Senin, 25 Agustus 2014

Berbuka Puasa di Kota Vatikan

                                Berbuka Puasa di Kota Vatikan

Hermawan Kartajaya  ;   Founder and CEO MarkPlus, Inc.
MEDIA INDONESIA, 23 Agustus 2014
                                               


SEBENARNYA sudah beberapa kali saya mengadakan kunjungan ke Roma, tetapi selalu gagal mengunjungi Museum Vatikan karena antreannya sangat panjang. Benar saja, begitu mendekati lokasi terlihat antrean turis berkilo-kilo untuk masuk ke museum. Untungnya berkat bantuan KBRI, saya dapat menghilangkan rasa penasaran pada museum yang satu ini.

Wamen Parekraf, Sapta Nirwandar, bersedia mengenalkan Budiarman Bahar, Dubes RI di Vatikan. Memang sebelum berangkat ke Vatikan, saya telah mendengar bahwa saat itu Museum Vatikan sedang mengadakan Temporary Exhibition Indonesia selama setahun penuh. Cerita ini membuat saya semakin tertarik untuk menyambangi museum yang dikunjungi lebih dari lima juta orang per tahun ini.

Setelah melihat sendiri, saya sungguh terkagum betapa apiknya kebinekaan Indonesia tampak di museum. Ada begitu banyak artefak dari Indonesia yang ditampilkan di sana. Mulai dari Relief Candi Borobudur sampai dengan Alquran terkecil di dunia. Museum Vatikan memang memiliki lebih dari seribu benda yang dibawa para misionaris yang pernah berkarya di Indonesia. Ditambah lagi dengan berbagai pemberian khusus dari berbagai Paus dari dulu sampai dengan saat ini.

Lokasi Pameran Indonesia ini juga sangat strategis karena berada dekat dengan pintu masuk ke museum. Tur museum ini yang termasuk paling bagus di dunia itu memang sangat panjang dan melelahkan. Untuk melewati semua lorong yang dipenuhi benda seni autentik, pengun jung menghabiskan waktu sekitar dua jam sampai pada akhirnya mencapai Kapel Sistina. Tempat para kardinal memilih Paus baru. Baru pengunjung diajak untuk menikmati suasana Basilika Santo Petrus.

Karena itulah lokasi pameran Indonesia sangat baik karena pengunjung masih segar ketika masuk ke museum. Hebatnya, setelah pamer an berakhir nanti, Indonesia akan mendapatkan paviliun terbesar permanen di situ. Ini semua terjadi karena jerih payah Dubes Budiarman yang muslim di Vatikan yang pusat agama Katolik.

Ide awalnya bermula ketika ia melihat pameran sejenis untuk Aborigin Australia. Pak Budiarman menyadari adanya potensi besar yang dapat dimanfaatkan. Kemudian, ia pun melakukan berbagai lobi agar dapat mengadakan pameran untuk mempromosikan Indonesia. Usaha ini pun didukung penuh oleh Pak Sapta Nirwandar.

Terlebih lagi setelah dua tahun yang lalu, Pak Budiarman mengatakan bahwa Pak Sapta telah berkontribusi besar dalam upaya restorasi Relief Candi Borobudur yang akhirnya dipajang di museum tersebut.

Antusiasme Pak Budiarman saat berbincang lebih jauh lagi di sela-sela berbuka puasa di sebuah restoran Italia dekat Gereja Pantheon. Padahal, hari itu jam buka puasa baru dimulai pada pukul 20.40 waktu setempat. Memang pada saat itu puasa sangat panjang di Vatikan karena sedang musim panas.

Pak Budiarman dapat menceritakan begitu detail seluk beluk Vatikan sampai ke detail kecilnya. Sebelumnya dia sendiri tidak menyangka akan ditugaskan di Vatikan setelah selesai menjadi Konjen Melbourne. Ketika semua dubes lain bicara mengenai pemasaran Indonesia untuk TTI (tourism, trade, and investment), Pak Budiarman tidak ingin kehabisan ide.

Kejelian Pak Budiarman dalam menyadari bahwa pada saat ini Vatikan sedang gencar-gencarnya menggalakkan Interfaith Dialogue. Peluang inilah yang dimanfaatkan dengan baik. Karena kita tahu sen diri, kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritasnya muslim, tetapi memiliki dasar negara Pancasila. Karena itu, tidak hanya pameran ini saja.

Beberapa waktu ke depan akan diadakan Festival Film yang berfokus Indonesia sehingga dapat menampilkan 17 film Indonesia. Salah satunya ialah Soekarno yang diproduseri oleh Erick Tohir, pemilik tim sepak bola Inter Milan. Ternyata nama Erick sangat terkenal di sana sampai-sampai penyelenggara Fes tival sangat ingin bertemu.

Tidak hanya itu nama Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat juga sangat dikenal di Vatikan. Karena inilah, Dubes Budiarman dapat menjembatani kerja sama antara UIN Syarif Hidayatullah dan Universitas Urbiana milik Kepausan.
Namun, ini semua tentu dipengaruhi oleh kepemimpinan Paus Fran siskus yang horizontal, inklusif, dan sosial. Padahal, Vatikan memiliki tradisi yang sangat kental dengan vertikal, eksklusif, dan individual.

Horizontal, inklusif, dan sosial

Memang Paus Fransiskus dikenal juga sebagai sosok pemimpin yang dikagumi begitu banyak masyarakat. Termasuk Pak Budiarman. Paus yang satu ini tidak mau tinggal di Istana, tetapi justru di apartemen bi asa. Paus Fransiskus juga dikenal sebagai pemimpin yang sangat merakyat.Masyarakat cukup sering menemukan Paus berada di luar Basilika tanpa pengawalan, tanpa mobil antipeluru, bahkan mencium kaki orang muslim di acara Paskah dua tahun terakhir.

Saya semakin terkesan ketika ia berpendapat bahwa Tuhan tidak hanya milik orang Katolik, belum lagi langkahnya dalam memberan tas mafia Bank Vatikan, memecat beberapa Uskup, dan Pastor yang tidak bermoral. Belum lagi pendapat bahwa beliau tidak begitu mudah mengatakan bahwa orang gay dan lesbian tidak masuk surga.

Sebagai Dubes RI, Pak Budiarman pun menganggap Paus tidak hanya sebagai pemimpin agama, tetapi juga pemimpin dunia. Tindakan yang benar-benar luar biasa lainnya baru saja kita dengar pada 8 Juni yang lalu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, ayat Alquran diperdengarkan di Vatikan. Pada kesempatan tersebut, Paus Fransiskus mengajak para tokoh agama yang sering berkonflik untuk berdoa bersama demi perdamaian dunia.

Maka tidak heran bukan, Paus Fransiskus dinobatkan sebagai Person of The Year pada tahun 2013 yang lalu. Sosoknya begitu jauh dari sosok pemimpin yang memiliki otoritas besar.

Saya mendengar cerita Pak Sapta ketika beliau memiliki kesempatan untuk berbincang langsung dengan Paus. Kesempatan ini begitu langka. Karena untuk bertemu dengan Paus, biasanya tamu harus membuat janji beberapa waktu sebelumnya dan harus tergabung dalam rombongan besar. Namun, Pak Sapta justru berkesempatan untuk bertemu langsung secara pribadi.

Pak Sapta yang seorang muslim membawa beberapa rosario titipan beberapa rekanannya untuk diberkati. Ketika bertemu, Paus pun tidak hanya memberkati rosario, tetapi menyempatkan diri berbincang sedikit. Pak Sapta pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencoba mengundang Paus ke Indonesia. Apa jawaban dari Paus? “Insya Allah. Please pray for me….” Jawaban yang sangat tidak terduga dari seorang pemimpin tertinggi Katolik.

Membuat dunia lebih baik lagi

Hal ini tentu sejalan dengan Marketing 3.0 yang didasari oleh values bukan berdasarkan produk atau keinginan ‘konsumen’ saja. Relevansinya kegelisahan masyarakat dunia yang takut akan peperangan. Hasrat dari masyarakat dunia yang mendambakan perdamaian dunia.

Oleh karena itulah dalam memasarkan segala sesuatu tidak lagi hanya dari sisi fungsional dan emosional tetapi juga spiritual. Seakan mengerti dengan prinsip ini, Paus Fransiskus tidak hanya berupaya menjalankan fungsinya dengan baik dan memiliki sisi emosional yang matang, tetapi berani berkolaborasi dengan unsur spiritual di luar Katolik.

Hal ini juga tercermin dari Museum Vatikan. Meskipun berlokasi di pusat agama Katolik, museum ini justru menampilkan artefak dari berbagai kepercayaan. Dalam hal ini tentu Indonesia dapat membantu memperkuat citra Vatikan dan Paus yang begitu horizontal. Karena Indonesia dikenal sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika. Dengan begitu banyak perbedaan, Indonesia dapat menjadi satu kesatuan negara yang utuh. Belum lagi demokrasi Indonesia yang telah berjalan dengan relatif cukup baik pascaera reformasi.

Pameran Indonesia di Museum Etnologi Vatikan tentu secara tidak langsung menjadi contoh bagi berbagai negara di dunia. Contoh bagaimana masyarakat Indonesia dapat hidup berdampingan satu sama lain. Meskipun tidak benar-benar menjadi contoh sempurna, masyarakat Indonesia semakin lama semakin dewasa.
Terutama setelah masa puasa yang sudah lewati ini. Kita diajarkan untuk menahan diri dan bertoleransi dengan berbagai unsur masyarakat. Dari kejauhan di tanah Vatikan, sambil berbuka puasa dengan Pak Budiarman, saya semakin menyadari bahwa makna Lebaran yang begitu dalam, sosok Paus yang begitu ‘merakyat’, dan terakhir mengenai akar inti dari semua kepercayaan yang sebenarnya ialah peace and love.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar