakat dunia yang takut akan peperangan. Hasrat dari
masyarakat dunia yang mendambakan perdamaian dunia.
Oleh karena itulah
dalam memasarkan segala sesuatu tidak lagi hanya dari sisi fungsional dan
emosional tetapi juga spiritual. Seakan mengerti dengan prinsip ini, Paus
Fransiskus tidak hanya berupaya menjalankan fungsinya dengan baik dan
memiliki sisi emosional yang matang, tetapi berani berkolaborasi dengan unsur
spiritual di luar Katolik.
Hal ini juga tercermin
dari Museum Vatikan. Meskipun berlokasi di pusat agama Katolik, museum ini
justru menampilkan artefak dari berbagai kepercayaan. Dalam hal ini tentu
Indonesia dapat membantu memperkuat citra Vatikan dan Paus yang begitu
horizontal. Karena Indonesia dikenal sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan begitu banyak perbedaan, Indonesia dapat menjadi satu kesatuan negara
yang utuh. Belum lagi demokrasi Indonesia yang telah berjalan dengan relatif
cukup baik pascaera reformasi.
Pameran Indonesia di
Museum Etnologi Vatikan tentu secara tidak langsung menjadi contoh bagi
berbagai negara di dunia. Contoh bagaimana masyarakat Indonesia dapat hidup
berdampingan satu sama lain. Meskipun tidak benar-benar menjadi contoh
sempurna, masyarakat Indonesia semakin lama semakin dewasa.
Terutama setelah masa
puasa yang sudah lewati ini. Kita diajarkan untuk menahan diri dan
bertoleransi dengan berbagai unsur masyarakat. Dari kejauhan di tanah
Vatikan, sambil berbuka puasa dengan Pak Budiarman, saya semakin menyadari
bahwa makna Lebaran yang begitu dalam, sosok Paus yang begitu ‘merakyat’, dan
terakhir mengenai akar inti dari semua kepercayaan yang sebenarnya ialah peace and love. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar